Monday 16 May 2016

G.P.H.Djatikusumo - Anak Raja Jadi Tentara



G.P.H.Djatikusumo lahir di Surakarta pada 1 juli 1917,  putra  kedua  dari  lima  bersaudara dari pasangan Sinuwun Paku  Buwono  X  ( PB X )  dengan  ibu  R.A.Kironorukasi. Beliau adalah orang pertama yang menjabat pucuk pimpinan TNI AD, berpawakan kecil dengan bentuk wajahnya baby face yang  lembut  dalam  bertutur  bahasa, namun tegas dalam bersikap dan bertindak.  Oleh media asing G.P.H.Djatikusumo mendapat sebutan THE BOY GENERAL… Sejak kecil diasuh oleh kedua orang tuanya dalam lingkungan Keraton Surakarta. Menempuh pendidikan umum mulai dari Europesches Lagereschool (ELS) di Solo (1924-1931) melanjutkan ke Hogere Burger School (HBS) di Bandung (1931-1936) kemudian melanjutkan ke Technische Hage School(THS) di Delft, (1936-1939), baru menginjak tingkat III pecah perang dunia II, akhirnya pindah ke THS bandung sekarang ITB (1939-1941) namun belum sempat meraih gelar kesarjanaan karena merambahnya perang dunia ke II ke Indonesia, sehingga menuntut yang bersangkutan terjun ke dunia militer. Beliau mengakhiri masa lajangnya dengan menyunting seorang gadis Raden Ayu Suharsi Widyanti, putri bangsawan Keraton Mangkunegara Solo pada 1 juni 1947, dikaruniai tiga orang putri.

Anak Raja menjadi Tentara!

Pada masa itu memang aneh jika ada dari kalangan bangsawan atau pangeran putra raja yang berminat untuk menjadi prajurit militer. Biasanya hanya dari kalangan masyarakat biasa saja yang tertarik untuk masuk dinas militer. Namun fenomena itu tidak berlaku untuk seorang putra bangsawan Keraton Surakarta ini. G.P.H.Djatikusumo mengawali dunia keprajuritan sejak masa Kolonial Belanda dengan memasuki milisi corps opleiding reserve officieren     ( CORO ) yaitu sekolah perwira cadangan di Bandung yang dibentuk Belanda untuk menghadapi perang melawan Jepang.

Setelah Jepang menang atas Belanda, Jepang memanggil pemuda indonesia untuk mengikuti pendidikan militer sesuai UU Osama Sirei No.44 tahun 1943 yang disebut PETA di Bogor, dimana salah satu siswanya G.P.H.Djatikusumo( Angkatan I-1943-1944 ). Selesai mengikuti pendidikan PETA, jabatan yang dipegang olehnya adalah Danki I Yon I PETA Surakarta ( Maret 1944- Agustus 1945 ). Beliau sempat mengikuti kursus Kendo di Surabaya, kursus perwira staf di Jakarta ( 1950 ) dan kursus atase militer di Jakarta (1951). Pada permulaan pembentukan BKR,G.P.H.Djatikusumo menjabat sebagai komandan BKR di Solo dengan pangkat Mayor. Selanjutnya BKR berubah menjadi TKR beliau menjabat sebagai Danyon I TKR (Tentara Keamanan Rakyat ) bertempat tinggal di Benteng Vesternburgh Surakarta. Kemudian beliau memimpin Divisi IV dan membentuk 3 Resimen, Masing-masing memiliki 4 Batalyon yang wilayahnya meliputi daerah Pekalongan, Semarang dan Pati (November 1945-Juni 1946). Selanjutnya menjabat sebagai panglima Divisi V/Ronggolawe Jawa Timur, meliputi Pati, Madiun dan Bojonegoro ( Juni 1946-Pebruari 1948 ).Di tahun 1948 G.P.H.Djatikusumo diberi kepercayaan menjabat sebagai KSAD (yang pertama) dan merangkap sebagai Gubernur AKMIL dengan pangkat Kolonel (1948-1949). Pada Agustus 1950-Maret 1952 dipercaya menjabat sebagai kepala Biro perancang Operasi Militer Kementrian Pertahanan di Jakarta dan Kepala Biro Pendidikan Pusat Kementrian Pertahanan di Jakarta, kemudian pada bulan April 1952-1955 menjabat komandan SSKAD ( sekarang SESKOAD ) di Bandung. Dan terhitung mulai bulan April 1955 - Agustus 1958 sebagai Direktur Zeni Angkatan Darat di Jakarta dengan pangkat Brigadir Jenderal. Ini berarti bahwa jabatan beliau menurun dari KSAD menjadi Kepala Biro, dan SSKAD, DIRZIAD. Walaupun kemudian beliau tidak pernah mengeluh.

Pengalamanya semakin lengkap, dengan dipercaya menjabat di Bidang Pemerintahan. Pada tahun 1958 menjadi Konsul Jenderal RI di Singapura, tahun 1959 menjadi Menteri Perhubungan Darat,Postel dan Pariwasata dengan pangkat Mayor Jenderal. Pada tahun 1963 beliau diangkat menjadi Dubes RI di Malaysia. Tahun 1965 menjadi Dubes RI di Maroko.Tahun 1967 menjadi Dubes RI di Perancis, dan tahun 1959 Pati dapat SUAD.

Tahun 1973 memasuki masa purna tugas dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal TNI dan dianugerahi pangkat Jenderal TNI kehormatan TMT 01-11-1997. Puncaknya Gusti Pangeran Haryo Djatikusumo adalah dikukuhkan/diabadikan menjadi Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Republik Indonesia Nomor 073/TK/ tahun 2002,tanggal 6 November 2002.

Jalan Berliku

Banyak liku-liku perjalanan hidup kemiliteran yang dialami G.P.H.Djatikusumo,antara lain:
Pada Oktober 1945 ketika pasukan Jepang menyerang sektor Semarang Selatan, Mayor G.P.H.Djatikusumo sedang perjalan ke Solo untuk mengambil meriam. Akan tetapi sesampainya di Solo beliau mendapat Telegram dari Oerip Sumohardjo yang memerintahkan agar segera ke Jakarta untuk membantu tugas oerip diMarkas Komando Jakarta. Pada saat di Cikampek mendapat kabar bahwa Markas di Jakarta telah pindah di Bandung, kemudian beliau memutuskan untuk kembali ke Solo dengan tujuan agar berada ditengah-tengah anak buahnya.Namun setelah tiba di Solo jabatan beliau sudah digantikan oleh Pangeran Purbonegoro. 

Pada November 1945-juni 1946 beliau menjabat Panglima Divisi IV TKR bermarkas di Salatiga dengan pangkat Jenderal Mayor, selanjutnya pada Juni 1946-pebruari 1948 menjabat panglima Divisi V Ronggolawe TNI bermarkas di Mantingan Blora kemudian pindah ke Cepu dengan pangkat Kolonel, akibat kebijaksanaan RERA (Reorganisasi dan Resiolisasi), jabatan yang beliau emban sama, tetapi pangkatnya turun dari Jenderal Mayor ke Kolonel. Terhitung Pebruari 1948 beliau menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat( KSAD ) dalam Kementrian bermarkas di Jogjakarta, pada November 1948 merangkap sebagai Gubernur Akmil dan pada tahun 1949 jabatan Kasad diserahterimakan kepada Kolonel A.H Nasution .

Pada April 1952-Maret 1955 beliau menerima tugas jabatan Komandan SSKAD di Bandung sekarang dikenal Seskoad dari Letkol inf A.J Mokoginta. Kemudian terhitung mulai april 1955 Agustus 1958 sebagai Direktur Zeni Angkatan Darat. 

Makna hidup seorang prajurit Djatikusumo

Salah satu fenomena yang menggelisahkan di kalangan saat ini adalah muncul kecenderungan melemahnya loyalitas terhadap keputusan-keputusan Pimpinan dan Komandan misalnya ungkapan tidak puas atas keputusan pimpinannya, bergesernya orientasi dari melaksanakan tugas menjadi mencari posisi sesuai selera,kecenderungan lebih banyak menuntut hak dari pada memenuhi kewajiban. Hasil dari semua itu adalah hilangnya kerelaan dan lebih banyak menerima/meminta.Sebagai prajurit tentu tidak menghendaki kecenderungan ini terus berlanjut. Dalam konteks ke depan, ada baiknya menengok kembali pengalaman-pengalaman seperti yang ditampakkan oleh G.P.H. Djatikusumo. Bagaimana liku – liku perjalanan hidup kemiliteran yang dialami G.P.H. Djatikusumo sebagai seorang Bangsawan dengan segala kehormatannya rela ditinggalkan menjadi prajurit sejati. Dalam sejarah tercatat bagaimana beliau diturunkan pangkatnya menjadi Jenderal Mayor menjadi Kolonel padahal saat itu beliau menjabat Kasad orang pertama di Angkatan Darat. Belum lagi beliau harus bersedia tunduk dan taat kepada pimpinan yang dahulu mantan anak buahnya. Bahkan dengan tulus ikhlas menerima sebagai jabatan di instansi yang lebih rendah di lingkungan Angkatan Darat, seperti menjadi Komandan SSKAD(Seskoad-sekarang). Direktur Zeni dan masih banyak lagi.

Banyak nilai-nilai yang dapat dipetik dari liku-liku perjalanan karier G.P.H. Djatikusumo, antara lain :
1.Sebagai prajurit beliau tidak hanya loyal namun lebih dari itu adalah seorang yang rendah hati, dan berjiwa besar kepada kepentingan bangsanya. Berbicara loyalitas dan kerendahan hati G.P.H.Djatikusumo. Jenderal besar A.H mengungkapkan Berkali-kali pindah bahkan turun tingkat jabatan, namun tidak pernah protes. Bahkan G.P.H. Djatikusumo mengatakan: Yang penting bukan jabatannya tetapi yang penting adalah  tugasnya. Hal ini memberi gambaran kepada kita bahwa beliau selalu loyal akan perintah dan tidak memilih-milih tugas atau jabatan.

2.Sebagai sosok seorang prajurit yang sepi ing pamrih rame ing gawe. Sosok pekerja keras dan penuh pengorbanan serta tidak pernah mengharapkan imbalan jasa.Bahkan G.P.H. Djatikusumo pada amanat perpisahan saat serah terima Dirziad,menyatakan :Usaha untuk mengabdi pada negara dan rakyat indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan, dan dalam mengejar cita-citanya,suatu negara yang aman, adil dan makmur,meminta pemerasan keringat setiap hari ,bahkan di iringi cucuran air mata dan pengorbanan jiwa….

3.Sosok prajurit yang yakin akan kebenaran tugas yang telah diberikan oleh pimpinan kepadanya ,tidak ada ambisi pribadi dalam dirinya. Dalam melaksanakan tugas selalu didasarkan pada semangat pengabdian yang
diwujudkan dalam sikap dan prilaku yang dilandasi keikhlasan berkorban, berjuang dan berbhakti yang tidak mengenal menyerah,tahan menderita serta senantiasa mengutamakan kepentingan bangsa dan negara dari pada kepentingan pribadinya.Hal ini dilakukanya bukanya tampil beda atau ikut ramai dengan kondisi waktu itu tetapi lahir dari suatu prinsip yang luhur demi tetap tegaknya NKRI.

4. Sosok prajurit yang yakin dan percaya sepenuhnya terhadap apa yang diputuskan oleh pimpinan/komandanya karena pimpinan adalah orang yang diamanatkan tuhan melalui pemerintah untuk melaksanakan suatu tugas.Kepatuhan terhadap pimpinan itu diyakini benar bahwa apa yang telah diputuskan oleh pimpinan/komandan adalah hal terbaik karena sudah melalui suatu proses yang panjang dan matang.Dalamhal ini tepatlah apa yang dikatakan oleh G.P.H.Djatikusumo bahwa salah satu sumber kejayaan Angkatan Bersenjata RI adlah mutu pemimpin dan kepemimpinannya. 

Sumber : https://sejarahpusdikzi.wordpress.com

No comments:

Post a Comment