Wednesday, 18 May 2016

K.H. Mansur - Sang Ulama Cerdas


K.H. Mas Mansur adalah arek Suroboyo, kelahiran kampung Sawahan yang sekarang bernama Kampung Baru Nur Anwar, pada tanggal 25 Juni 1896. la adalah putera Kyai Mas Ahmad dari keluarga pesantren Sidoresno Surabaya. Ibunya bernama Ramlah. Pendidikan Mansur dimulai dengan belajar pada ayahnya sendiri, kemudian belajar pada Kyai Cholil di Kademangan, Bangkalan, Madura. Umur 12 tahun ia dikirim oleh ayahnya ke Mekah untuk belajar pula. Belum lama disana, terjadilah peristiwa politik di negeri Saudi Arabia dan semua orang asing diperintahkan oleh Raja Syarif Husein di Mekah agar meninggalkan kota itu.

Mansur berangkat ke Mesir karena ingin meneruskan pelajaran di Universitas Al Azhar, namun ayahnya tidak menyetujuinya karena menganggap Mesir adalah tempat plesir dan maksiat. Di Mesir tidak menerima kiriman uang dari ayahnya sehingga hidup dari dana-dana dan makan pun di mesjid. Untung hal yang demikian tidak berlangsung lama. Ayahnya kemudian berubah pendapat dan mau mengirim belanja kepadanya. Selama di Mesir banyak membaca buku-buku sastra Barat yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Disana menyaksikan pula tumbuhnya nasionalisme dan hal ini membekas dalam jiwanya.
 
Ia belajar di Al Azhar kurang lebih 3 tahun lamanya. Selama di Mesir berkesempatan mengunjungi beberapa negara Islam, antara lain meninjau pesantren Syanggit di Tripoli yang amat berkesan dihatinya. Berhubung dengan berkecamuknya perang dunia I, dipanggil pulang oleh ayahnya. Dalam perjalanan pulang bermukim lagi satu tahun di Mekah.
 
Pada tahun 1915 tiba kembali di tanah airnya. Ia segera disibukkan oleh berbagai kegiatan dalam pergerakan agama, bahkan politik pula. Sebagai ulama, dikenal ahli ilmu tasawuf, ilmu tauhid, ilmu kalam, falsafah, dan mantiq K.H. Mas Mansyur menyadari, bahwa pada masa penjajahan itu, agama Islam tidak dapat berkembang. Pemerintah jajahan selalu berusaha menjauhkan masyarakat, terutama kaum terpelajarnya, dari kehidupan agama Islam. K.H. Mas Mansyur sudah berkata pada zaman itu, bahwa….. ditanah air kita Indo­nesia ini sebagian banyak dari kaum terpelajar kita yang lari dari agama Islam lantaran mereka merasa ragu-ragu disebabkan oleh keadaan pemeluknya yang pada masa ini sedang berada di lapisan yang paling rendah, rendah dan sungguh rendah martabat kedudukannya kalau dibandingkan dengan umat yang lain, ya sekali lagi rendah martabatnya. Tetapi di samping kerendahan bangsa kita dewasa ini adalah boleh dikatakan, karena kita sendiri, bukan karena Is­lam. Bukan karena Muhammad, dan bukan karena Qur’an dan Hadisnya, Is­lam tetap tinggi, tetapi umatnya belum tentu sebagai dia. Biar umatnya tidak terpandang, hina dina, namun dia (Islam) tetap mulia. Kehinaan umatnya bukan menunjukkan atas kehinaannya. Tegasnya, kehinaan dan kebenaran serta kemuliaan pemeluk sesuatu agama itu, bukan menjadi ukuran atas kehinaan agama yang dipeluknya. Tetapi ukuran kebenaran dan kerendahan suatu agama itu, ialah tersimpan di mata air agama itu sendiri.
 
Setibanya kembali di tanah air, dari Jakarta K.H. Mansur tidak langsung pulang ke Surabaya, tetapi singgah di Yogyakarta pada K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, untuk memperkenalkan diri dan bersilaturahmi. Rupanya sejak di negeri Saudi Arabia sudah tertarik oleh Muhammadiyah yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan tiga tahun sebelum pulang. Sejak itu terjadilah hubungan erat antara K.H. Mas Mansur dengan K.H. Ahmad Dahlan dan pada tahun 1921 K.H. Mas Mansur pun masuk menjadi anggota Muhammadiyah.
 
Sebelum masuk Muhammadiyah lebih dahulu telah tertarik kepada politik dan menjadi anggota SI (Serikat Islam) sejak tahun 1915. Disamping itu aktif didalam lembaga pendidikan bersama-sama rekan-rekannya ulama mendirikan Madrasah Nadhatul Wathan. Taswirul Afkar dan mengajar dipesantren ayahnya Madrasah Mufidah. Di sini menerapkan sistim Mesir.
 
Di dalam Muhammadiyah kedudukan K.H. Mas Mansur terus meningkat. Masuk Muhammadiyah, kemudian mendirikan cabang Surabaya yang diketuainya, lalu diangkat menjadi konsul untuk Jawa Timur dan di dalam kongres Muhammadiyah ke-26 pada tahun 1937 dipilih menjadi Ketua Pimpinan Pusat. Di dalam kongres-kongres berikutnya dipilih kembali hingga memimpin Muhammadiyah selama 6 tahun penuh, dari tahun 1937 hingga 1943. Selama menjadi Ketua PP Muhammadiyah memberi pelajaran pada Madrasah Mu’alimin, yaitu sekolah calon guru Muhammadiyah sekaligus sebagai kader-kader yang disiapkan untuk menanam benih-benih Muhammadiyah ke seluruh Indonesia. 

Disana K.H. Mas Mansur memberikan pelajaran ilmu tauhid dan terkenal sebagai ustadz yang pandai mengajar. Pelajarannya padat, tetapi populer, mudah diikuti. Oleh karenanya para siswanya hingga sekarang masih terkenang kepada almarhum gurunya yang mahir itu.
 
Sebagai seorang mubaligh K.H. Mas Mansur pandai berpidato. la terkenal dengan pidatonya yang singkat, padat, seringkali dibumbui dengan hal yang lucu-lucu. Menulis pun Mas Mansur mahir. Tulisan-tulisannya dimuat berbagai majalah. Tulisannya pun seperti pidatonya, yaitu singkat, padat, jelas dan enak dibaca. Pernah pula menerbitkan majalah tengah bulanan yang diberinya nama Le Djinem (baca: Jinem), Journal Ertude, Proprietair. Majalah yang nama-namanya mirip bahasa Perancis itu bukan berbahasa Perancis, tetapi berbahasa Jawa dengan huruf Arab. Majalah Djinem menyuarakan ”arinom” artinya adik muda atau angkatan muda. Majalah ini terbit tahun 1920.
 
Kecuali berpidato dan menulis pun suka berpolemik tentang sesuatu masalah. Ia selalu merasa perlu mendudukkan suatu persoalan sewajarnya hingga masyarakat umum memahami soal itu dengan benar-benar. Kalau masih juga lawan polemiknya belum mengerti. Mas Mansur tidak segan-segan mendatanginya tidak lain untuk menjelaskan persoalannya.
 
Dalam memimpin Muhammadiyah Mas Mansur menerapkan disiplin yang ketat. Menarik garis antara pribadi dan organisasi. Ia lebih suka orang-orang Muhammadiyah datang di kotanya tentang urusan organisasi dari pada datang di kediamannya dengan dalih bersilaturrahmi. Rapat PP Muhammadiyah pernah dibatalkan, karena pada waktu yang ditetapkan dalam undangan, para anggota belum mencukupi jumlah untuk dapat bersidang. Sejak itu PP Muhammadiyah menjauhi kebiasaan jam karet.
 
Sebagai tokoh masyarakat, banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, baik dari golongan agama maupun golongan politik membantu Muhammadiyah dalam menyelenggarakan rumah dan poliklinik.
 
K.H. Mas Mansur tidak saja memiliki berbagai keahlian dalam soal-soal agama Islam, tetapi banyak pula prakarsanya mengembangkan agama Islam ditanah air. Pada tahun 1926 menjadi ketua MAIHS (Mu’tamar al-alam allslam Far’ul Hindisy – Syaqiyah) dengan sekretaris Haji Agus Salim. Dalam tahun itu juga menjadi ketua HOH (Haji Organisasi Hindia), dan dalam tahun itu pula bersama H.O.S. Cokroaminoto dan K.H. Mas Mansur Sejak berangkat ke Mekah untuk mewakili Indonesia dalam Mu’tamar Alam Islami sedunia.
 
K.H. Mas Mansur adalah seorang ulama yang besar, juga seorang pemimpin yang disegani. Bukan saja karena ilmunya yang luas dan dalam mengenai agama Islam, tetapi juga karena wataknya yang luhur dan berbudi. Pengaruhnya tidak terbatas dilingkungan umat Islam saja, tetapi juga meluas di segenap masyarakat bangsa, karena itu sudah sewajarnya, apabila pemerintah kolonial Hindia Belanda memperhatikan dan berusaha untuk mendekati K.H. Mas Mansur.
 
Dengan melalui Dr. Pijper pemerintah Hindia Belanda menawari K.H. Mas Mansur supaya suka menduduki jabatan sebagai Ketua Hod van Islamietische Zaken, yaitu suatu lembaga tinggi tentang urusan agama Islam, yang berkewajiban memberikan nasehat-nasehat keagamaan Islam kepada Pemerintah Hindia-Belanda. K.H. Mas Mansur akan memperoleh gaji sebesar f.1000,- (seribu gulden) setiap bulan, suatu jumlah yang sungguh besar, seperti gaji seorang bupati di zaman Hindia Belanda itu.
 
Tetapi diluar dugaan Pemerintah Hindia Belanda dan pihak-pihak yang tidak menyukai beliau, ternyata K.H. Mas Mansur menolak. la memilih kebebasan bergerak di dalam perserikatan Muhammadiyah, walaupun dengan keperluan hidup yang serba terbatas daripada menjadi ketua Hod van Islamitiesche Zaken dengan gaji besar dan kehidupan mewah, tetapi menjadi alat pemerintahan penjajahan. Karena penolakannya itu, nama Kyai Haji Mas Mansur makin harum, terutama dikalangan para pemimpin pergerakan nasional.
 
Prakarsa K.H. Mas Mansur yang mendapat penghargaan dari para pemimpin Islam ialah berdirinya Majelis Islam Tertinggi yang berkembang menjadi MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia) pada tahun 1937, menemui Kyai Haji Moh. Dahlan pemimpin Nadlatul Ulama (NU) di Surabaya dan mengusulkan pembentukannya Majelis Islam Tertinggi. Usul itu mendapat sambutan dan kemudian mereka mengadakan pertemuan dengan para ulama di Surabaya yang di hadiri oleh 70 orang ulama dari Jawa dan Madura. Pada pertemuan itulah dibentuk majelis tersebut dengan ketua K.H. Mas Mansur, wakilnya K.H Moh. Dahlan (Surabaya) dan K.H. Wahab Habullah dari NU duduk didalam pengurus pula.
 
Pada tanggal 26 Februari – 1 Maret 1938 MIAI mengadakan Kongres Al Islam ke I di Surabaya. Sebenarnya umat Islam Indonesia pernah melangsungkan kongres Al Islam sampai yang ke-9 sebelum ada MIAI, namun yang diusahakan MIAI itu disebut Kongres Al Islam ke-1. Hal ini tidak menjadi persoalan karena para ulama lebih mementingkan persatuan umat Islam yang waktu itu terasa goncang. Kegoncangan itu disebabkan karena adanya perbedaan pandangan antara PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) dengan kelompok-kelompok lainnya.
 
Kegoncangan itu melahirkan PARII (Partai Islam Indonesia) yang didirikan pada tanggal 24 Desember 1938 dibawah pimpinan Wiwoho Purbohadijoyo dan dr. Sukirman Wiryosanjoyo. K.H. Mas Mansur duduk sebagai anggota Pengurus Besarnya.
 
Pada tahun 1939 berdirilah GAPI (Gabungan Partai-Partai Politik Indonesia) dengan tuntutannya ”Indonesia Berparlemen” dan programnya menyelenggarakan Kongres Rakyat Indonesia (KRI). MIAI dengan wakil-wakilnya, Wahid Hasyim, Wondoamiseno, Sukiman dan K.H Mas Mansur ikut serta. Beberapa partai dan organisasi lain ikut pula. Dalam tahun 1941 KRI yang telah menjadi badan tetap mengganti nama dengan Majelis Rakyat Indonesia (MRI) K.H. Mas Mansur dipilih menjadi ketuanya. Hal itu membuktikan bahwa kepemimpinannya tidak hanya diakui oleh kelompok agama, tetapi juga oleh kaum pergerakan nasional.
 
Perlu diketahui pada zaman kolonial itu pemerintah Belanda memang membentuk Dewan Rakyat (Volksraad). Tetapi para pemimpin pergerakan nasional, terutama kaum nonkoperasi (tidak bekerjasama dengan pemerintah jajahan) tidak menaruh kepercayaan terhadap Volksraad yang dinamakannya Komidi omong. Volksraad itu memang alat Pemerintah Hindia Belanda.
 
Selama berjuang dan memimpin perjuangan umat Islam K.H. Mas Mansur banyak sekali menyumbang buah pikiran berupa pidato-pidato dan tulisan-tulisan diberbagai majalah dan surat kabar.
Pemerintah RI dengan SK Presiden RI No.162 Tahun 1964 tertanggal 26 Juni 1964 menganugerahi Kyai Haji Mas Mansur gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Sumber : http://pahlawancenter.com
 




No comments:

Post a Comment