Monday, 2 May 2016

Biografi Singkat Agustinus Adisutjipto

Agustinus Adisutjipto dilahirkan di Salatiga pada tanggal 4 Juli 1916. la mempunyai tiga orang adik, kesemuanya laki-laki. Ayahnya bernama Ruwidodarmo, seorang pemilik sekolah di Salatiga. Keluarga Ruwidodarmo memeluk agama Katolik. Agustinus Adisutjipto mula-mula bersekolah di sekolah dasar (HIS), kemudian meneruskan ke MULO, yaitu Sekolah Menengah Pertama. la lulus MULO pada tahun 1933. Adisutjipto adalah seorang pendiam, tetapi tabah dan tidak gentar menghadapi bahaya. Ia pun gemar membaca terutama buku tentang peperangan dan filsafat. la juga suka berolah raga, diantaranya sepakbola, tennis dan mendaki gunung. Catur juga merupakan kegemarannya.

Sebenarnya, sesudah menamatkan MULO, Adisutjipto ingin mengikuti pendidikan di Sekolah Penerbangan di Kalijati, tetapi ayahnya tidak menyetujuinya. Beliau menginginkan agar puteranya yang sulung ini kelak menjadi dokter.
 
Adisutjipto menuruti keinginan ayahnya. la meneruskan sekolah di Semarang yaitu di Alegemeene Middelbare School (AMS) bagian ilmu Pasti (B), setingkat dengan SMA Paspal.
 
Sesudah lulus dari AMS dengan nilai yang bagus, maka Adisutjipto sekali lagi mohon izin kepada ayahnya agar diperkenankan meneruskan sekolah ke Akademi Militer di Breda, Negeri Belanda. Pada waktu itu Akademi Militer di Breda hanya menerima kadet yang berkebangsaan Belanda. Pemuda Indonesia ada juga yang belajar di sana tetapi harus dari kalangan bangsawan tinggi. Tentu sulit bagi Adisutjipto untuk masuk ke Akademi Militer di Breda itu. Lagi pula ayahnya tetap menginginkan agar Adisutjipto memasuki Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta.
 
Adisutjipto mengikuti saran ayahnya dan belajar di Geneeskundige Hoage School (GHS) atau Perguruan Tinggi Kedokteran di Jakarta. Dengan tekun ia berkuliah di Perguruan Tinggi Kedokteran itu, tetapi sebenarnya hatinya tidak sepenuhnya berada di sana. Ia masih memendam cita-cita untuk menjadi penerbang atau pilot pesawat terbang.
 
Demikianlah, ia tidak dapat menahan gejolak hatinya. lalu secara diam-diam mengikuti test pada Sekolah Pendidikan Penerbangan Militer (Militaire Luchtvaart Opleidings School) di Kaiijati.
Waktu itu Perang Dunia Ke-II sudah pecah di Eropa. Suasana di Indonesia (Hindia Belanda) sudah mulai hangat menjelang masuknya pasukan Jepang karena harus bersiap-siap menghadapi kekuatan militer Jepang, maka Pemerintah Hindia Belanda membuka kesempatan bagi pemuda-pemuda Indonesia untuk dilatih menjadi penerbang.
 
Ternyata Agustinus Adisutjipto lulus pada test masuk dengan nilai memuaskan. Meskipun demikian ia masih belum merasa mantap, karena izin dari orang tuanya belum diperolehnya. Ia tahu benar, ayahnya akan menghalang-halangi keinginananya itu. Oleh karenanya ia meminta bantuan Asisten Residen Salatiga agar ayahnya suka memberi izin. Ternyata kali ini ayahnya meluluskan keinginan puteranya itu. Sejak itu Adisutjipto mengikuti latihan-latihan terbang di Kaiijati. Dengan disiplin yang tinggi ia berlatih dan ternyata hasilnya memuaskan. Para instruktur memuji Adisutjipto sebagai seorang yang pendiam, tidak banyak bicara, halus budipekertinya, cermat, disiplin, pemberani lagi pula cerdas. Masa pendidikan yang seharusnya ditempuh dalam tiga tahun, dapat ia selesaikan lebih cepat. Hanya dua tahun Adisutjipto mengikuti pendidikan kemudian diangkat dalam dinas militer dengan pangkat Letnan Muda Calon Penerbang. 

Kemudian ia meneruskan pendidikan untuk memperoleh Brevet Penerbang Tingkat Pertama. Di antara sepuluh calon penerbang bangsa Indonesia yang mengikuti latihan ini, hanya lima yang berhasil memperoleh Brevet Penerbang Tingkat Pertama, di antaranya Agustinus Adisutjipto. Ia masih belum puas dan masih berusaha untuk mencapai Brevet Tingkat Atas. Ternyata dari lima orang bangsa Indonesia itu, hanya dua orang yang berhasil, yaitu Sambujo Hurip dan Agustinus Adisutjipto. Sambujo Hurip kemudian gugur di Semenanjung Malaka pada awal perang Asia Timur Raya melawan Jepang. Dengan demikian di antara Bangsa Indonesia pada waktu itu tinggal Agustinus Adisutjipto sajalah yang memegang Brevet Penerbangan Tingkat Atas.
 
Adisutjipto lalu bertugas sebagai penerbang dari skwadron pengintai Angkatan Udara KNIL (Angkatan Perang Hindia Belanda) pada tahun 1939, berkedudukan di Tuban, Jawa Timur. Iajuga diangkat sebagai ajudan Kolonel Clason, pejabat Angkatan Udara KNIL di Jawa hingga tahun 1942.
 
Pada waktu di Kalijati, Agustinus Adisutjipto sudah berkenalan dan bersahabat dengan S. Suryadarma, seorang lulusan Akademi Militer di Breda yang sedang mengikuti pendidikan Penerbangan Militer Angkatan Udara (Militer Luchtvaart). Di kemudian hari, persahabatan antara S. Suryadarma dan Agustinus Adisutjipto itu makin berkembang, sehingga pada waktu Indo­nesia Merdeka, justru kedua tokoh itulah yang mula-mula sekali memperoleh kehormatan untuk membina Angkatan Udara Republik Indonesia atau TNI Angkatan Udara. Ketika Hindia Belanda sudah diambang keruntuhannya, banyak penerbang yang mengungsi ke Australia, tetapi Agustinus Adisutjipto tidak mau ikut dan memilih tetap di tanah air.
 
Pada zaman pendudukan Jepang, Adisutjipto tidak lagi menjadi penerbang. la pulang ke rumah orang tuanya di Salatiga dan bekerja sebagai jurutulis pada perusahaan angkutan bis dengan suka dan dukanya. Thun 1944, Adisutjipto menikah dengan gadis Rahayu, puteri Bapak Suryo. Setahun kemudian lahirlah puteranya, diberi nama Franciscus Xaverius Adisusarito.
 
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan diumumkan dan Revolusi Indo­nesia mulai meletus, maka Agustinus Adisutjipto segera terlibat dalam kegiatan yang penting. la segera pindah ke Yogyakarta. Pada waktu itu S. Suryadarma ditunjuk sebagai Komandan Bagian Penerbangan pada Markas Tertinggi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) di Yogyakarta. Bagian ini kemudian berkembang menjadi TKR Jawatan Penerbangan.
Suryadarma segera memanggil Adisutjipto untuk membantu membangun kekuatan Indonesia di Udara. Adisutjipto segera diangkat menjadi Komodor Muda Udara dengan tugas mengambil alih seluruh perlengkapan, tenaga kerja dan instalasi penerbangan. Dilapangan terbang Maguwo. Yogyakarta, ia menerima tanggungjawab langsung dari panglima divisi setempat, yang secara resmi berlaku sejak tanggal 15 Desember 1945.
 
Tugas TKR Jawatan Penerbangan sungguh berat, yaitu mengadakan konsolidasi organisasi di pusat (Markas Besar). Di samping itu sudah harus melakukan persiapan operasi secepat-cepatnya agar dapat segera ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan secara nyata, antara lain menyusun kesatuan udara, pengelolaan lapangan terbang dan pengadaan fasilitas lainnya. Juga harus segera diadakan pendidikan, baik yang bersifat ulangan maupun pengrekutan baru.
 
Karena Komodor Muda Udara adisutjipto adalah satu-satunya penerbang bangsa Indonesia yang memiliki Brevet Penerbang Tingkat Atas Pada waktu di Kalijati, Agustinus Adisuijipto sudah berkenalan dan bersahabat dengan S. Suryadarma, seorang lulusan Akademi Militer di Breda yang sedang mengikuti pendidikan Penerbangan Militer Angkatan Udara (Militer1 Luchtvaart). Di kemudian hari, persahabatan antara S. Suryadarma dan Agustinus Adisutjipto itu makin berkembang, sehingga pada waktu Indonesia Merdeka, justru kedua tokoh itulah yang mula-mula sekali memperoleh kehormatan untuk membina Angkatan Udara Republik Indonesia atau TNI- Angkatan Udara. Ketika Hindia Belanda sudah diambang keruntuhannya, banyak penerbang yang mengungsi ke Australia, tetapi Agustinus Adisutjipto tidak mau ikut dan memilih tetap di tanah air.
 
Pada zaman pendudukan Jepang, Adisutjipto tidak lagi menjadi penerbang. la pulang ke rumah orang tuanya di Salatiga dan bekerja sebagai jurutulis pada perusahaan angkutan bis dengan suka dan dukanya. Tahun 1944, Adisutjipto menikah dengan gadis Rahayu, puteri Bapak Suryo. Setahun kemudian lahirlah puteranya, diberi nama Franciscus Xaverius Adisusanto.
 
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan diumumkan dan Revolusi In­donesia mulai meletus, maka Agustinus Adisutjipto segera terlibat dalam kegiatan yang penting. la segera pindah ke Yogyakarta. Pada waktu itu S. Suryadarma ditunjuk sebagai Komandan Bagian Penerbangan pada Markas Tertinggi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) di Yogyakarta. Bagian ini kemudian berkembang menjadi TKR Jawatan Penerbangan.
Suryadarma segera memanggil Adisutjipto untuk membantu membangun kekuatan Indonesia di Udara. Adisutjipto segera diangkat menjadi Komodor Muda Udara dengan tugas mengambil alih seluruh perlengkapan, tenaga kerja dan instalasi penerbangan. Dilapangan terbang Maguwo, Yogyakarta, ia menerima tanggungjawab langsung dari panglima divisi setempat, yang secara resmi berlaku sejak tanggal 15 Desember 1945.
 
Tugas TKR Jawatan Penerbangan sungguh berat, yaitu mengadakan konsolidasi organisasi di pusat (Markas Besar). Di samping itu sudah harus melakukan persiapan operasi secepat-cepatnya agar dapat segera ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan secara nyata, antara lain menyusun kesatuan udara, pengelolaan lapangan terbang dan pengadaan fasilitas lainnya. Juga harus segera diadakan pendidikan, baik yang bersifat ulangan maupun pengrekutan baru.
 
Karena Komodor Muda Udara Adisutjipto adalah satu-satunya penerbang bangsa Indonesia yang memiliki Brevet Penerbang Tingkat Atas (Groot Militaire Brevet atau GMB), maka ia diserahi tugas bidang Pendidikan dengan wewenang penuh. Di samping itu ia juga memimpin kesatuan operasi di pangkalan Maguwo. Jadi Komodor Muda Udara A. Adisutjipto tercatat sebagai perintis utama dalam sejarah pendidikan penerbangan di Indonesia.
 
Tugas yang dipikul para perintis penerbangan Indonesia sungguh berat. Betapa tidak ?! Pada tahun 1945 itu keadaan masih serba langka. Jumlah penerbang dan ahli teknik penerbangan bangsa Indonesia masih sangat sedikit, dapat dihitung dengan jari. Memang benar, kita mewarisi pesawat-pesawat terbang bekas milik Jepang. Jumlahnya pun lumayan, tetapi semuanya lebih menyerupai rongsokan, bahkan besi tua. Ada pesawat terbang tipe Cureng buatan tahun 1933, pesawat pembom jenis Tuntai, Rocojunana dan Suky. Juga pesawat penyergap tipe Hayabusa dan Sausykisin, serta pesawat pelatih jenis Cureng Cukiu dan Nishikoren. Kalau dihitung waktu itu terdapat kira-kira 102 pesawat terbang, termasuk sebuah pesawat pengangkut jenis Bristol Blenheim. Tetapi tidak ada yang mulus, semuanya dalam keadaan rusak.
 
Lagi pula para penerbang Indonesia pada zaman Jepang tidak ada yang berkesempatan atau diberi kesempatan menerbangkan pesawat. Buku pemandu pesawat terbang semuanya ditulis dalam bahasa Jepang. Sehingga sungguh sulit untuk memahaminya. Tetapi para perintis penerbangan Indonesia itu tidak mau mundur. Mereka berusaha dengan sekuat-kuatnya. Pesawat-pesawat terbang itu diperbaiki setapak demi setapak. Suryadarma sementara itu sudah berhasil menghimpun para penerbang dan teknisi bangsa Indonesia. Sedangkan Adisutjipto juga bekerja siang dan malam untuk membina dunia penerbangan Indonesia. Dengan ketekunan, keberanian dan ketabahan hati yang luar biasa, maka Komodor Muda Udara A. Adisutjipto pada tanggal 27 Oktober 1945 berhasil menerbangkan pesawat Cureng yang sudah diberi tanda merah putih melayang-layang di angkasa kota Yogyakarta. Hari itu adalah hari bersejarah, karena untuk pertama kalinya ada pesawat milik Republik Indonesia terbang di udara Indonesia Merdeka. Bagi Adisutjipto peristiwa itu juga luar biasa, karena sudah kira-kira empat tahun lamanya tidak mengemudikan pesawat terbang.
 
Komodor Muda Udara A. Adisutjipto segera bertindak mendidik pemuda-pemuda untuk menjadi penerbang. Pada tanggal 1 Desember 1945 didirikanlah Sekolah Penerbang yang pertama di Lapangan Udara Maguwo,Yogyakarta. Adisutjipto sendiri bertugas menjadi Kepala Sekolah Penerbangan itu. Dalam Waktu singkat sudah terkumpul beberapa pemuda. Mereka itu terdiri dari berbagai tingkatan. Ada pemuda-pemuda yang baru memperoleh brevet penerbangan tingkat pertama, ada pula yang telah mempunyai brevet penerbangan non militer. Ada juga yang sudah pernah belajar menerbangkan pesawat terbang tetapi belum mempunyai Brevet, dan sisanya adalah pemuda-pemuda yang sama sekali belum mempunyai pengalaman penerbangan.
 
Pemuda-pemuda yang sudah mempunyai pengalaman penerbangan, dengan cepat dapat lulus dan segera diangkat menjadi instruktur. Dengan semangat tinggi, Komodor Muda Udara A. Adisutjipto melatih para calon penerbang itu. Mereka memperoleh pengetahuan teori penerbangan dan pengetahuan militer. Mereka juga harus mahir dalam praktek, sehingga mampu menerbangkan pesawat terbang. Lagi pula, pada waktu itu adalah zaman perang kemerdekaan melawan Belanda. Para penerbang itu sekaligus harus mampu dalam perang yang sebenarnya. Kebanyakan pesawat terbang Rl waktu itu terpaksa harus lepas landas pada pagi hari sekali dan mendarat sore atau malam hari untuk mennghindari intaian pesawat terbang Belanda. Adisutjipto melatih para calon penerbang itu dengan pesawat tipe Cureng.
 
Sementara itu organisasi Angkatan Udara Republik Indonesia makin maju. Pimpinannya tetap dipegang oleh Komodor Udara S. Suryadarma, sedangkan Komodor Muda Udara A. Adisutjipto menjabat sebagai Wakil II/Kepala Staf AURI. Adisutjipto tidak hanya melatih para calon penerbang. la juga ikut langsung dalam penerbangan jarak jauh. Bersama penerbang-penerbang lainnya, Adisutjipto memimpin suatu penerbangan formasi jarak jauh yang pertama dari Maguwo ke Jakarta dengan pesawat-pesawat Tatcikawa Army 98 Cakiu. Mereka itu bertugas membawa para pucuk pimpinan TNI pada tanggal 23 Juli 1946 ke Jakarta untuk berunding dengan Pimpinan Pasukan Sekutu mengenai penyelesaian tawanan perang dan kaum interniran Sekutu.
 
Belanda yang ingin menjajah kembali tanah air kita itu melakukan blokade baik di daratan, lautan maupun udara. Tetapi Komodor Muda Udara A. Adisutjipto dapat menerobos blokade itu. la pernah terbang ke India dan mengunjungi Perdana Menten India, Sri Jawaharlal Nehru untuk meminta bantuan pinjam pesawat terbang Dakota dan penyediaan tenaga instruktornya. Misinya itu berhasil, dan seorang industriawan bangsa India bernama Patnaik bersedia meminjamkan pesawat terbang Dakota kepada pemerintah Republik Indonesia.
 
Sementara itu pasukan Belanda melancarkan agresi militer I pada tanggal 21 Juli 1947. Berbagai lapangan terbang seperti Gorda, Kalijati dan Maospati dibom. Tindakan Belanda ini harus kita balas. Kira-kira delapan hari sesudah penyerangan Belanda itu, tepatnya pada tanggal 29 Juli 1947, naiklah beberapa pesawat terbang AURI, terdiri dari pesawat pembom Guntai dan dua pesawat Cureng menuju daerah pendudukan Belanda di Jawa Tengah. Pesawat-pesawat terbang AURI itu dengan semangat keberanian yang luar biasa, menjatuhkan beberapa buah bom di pangkalan militer Belanda di Semarang, Salatiga dan Ambarawa. Serangan ini berhasil dan Belanda menjadi sangat terkejut dan marah sekali.
 
Pada hari itu juga ada pesawat Dakota VT-CLA akan berangkat ke Indonesia dengan membawa obat-obatan sumbangan Palang Merah Internasional kepada Palang Merah Indonesia. Pesawat itu dikemudikan oleh A.N. Constantine (pilot), R. Hazelzurt (co-pilot), Adisumarmo Wiryokusumo (juru radio), dan Bhida Ram (juru teknik). Di dalam pesawat itu ikut pula Komodor Muda Udara A. Adisutjipto dan Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, juga seorang pemimpin AURI. Selanjutnya masih terdapat penumpang-penumpang lainnya, yaitu Ng. Constantine, Zainal Arifin (dari Kementrian Perdagangan RI) dan R.A. Gani Handonocokro.
 
Pesawat Dakota tersebut akan mendarat di Maguwo pada petang hari tanggal 29 Juli 1947. Sementara itu secara tiba-tiba muncullah dari arah utara dua pesawat pemburu Belanda Kittyhawk yang langsung menyerang pesawat terbang Dakota. Tembakan itu tepat pada sasarannya. Pesawat Dakota menjadi guncang dan menabrak sebatang pohon. Seketika pesawat itu patah dan terbakar. Semua penumpang tewas, kecuali R.A. Gani Handonocokro.
 
Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto gugur dalam peristiwa itu. Umurnya baru 31 tahun. Negara dan Bangsa Indonesia kehilangan atas gugurnya Adisutjipto. Alangkah besarjasa Agustinus Adisutjipto bagi negara dan bangsa. Pemerintah Republik Indonesia menghargai jasa dan pengabdian Adisutjipto. Almarhum diangkat menjadi Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden RI No. 071/TK/TH 1974 tanggal 9 November 1974.

Sumber : www.pahlawancenter.com

No comments:

Post a Comment