Sultan
Hamengku Buwana IX bernama asli Dorojatun. Dilahirkan pada hari Sabtu tanggal
12 April 1912 di Kampung Sompilan, Jalan Ngasem 13 Yogyakarta.
Pada usia
empat tahun, Dorojatun di ttitipkan kepada keluarga belanda Mulder. Ia sekolah
di Ste Eupopeesche Lagene School B di Kampementstraat (jalan
senopati). Kemudia Dorojatun pindah ke sekolah Neutrae Hollands Javaanse
Jongens School. Di keluarga Mulder, Dorojatun diberi panggilan Henkie. Nama Henkie
dipakai sebagai panggilan pada waktu sekolah hingga perguruan tinggi.
Pada waktu
umur enam tahun Dorojatun masuk sekolah dasar Eerste Europese Lagere School
B atau biasa dikenal Een B. Ia diterima di sekolah terbaik bagi
golongan eropa karena ia merupakan anak sultan. Keinginan untuk maju sangat
kuat. Ia menyaksikan sendiri diskriminasi masyarakat eropa kepada masyarakat
pribumi. Pada sekolah Een B dibedakan perlakuan antara orang kulit pribumi
dengan anak eropa. Sebelum selesai di sekolah Een B ia pindah di Neutrale
eurpese lagere school di Jalan Pakem (jalan kaliurang). Ia mengikuti klub
sepakbola dan klub kepanduan.
Lulus pada
usia 13 tahun Dorojatun kemudian melanjutkan ke HBS di Semarang. Tetapi karena
iklim yang terlalu panas tidak cocok dengan kesehatan Dorojatun sehingga
ayahnya HB VIII mengambilnya. Selanjutya Dorojatun dikirim ke Bandung untuk
sekolah di Hogere Burger School (HBS).
Lalu setelah
lulus HBS ia dikirim ke Belanda ditemani kakaknya B.R.M Tinggarto dan keluarga
Hofland. Di Belanda ia sekolah setingkat menengah atas dan setelah lulus
ia melanjutkan kuliah di Rijksuniversiteit yang terletak di kota Leiden.
Jurusan yang diambil adalah Indologi yaitu jurusan yang merupakan gabungan dari
bidang ekonomi dan hukum. Agar memiliki wawasan luas mengenai ilmu dan
aplikasainya ia mengikuti organisasi bahkan menjadi pemimpinnya. Antara lain
anggota Leidee Studentencorps, Vepeenigde Faculteiten dan Minerva.
Pernah
menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Menteri Ekuin, Perdana Menteri pada
kabinet Natsir, Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, menjabat sebagai Wakil
Presiden Republik Indonesia dan beberapa jabatan lainnya. Beliau wafat di
Wahsington DC Amerika Serikat, pada 2 Oktober 1988.
PERJUANGAN DAN JASA.
A. Bidang Politik Dan Pemerintahan
1. Menghadapi Pemerintahan Kolonial Belanda.
Sejak
berdirinya kerajaan Yogyakarta, pemerintah Belanda selalu mencampuri urusan
pemerintahan kerajaan ini, termasuk pengangkatan sultan. Calon Sultan terlebih
dahulu harus menandatangani kontrak politik yang isinya senantiasa
menguntungkan Belanda dan memperlemah posisi kerajaan. Hal itu pun dialami pula
oleh Dorodjatun sebelum beliau diangkat menjadi Sultan Yogyakarta. Berbeda
dengan sultan-sultan sebelumny a, Dorodjatun tidak begitu saja menerima kontrak
politik yang disodorkan kepadanya. Akibatnya, perundingan untuk merumuskan
kontrak politik itu berjalan cukup lama, dari bulan November 1939 sampai Maret
1940. Dalam perundingan ini Dorodjatun yang baru berusia 27 tahun berhadapan
dengan Dr. Lucien Adam, 60 tahun, seorang yang cukup berpengalaman dalam
masalah-masalah kolonial dan ahli adat-Istiadat Jawa. Ada tiga hal pokok yang
tidak dapat diterima oleh Dorodjatun, yakni fungsi patih, Dewan Penasehat dan
prajurit keraton.
a. Patih ( Pepatih Dalem )
Patih adalah
pegawai kerajaan dan sekaligus pegawai Belanda. Berarti ia memiliki kesetiaan
ganda dan karena Belanda berada pada posisi yang kuat, maka biasanya patih
lebih banyak bekerja untuk kepentingan Belanda. Dorodjatun menghendaki agar
Patih hanya menjadi pegawai kerajaan sehingga ia dapat mencurahkan perhatiannya
untuk kepentingan rakyat.
b. Dewan Penasehat.
Komposisi
Dewan Penasehat pun tidak disetujui oleh Dorodjatun. Separoh dari anggota dewan
ini ditunjuk oleh pemerintah Belanda dan separohnya lagi dicalonkan oleh
Sultan. Akan tetapi calon sultan ini harus disetujui oleh Belanda. Dengan
demikian, calon yang akan diangkat adalah calon yang disenangi oleh pemerintah
Belanda. Dorodjatun menghendaki agar calon yang diajukan sultan diterima secara
mutlak. Beliau juga menuntut agar anggota Dewan Penasehat diberi kebebasan
berbicara, sebab hanya dengan kebebasan itu mereka dapat memperjuangkan
kepentingan rakyat.
c. Prajurit Keraton
Pemerintah
Belanda menghendaki agar Prajurit Keraton dijadikan sebuah legiun, merupakan
bagian dari KNIL dan ditempatkan di bawah komando perwira Belanda, sedangkan
gaji mereka tetap dibayar oleh kesultanan. Dorodjatun menolaknya dan menuntut
agar prajurit keraton di tempatkan dibawah komando kesultanan.
Sekalipun
pada akhirnya Dorodjatun tidak berhasil menolak tuntutan Belanda, namun beliau
sudah berjuang semaksimal mungkin untuk kepentingan rakyat dan kerajaannya.
Adanya perasaan nasionalis • itu dapat pula dilihat dari pidato pengangkatannya
sebagai Sultan Yogyakarta, 18 Maret 1940. Dalam pidato itu beliau mengatakan
antara lain :
“ Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa”.
2. Menghadapi Pemerintah Pendudukan Jepang
Walaupun
berada di bawah tekanan keras dari pemerintah pendudukan Jepang, ternyata Sri
Sultan masih berusaha mempertahankan prinsip politiknya dan dalam hal ini
beliau berhasil. Tuntutannya supaya setiap tindakan yang akan diambil oleh
pemerintah Jepang di wilayah Kesultanan Yogyakarta dibicarakan lebih dahulu
dengannya, dipenuhi oleh pihak Jepang. Dalam masa ini Beliau berhasil
memperjuangkan apa yang dulu gagal diperolehnya dari pemerintah Hindia Belanda.
Sejak tahun 1944 kekuasaan Patih berhasil dikuranginya dan sejak tanggal 1
Agustus 1945 Jabatan itu ditiadakannya semaksimal. Dengan demikian Sri Sultan
dapat secara langsung menjalankan pemerintahan sehari-hari.
3. Peranan Dalam Kehidupan Republik Indonesia.
Proklamasi
Kemerdekaan yang segera disusul dengan berdirinya negara Republik Indonesia
(RI), pada hakekatnya adalah pukulan terhadap feodalisme yang berwujud dalam
bentuk kerajaan. Ternyata Sri Sultan dapat menyesuaikan diri dengan situasi
baru. Berbeda dengan sikap raja-raja lain, beliau segera menyatakan dukungannya
terhadap Republik itu. Tanggal 19 Agustus 1945 beliau mengirim telegram ucapan
selamat kepada Bung Karno, Bung Hatta, dan dr. Rajiman Wediodiningrat atas
terbentuknya Republik Indonesia dan terpilihnya Soekarno dan Hatta sebagai
Presiden dan Wakil Presiden. Dalam telegram berikutnya, 20 Agustus 1945, dengan
tegas dikatakannya bahwa beliau sanggup berdiri dibelakang Presiden dan Wakil
Presiden RI. Puncak dari penegasan itu diberikannya dalam amanat tanggal 5
September 1945:
- Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Republik Indonesia.
- Segala kekuasan dalam negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan urusan pemerintahan berada di tangan Hamengku Buwono IX.
- Hubungan antara Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah Republik
Indonesia
bersifat langsung dan Sultan Hamengku Buwono IX bertanggung- jawab kepada
Presiden RI. Disamping itu dalam maklumat nomor 5 tahun 1945 tanggal 26 Oktober
1945 Sri Sultan Hamengku Buwono IX memobilisasi gerakan rakyat untuk ikut serta
mempertahankan Negara RI dengan membentuk Laskar Rakyat.
Dilihat dari
kenyataan bahwa pada masa-masa sebelumnya Sri Sultan tidak mempunyai kontak
dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional termasuk Soekarno dan Hatta, maka
telegram dan amanat tersebut memberikan warna tersendiri dalam sikap
nasionalismenya. Ketika kerajaan Iain masih ragu-ragu, beberapa di antaranya
sedang bersiap-siap menyambut kedatangan kembali kekuasaan Belanda, Sri Sultan
dengan tegas menyatakan memihak kepada RI dan meleburkan diri ke dalamnya.
Terkesan dari kehendak Sri Sultan untuk meleburkan diri dengan rakyat supaya
terhapus jarak antara rakyat dengan aparat pemerintah. Kehendak ini diwujudkan
dengan mengganti istilah ”Pangreh Raja” menjadi ”Pamong Praja” (maklumat no. 10
tahun 1946, tanggal 13 Februari 1946).
Pernyataan-pernyataan
tertulis itu diikutinya dengan perbuatannya. Sudah sejak masa-masa awal itu Sri
Sultan melibatkan diri dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dengan
memberikan berbagai fasilitas untuk kepentingan pemerintah. Di kota Yogya
ditempatkan Markas Tertinggi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Kota ini pulalah
yang sejak minggu pertama bulan Januari 1946 sampai akhir Desember 1949
dijadikan Ibukota RIsesuai dengan
saran yang disampaikan oleh Sri Sultan.
Peranan Sri
Sultan lebih mencuat ketika daerah Yogyakarta diduduki Belanda dalam agresi
militer kedua. Betul beliau tetap tinggal dalam kota, tetapi beliau menolak
bekerjasama dengan Belanda walaupun ditawari kedudukan yang cukup tinggi, bahwa
sebagai raja seluruh Jawa. Sikap nonkooperasinya diikuti oleh seluruh penduduk
Yogya sehingga menyulitkan Belanda untuk men jalankan pemerintahan di daerah
tersebut.
Pada tanggal
21 Januari 1946 Sri Sultan menulis surat terbuka yang disebarluaskan ke seluruh
daerah Yogyakarta. Dalam surat itu dikatakannya bahwa beliau ” meletakkan
jabatan ” sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuannya ialah agar soal
keamanan daerah Yogyakarta menjadi beban tentara pendudukan Belanda. Selain itu
beliau tidak akan dapat diperalat untuk melakukan tindakan-tindakan yang
membantu musuh.
Sementara
itu secara diam-diam beliau terus membantu para pejuang. Dengan dana
pribadinya, beliau memberikan bantuan logistik kepada para pejuang, pejabat
pemerintah RI dan orang-orang Republiken yang tinggal dilain kota. Di
lingkungan keraton, beliau memberikan tempat perlindungan kesatuan-kesatuan
TNI, sekaligus sebagai markas pejuang.
Salah satu
tujuan Belanda menduduki Yogyakarta ialah untuk ”Membebaskan Sultan dari
kungkungan Republik”, yang ternyata tidak berhasil. Akan tetapi untuk itupun
Belanda tidak berani bertindak gegabah, karena Sri Sultan sendiri bukannya
tidak berani menghadapi resiko. Hal ini terbukti dengan peranan Sri Sultan yang
telah aktif memberikan bantuan moril maupun materil kepada TNI dan para pejuang
dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Peranan beliau semakin nampak, ketika pada
tanggal 3 Maret 1949 Mayor Jenderal Meyer, Panglima Tentara Belanda untuk
seluruh Jawa Tengah dan Kolonel Van Langen, Komandan Pasukan Belanda di
Yogyakarta mendatangani keraton dan menuduh Sri Sultan telah membantu TNI dalam
peristiwa tersebul. Kemudian mereka mengancam akan menduduki keraton apabila
Sri Sultan tidak menghentikan bantuannya. Akan tetapi Sri Sultan menyambut
dingin ancaman tersebut.
Perjuangan
Republik akhirnya sampai pada titik yang menentukan sesuai dengan Room-Royen
Statement, pasukan Belanda harus ditarik dari daerah Yogyakarta. Pihak Belanda
minta jaminan keamanan selama penarikan itu berlangsung. Presiden Soekamo
mengangkat Sri Sultan sebagai penanggung jawab keamanan dan tugas itu
dilaksanakannya dengan baik. Beliau pulalah yang pada tanggal 27 Desember 1949
mendapat kepercayaan dari Pemerintah RIS untuk menenma pengakuan kedaulatan
dari Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Istana Rijkswik (Istana Merdeka) Jakarta.
Pihak lawan
yang mengetahui besarnya pengaruh Sri Sultan di bidang politik, berusaha
membujuknya atau melengkapkannya. Menjelang Pendaratan Jepang di Indonesia,
pemerintah Hindia Belanda membujuk Sri Sultan bersama tiga raja lainnya di Jawa
Tengah agar ikut mengungsi ke Australia. Namun Sri Sultan menolak dan
mengatakan bahwa apa pun yang akan terjadi, beliau akan tinggal di Yogya untuk
menjaga keselamatan rakyatnya. Belanda kemudian merencanakan untuk menculiknya.
Akan tetapi rencana itu tidak terlaksana sebab pasukan Jepang sudah memasuki
Yogyakarta.
Selama
Agresi militer kedua, berkali-kali utusan Belanda berusaha menemuinya untuk
membujuk agar beliau bersedia bekerjasama dengan Belanda. Tidak seorang pun
utusan itu berhasil menemuinya. Dengan alasan sakit, beliau selalu menugaskan
orang lain untuk menemui mereka.
Bila bujukan
tidak berhasil, masih saja menempuh jalan lain yakni ancaman seperti yang
pernah dilakukan oleh Jenderal Meyer. Akan tetapi cara itupun tidak dapat
menggoyahkan pendirian Sri Sultan. Sesudah Pengakuan Kedaulatan, pihak lawan,
dalam hal ini golongan federalis berusaha untuk memb.unuhnya, rencana itu pun
mengalami kegagalan.
Sebuah
catatan Iain dapat ditambahkan mengenai besarnya pengaruh Sri Sultan di bidang
politik dan keutuhan pribadinya. Beliau merupakan tokoh yang dapat diterima
oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal itu, nampak dalam ultimatum yang
disampaikan Dewan Banteng kepada pemerintah pusat (10 Februari 1958). Dalam
ultimatum itu Dewan Banteng menuntut supaya Presiden Soekarno membentuk kabinet
baru dengan Hatta atau Sri Sultan sebagai formatur.
Pihak lawan
pun mengakui integritas pribadinya seperti terbukti dalam peristiwa perebutan
senjata Jepang di Kota Baru, Yogyakarta, tanggal 7 Oktober 1945. Memang
serangan yang dilancarkan pada pemuda, BKR dan Polisi berhasil memojokkan
Jepang, akan tetapi mereka hanya bersedia menyerahkan senjata kepada Sri
Sultan.
Sebagai
seorang raja, Sri Sultan merupakan ahli waris dari tradisi yang sudah cukup
mapan dan berusia lama. Akan tetapi beliau berani menghilangkan bagian dan
tradisi yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Hal itu
dibuktikannya dengan mengadakan demokratisasi di daerah kekuasaannya. Pada
akhir September 1945 beliau menyatakan bahwa Badan Pekerja Komite Nasional
Daerah Yogyakarta adalah Badan Legislatif. Dalam bulan Mei 1945 beliau
menetapkan Dewan Pemerintah Daerah Yogyakarta menjadi Badan Eksekutif.
Perubahan lain yang diadakannya dalam sistem pemerintahan ialah :
- Pemilihan semua pejabat desa berdasarkan pemungutan suara yang meliputi semua penduduk desa di atas usia 18 tahun.
- Pemisahan badan-badan legislatif dan eksekutif desa.
- Pemungutan pajak 10% atas pendapatan desa-desa kaya untuk membantu desa yang miskin.
- Membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Kelurahan.
Dalam
beberapa hal, pembaharuan yang dilaksanakannyadi bidang pemerintahan mendahului
pembaharuan-pembaharuan yang dilaksanakan oleh pemerintah Pusat. Pada tanggal
14 Januari 1946. yaitu pada saat pusat Pemerintahan RI dipandang perlu untuk
pindah dari Jakarta, maka Sri Sultan Hamengku Bowono IX menyediakan Yogyakarta
sebagai Pusat Pemerintahan RI. Oleh karena itu secara langsung DIY dan Keraton
Yogyakarta menjadi dapur perlawanan Pemerintah RI terhadap Pemerintah Penjajah
Belanda.
Untuk
kepentingan perang, Jepang membuat peraturan yang sangat memberatkan rakyat,
seperti kewajiban menyerahkan sebagian hasil panen dan pengerahan tenaga romusha.
Sri Sultan menyadari, bahwa bila peraturan itu ditaati sepenuhnya, maka
penduduk akan menderita. Untuk tidak menyerahkan hasil panen sama sekali dan
untuk tidak memenuhi kewajiban romusha tidak mungkin, Akan tetapi beliau selalu
berusaha agar penyerahan hasil panen dapat ditekan sekecil mungkin. Begitu pula
dengan pengerahan tenaga pemuda untuk romusha. Caranya ialah memalsukan
statistik mengenai daerah Yogyakarta. Menurut statistik palsu itu wilayah
Yogyakarta yang dapat di tanami tidak luas dan karena itu tidak banyak
menghasilkan bahan pangan. Dengan alasan itu beliau berhasil mengelabui
pemerintahan Jepang sehingga jumlah pangan yang harus diserahkan relatif
sedikit.
Dalam
statistik palsu itu digambarkan pula, bahwa di wilayah Yogyakarta banyak terdapat
daerah-daerah yang digenangi air, sedangkan sebagian lagi kering dan tidak
subur. Bila hasil panen harus ditingkatkan, terlebih dahulu harus di buat
saluran saluran untuk mengalirkan air dari daerah yang tergenang ke laut.
Selain itu diperlukan pula saluran-saluran untuk mengaliri daerah kering.
Dengan alasan itu pula Sri Sultan berhasil memperoleh biaya dari Jepang.
Pekerjaan
membuat saluran tentu saja memerlukan tenaga manusia khususnya para pemuda.
Dengan dalih bahwa sebagian besar pemuda dikerahkan untuk membuat saluran, Sri
Sultan dapat mengurangi jumlah romusha yang diminta Jepang.
Beberapa
catatan dapat diberikan tentang usaha-usaha Sri Sultan dilapangan ekonomi.
Beliaulah yang pertama kali merintis penanaman tembakau Virginia di Kabupaten
Sleman dan beliau pula yang merintis pembangunan pabrik gula Madukismo.
Sumbangan
besar dalam pembangunan bidang ekonomi juga diberikan oleh Sri Sultan pada
masa-masa awal Orde Bam. Sebagai akibat salah urns pada masa pemerintahan Orde
Lama, keadaan perekonomian Indonesia pada awal Orde Bam sangat suram. Inflasi
merajalela, sementara hutang yang harus dibayar kepada luar negeri sangat besar
sehingga kepercayaan luar negeri terhadap Indonesia pun merosot.
Menghadapi
hal demikian, sebagai Menteri Ekuin Sri Sultan berusaha mengembalikan
stabilitas perekonomian ke dalam, sambil memulihkan kembali kepercayaan luar
negeri terhadap Indonesia. Dalam rangka stabilitas ekonomi ke dalam, beliau
memasyarakatkan progam ekonomi dan pembangunan dengan cara membentuk Koresteda
(Koordinasi Rehabilitasi dan Stabilisasi Ekonomi Daerah) yang langsung di bawah
kepemimpinannya. Sedangkan dalam rangka memulihkan kembali kepercayaan luar
negeri terhadap Indonesia, beliau langsung memimpin misi ke berbagai negara
untuk membicarakan hutang-hutang Indonesia, beliau mengadakan
perundingan-perundingan agar mereka bersedia menanamkan modalnya di Indonesia.
Berkat
integritas pribadinya, maka negara-negara kreditor tetap bersedia memberi
pinjaman kepada Indonesia. Dengan demikian kesulitan ekonomi secara berangsur
dapat diatasi, dan sekaligus diperoleh pula dana untuk melaksanakan
pembangunan.
B. BIDANG SOSIAL BUDAYA.
Dan deretan
jabatan yang pernah dipangkunya baik di dalam maupun di luar pemerintahan,
dapat diketahui betapa banyak kegiatan yang dilakukannya dan sumbangan yang
diberikannya kepada bangsa dan negara. Di bidang pendidikan, khususnya yang
berkenaan dengan Universitas Gajah Mada, Sri Sultan mempunyai andil yang cukup
besar. Pada waktu pemerintah mendirikan Balai Perguman Tinggi Gajah Mada, Sri
Sultan menyumbangkan dua tempat untuk kegiatan perguman tinggi itu, yakni
Sitihinggil dan Pagelaran. Kemudian disumbangkannya pula Dalem Mangkubumen dan
Dalem Notoprajan serta pada tahun 1950 beliau memberikan tambahan fasilitas di
Bulak Sumur. Pada tahun itu beliau memberikan Yayasan Guna Darma dan melalui
Yayasan itu pula beliau merintis pembangunan asrama-asrama mahasiswa.
Perkembangan
bidang pariwisata tidak luput dan perhatian Sri Sultan. Dalam tahun 1955
beliau mengadakan perjalanan kedaerah-daerah untuk melihat tempat-tempat yang
pantas untuk dijadikan objek pariwisata. Tidaklah mengherankan, apabila
kemudian beliau diangkat sebagai Ketua Dewan Pembimbing Lembaga Pariwisata
Indonesia.
Di bidang
olah raga, Sri Sultan mulai aktif berpartisipasi sejak penyelenggaraan Pekan
Olah Raga Nasional (PON) I di Solo. Perhatian beliau terhadap pembinaan olah
raga terus berkembang, sehingga kemudian beliau diangkat menjadi Ketua Umum
Komite Olah Raga Nasional Indonesia (KONI).
Demikian
pula di bidang kepramukaan, beliau sangat berjasa dalam rangka pembinaan
kepramukaan Indonesia. Sejak tahun 1961 beliau aktif dalam dunia kepramukaan.
Dimulai pengangkatannya sebagai Wakil Ketua I Majelis Pimpinan Nasional Gerakan
Pramuka, kemudian pada tahun 1967 beliau diangkat sebagai Ketua Kwartir
Nasional Gerakan Pramuka sampai dengan tahun 1974. Terakhir pengabdian beliau
dalam kepramukaan adalah menjadi Wakil Ketua/Ketua Hanan Majelis Pembimbing
Nasional Gerakan Pramuka masabhakti 1978-1983.
Sumber : www.pahlawancenter.com
www.konfrontasi.com
No comments:
Post a Comment