Dr.(HC) Drs. H. Mohammad Hatta (lahir dengan nama Mohammad
Athar, populer sebagai Bung Hatta; lahir di Fort de
Kock (sekarang Bukittinggi, Sumatera
Barat), Hindia Belanda, 12 Agustus
1902 – meninggal
di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77
tahun) adalah pejuang, negarawan, ekonom, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia
bersama Soekarno
memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan
Belanda sekaligus memproklamirkannya pada 17 Agustus
1945. Ia juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet
Hatta I, Hatta II, dan RIS. Ia mundur dari jabatan
wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno.
Hatta juga dikenal sebagai Bapak Koperasi
Indonesia.
Bandar udara internasional Jakarta, Bandar Udara Soekarno-Hatta,
menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasa-jasanya. Selain
diabadikan di Indonesia, nama Mohammad Hatta juga diabadikan di Belanda yaitu
sebagai nama jalan di kawasan perumahan Zuiderpolder, Haarlem dengan
nama Mohammed Hattastraat. Pada tahun 1980, ia meninggal dan dimakamkan
di Tanah Kusir, Jakarta.
Bung Hatta ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada
tanggal 23 Oktober 1986 melalui Keppres nomor 081/TK/1986/.
Kehidupan awal
Latar belakang
Mohammad Hatta lahir dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha yang
berasal dari Minangkabau. Ayahnya merupakan seorang keturunan ulama
tarekat di Batuhampar, dekat Payakumbuh,
Sumatera
Barat.
Sedangkan ibunya berasal dari keluarga pedagang di Bukittinggi.
Ia lahir dengan nama Muhammad Athar pada tanggal 12 Agustus
1902. Namanya,
Athar berasal dari bahasa Arab, yang berarti "harum". Ia merupakan anak kedua, setelah Rafiah yang lahir pada tahun 1900. Sejak kecil,
ia telah dididik dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat
melaksanakan ajaran agama Islam. Kakeknya dari pihak ayah, Abdurahman
Batuhampar dikenal sebagai ulama pendiri Surau Batuhampar, sedikit dari surau
yang bertahan pasca-Perang Padri.
Sementara itu, ibunya berasal dari keturunan pedagang. Beberapa orang mamaknya
adalah pengusaha besar di Jakarta.
Ayahnya meninggal pada saat ia masih berumur tujuh bulan.
Setelah kematian ayahnya, ibunya menikah dengan Agus Haji Ning, seorang
pedagang dari Palembang,
Haji Ning sering berhubungan dagang dengan Ilyas Bagindo Marah, kakeknya dari
pihak ibu. Dari perkawinan Siti Saleha dengan Haji Ning, mereka dikaruniai
empat orang anak, yang kesemuanya adalah perempuan.
Pendidikan dan
pergaulan
Mohammad Hatta pertama kali mengenyam pendidikan formal di sekolah swasta.
Setelah enam bulan, ia pindah ke sekolah rakyat dan sekelas dengan Rafiah,
kakaknya. Namun, pelajarannya berhenti pada pertengahan semester kelas tiga.
Ia lalu pindah ke ELS di Padang (kini SMA Negeri 1 Padang) sampai tahun 1913,
kemudian melanjutkan ke MULO sampai tahun 1917. Selain
pengetahuan umum, ia telah ditempa ilmu-ilmu agama sejak kecil. Ia pernah
belajar agama kepada Muhammad Jamil Jambek, Abdullah
Ahmad, dan beberapa ulama lainnya.
Selain keluarga, perdagangan memengaruhi perhatian Hatta terhadap perekonomian.
Di Padang, ia mengenal pedagang-pedagang yang masuk anggota Serikat Usaha dan
juga aktif dalam Jong Sumatranen Bond sebagai bendahara.
Kegiatannya ini tetap dilanjutkannya ketika ia bersekolah di Prins Hendrik
School. Mohammad Hatta tetap menjadi bendahara di Jakarta.
Kakeknya bermaksud akan ke Mekkah, dan pada kesempatan tersebut, ia dapat membawa
Mohammad Hatta melanjutkan pelajaran di bidang agama, yakni ke Mesir (Al-Azhar).
Ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas surau di Batu Hampar
yang memang sudah menurun semenjak ditinggalkan Syaikh Abdurrahman. Tapi, hal
ini diprotes dan mengusulkan pamannya, Idris untuk menggantikannya.
Menurut catatan Amrin Imran, Pak Gaeknya kecewa dan Syekh Arsyad pada akhirnya
menyerahkan kepada Tuhan.
Keluarga
Pada 18 November 1945, Hatta menikah dengan Rahmi Hatta dan tiga hari
setelah menikah, mereka bertempat tinggal di Yogyakarta. Kemudian, dikarunai 3
anak perempuan yang bernama Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta, dan Halida
Nuriah Hatta.
Perjuangan dan
pergerakan
1921-1932: Sewaktu di
Belanda
Pergerakan politik
ia mulai sewaktu bersekolah di Belanda dari 1921-1932.
Ia bersekolah di Handels Hogeschool (kelak sekolah ini disebut Economische
Hogeschool, sekarang menjadi Universitas Erasmus Rotterdam),
selama bersekolah di sana, ia masuk organisasi sosial Indische Vereniging
yang kemudian menjadi organisasi politik dengan adanya pengaruh Ki Hadjar Dewantara, Cipto Mangunkusumo, dan DouwesDekker. Pada tahun 1923,
Hatta menjadi bendahara dan mengasuh majalah Hindia Putera yang berganti
nama menjadi Indonesia Merdeka.
Pada tahun 1924,
organisasi ini berubah nama menjadi Indische Vereniging (Perhimpunan Indonesia; PI).
Pada tahun 1926,
ia menjadi pimpinan Perhimpunan Indonesia. Sebagai akibatnya, ia terlambat
menyelesaikan studi.
Di bawah kepemimpinannya, PI mendapatkan perubahan. Perhimpunan ini lebih
banyak memperhatikan perkembangan pergerakan di Indonesia
dengan memberikan banyak komentar, dan banyak ulasan di media massa di Indonesia.
Setahun kemudian, ia seharusnya sudah berhenti dari jabatan ketua, namun ia
dipilih kembali hingga tahun 1930.
Pada Desember 1926, Semaun dari PKI datang kepada Hatta untuk menawarkan pimpinan pergerakan
nasional secara umum kepada PI,
selain itu dia dan Semaun membuat suatu perjanjian bernama "Konvensi
Semaun-Hatta". Inilah yang dijadikan alasan Pemerintah Belanda ingin
menangkap Hatta.
Waktu itu, Hatta belum meyetujui paham komunis. Stalin membatalkan
keinginan Semaun, sehingga hubungan Hatta dengan komunisme mulai memburuk.
Sikap Hatta ini ditentang oleh anggota PI yang sudah dikuasai komunis.
Pada tahun 1927,
ia mengikuti sidang "Liga Menentang Imperialisme, Penindasan Kolonial dan
untuk Kemerdekaan Nasional" di Frankfurt.Dalam sidang ini, pihak komunis dan utusan dari Rusia nampak ingin
menguasai sidang ini, sehingga Hatta tidak bisa percaya terhadap komunis.
Pada waktu itu, majalah PI, Indonesia Merdeka
masuk dengan mudah ke Indonesia lewat penyelundupan, karena banyak penggeledahan
oleh pihak kepolisian
terhadap kaum pergerakan yang dicurigai.
Pada 25 September 1927, Hatta bersama Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamuntjak, dan Madjid
Djojohadiningrat ditangkap oleh penguasa Belanda
atas tuduhan mengikuti partai terlarang yang dikait-kaitkan dengan Semaun, terlibat
pemberontakan di Indonesia yang dilakukan PKI dari tahun 1926-1927, dan menghasut (opruiing)
supaya menentang Kerajaan Belanda. Moh. Hatta sendiri dihukum tiga tahun
penjara.
Mereka semua dipenjara di Rotterdam.
Dia juga dituduh akan melarikan diri, sehingga dia yang sedang memperkenalkan Indonesia ke
kota-kota di Eropa
sengaja pulang lebih cepat begitu berita ini tersebar.
Semua tuduhan tersebut, ia tolak dalam pidatonya
"Indonesia Merdeka" (Indonesie Vrij) pada sidang kedua tanggal
22 Maret 1928.
Pidato ini sampai ke Indonesia dengan cara penyelundupan. Ia juga dibela 3 orang
pengacara Belanda yang salah satunya berasal dari parlemen. Yang
dari parlemen, bernama J.E.W. Duys. Tokoh ini memang
bersimpati padanya. Setelah ditahan beberapa bulan, mereka berempat dibebaskan
dari tuduhan, karena tuduhan tidak bisa dibuktikan.
Sampai pada tahun 1931,
Mohammad Hatta mundur dari kedudukannya sebagai ketua karena hendak mengikuti
ujian sarjana, sehingga ia berhenti dari PI; namun demikian ia akan tetap
membantu PI. Akibatnya, PI jatuh ke tangan komunis, dan mendapat arahan dari partai komunis Belanda dan
juga dari Moskow.
Setelah tahun 1931,
PI mengecam keras kebijakan Hatta dan mengeluarkannya dari organisasi ini.
PI di Belanda
mengecam sikap Hatta sebab ia bersama Soedjadi mengkritik secara terbuka
terhadap PI. Perhimpunan menahan sikap terhadap kedua orang ini.
Pada Desember 1931, para pengikut Hatta segera membuat gerakan tandingan
yang disebut Gerakan Merdeka yang kemudian bernama Pendidikan Nasional
Indonesia yang kelak disebut PNI Baru. Ini mendorong Hatta dan Syahrir
yang pada saat itu sedang bersekolah di Belanda untuk mengambil langkah kongkret
untuk mempersiapkan kepemimpinan di sana. Hatta sendiri merasa perlu untuk
menyelesaikan studinya terlebih dahulu. Oleh karenanya, Syahrir terpaksa pulang
dan untuk memimpin PNI.
Kalau Hatta kembali pada 1932, diharapkan Syahrir dapat melanjutkan studinya.
1932-1941: Pengasingan
Sekembalinya ia dari Belanda, ia ditawarkan masuk kalangan Sosialis Merdeka (Onafhankelijke
Socialistische Partij, OSP) untuk menjadi anggota parlemen Belanda, dan
menjadi perdebatan hangat di Indonesia pada saat itu. Pihak OSP mengiriminya telegram pada
6 Desember 1932, yang berisi kesediaannya menerima pencalonan anggota Parlemen.
Ini dikarenakan ia berpendapat bahwa ia tidak setuju orang Indonesia menjadi
anggota dalam parlemen Belanda.
Sebenarnya dia menolak masuk, dengan alasan ia perlu berada dan berjuang di
Indonesia.
Namun, pemberitaan di Indonesia mengatakan bahwa Hatta menerima kedudukan
tersebut, sehingga Soekarno menuduhnya tidak konsisten dalam menjalankan sistem
non-kooperatif.
Setelah Hatta kembali dari Belanda, Syahrir tidak bisa ke Belanda karena
keduanya keburu ditangkap Belanda pada 25
Februari 1934
dan dibuang ke Digul,
dan selanjutnya ke Banda Neira.
Baik di Digul
maupun Banda
Neira, ia banyak menulis di koran-koran Jakarta, dan ada juga untuk majalah-majalah
di Medan.
Artikelnya tidak terlalu politis, namun bersifat lebih menganalisis dan
mendidik pembaca. Ia juga banyak membahas pertarungan kekuasaan di Pasifik.
Semasa diasingkan ke Digul, ia membawa semua buku-bukunya ke tempat pengasingannya.
Di sana, ia mengatur waktunya sehari-hari. Pada saat hendak membaca, ia tak mau
diganggu. Sehingga, beberapa kawannya menganggap dia sombong.
Ia juga merupakan sosok yang peduli terhadap tahanan. Ia menolak bekerja sama
dengan penguasa setempat, misalnya memberantas malaria. Apabila
ia mau bekerja sama, ia diberi gaji f 7.50 sebulan. Namun, kalau tidak, ia
hanya diberi gaji f 2.50 saja.
Gajinya itu tidak ia habiskan sendiri. Ia juga peduli terhadap kawannya yang
kekurangan.
Di Digul,
selain bercocok tanam,
ia juga membuat kursus kepada para tahanan. Di antara tahanan tersebut, ada
beberapa orang yang ibadah shalat dan puasanya teratur; baik dari Minangkabau
maupun Banten.
Tapi, mereka ditangkap karena -pada umumnya- terlibat pemberontakan komunis.
Pada masa itu, ia menulis surat untuk iparnya untuk dikirimi alat-alat
pertukangan seperti paku
dan gergaji. Selain itu, dia juga menceritakan nasib orang-orang buangan dalam
surat itu. Kemudian, ipar Hatta mengirim surat itu ke koran Pemandangan
di Jakarta dan segera surat itu dimuat. Surat itu dibaca menteri jajahan pada
saat itu, Colijn.
Colijn mengecam pemerintah dan segera mengirim residen Ambon untuk menemui
Hatta di Digul. Maka uang diberikan untuknya, Hatta menolak dan ia juga meminta
supaya kalau mau ditambah, diberikan juga kepada pemimpin lain yang hidup dalam
pembuangan.
Pada 1937, ia menerima telegram yang mengatakan dia dipindah dari Digul ke Banda
Neira.
Hatta pindah bersama Syahrir pada bulan Februari pada tahun itu, dan mereka
menyewa sebuah rumah yang cukup besar. Di situ, ada beberapa kamar dan ruangan
yang cukup besar. Adapun ruangan besar itu digunakannya untuk menyimpan bukunya
dan tempat bekerjanya.
Sewaktu di Banda Neira, ia bercocok tanam dan menulis di koran "Sin Tit
Po" (dipimpin Lim Koen Hian; bulanan ini
berhenti pada 1938) dengan honorarium f 75 dalam Bahasa
Belanda. Kemudian, ia menulis di Nationale Commantaren (Komentar
Nasional; dipimpin Sam Ratulangi) dan juga, ia menulis di koran Pemandangan
dengan honorarium f 50 sebulan per satu/dua tulisan.
Hatta juga pernah menerima tawaran Kiai Haji Mas Mansur untuk ke Makassar, dia menolak dengan alasan kalaupun dirinya ke
Makassara dia masih berstatus tahanan juga. Waktu itu, sudah ada Cipto Mangunkusumo dan Iwa Kusumasumantri. Mereka semua sudah saling
mengenal.
Selain itu, di Banda Neira, Hatta juga mengajar kepada beberapa orang
pemuda. Anak dr. Cipto belajar tata-buku dan sejarah. Ada
juga anak asli daerah Banda Neira yang belajar kepada Hatta. Ada seorang
kenalan Hatta dari Sumatera Barat yang mengirimkan dua orang
kemenakannya untuk belajar ekonomi dan juga sejarah.
Selain itu, dari Bukittinggi dikirim Anwar
Sutan Saidi sebanyak empat orang pemuda yang belajar kepada Hatta.
Pada tahun 1941, Mohammad Hatta menulis artikel di koran Pemandangan
yang isinya supaya rakyat Indonesia jangan memihak kepada baik ke pihak Barat ataupun
fasisme Jepang. Kelak, pada zaman Jepang tulisan Hatta dijadikan bahan oleh
penguasa Jepang untuk tidak percaya Hatta selama Perang
Pasifik.
Yang mana, kelak tulisan Hatta dibaca Murase, seorang Wakil Kepala Kenpeitei
(dinas intelijen) dan menyarankan Hatta agar mengikuti Nippon Sheisin di
Tokyo
pada November 1943.
1942-1945: Penjajahan
Jepang
Pada tanggal 8 Desember 1941, angkatan perang Jepang
menyerang Pearl Harbor, Hawaii. Ini memicu
Perang
Pasifik, dan setelah Pearl Harbor, Jepang segera menguasai sejumlah daerah,
termasuk Indonesia.
Dalam keadaan genting tersebut, Pemerintah Belanda memerintahkan untuk
memindahkan orang-orang buangan dari Digul ke Australia,
karena khawatir kerjasama dengan Jepang. Hatta dan Syahrir
dipindahkan pada Februari 1942,
ke Sukabumi setelah menginap sehari di Surabaya dan
naik kereta
api ke Jakarta.
Bersama kedua orang ini, turut pula 3 orang anak-anak dari Banda yang dijadikan
anak angkat oleh Syahrir.
Setelah itu, ia dibawa kembali ke Jakarta. Ia
bertemu Mayor Jenderal Harada. Hatta menanyakan keinginan Jepang datang ke Indonesia.
Harada menawarkan kerjasama dengan Hatta. Kalau mau, ia akan diberi jabatan
penting. Hatta menolak, dan memilih menjadi penasihat.
Ia dijadikan penasihat dan diberi kantor di Pegangsaan Timur dan rumah di
Oranje Boulevard (Jalan Diponegoro). Orang terkenal pada masa sebelum perang,
baik orang pergerakan, atau mereka yang bekerjasama dengan Belanda, diikut
sertakan seperti Abdul Karim Pringgodigdo, Surachman, Sujitno
Mangunkususmo, Sunarjo Kolopaking, Supomo, dan Sumargo
Djojohadikusumo. Pada masa ini, ia banyak mendapat tenaga-tenaga baru.
Pekerjaan di sini, merupakan tempat saran oleh pihak Jepang.
Jepang mengharapkan agar Hatta memberikan nasehat yang menguntungkan mereka,
malah Hatta memanfaatkan itu untuk membela kepentingan rakyat.
1945: Mempersiapkan
kemerdekaan Republik Indonesia
Saat-saat mendekati Proklamasi pada 22 Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) membentuk panitia kecil yang disebut
Panitia Sembilan dengan tugas mengolah usul dan konsep para anggota mengenai
dasar negara Indonesia. Panitia kecil itu beranggotakan 9 orang dan diketuai
oleh Ir. Soekarno. Anggota lainnya Bung Hatta, Mohammad Yamin, Ahmad Soebardjo,
A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakir, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno
Tjokrosujoso.
Kemudian pada 9 Agustus 1945, Bung Hatta bersama Bung Karno dan Radjiman
Wedyodiningrat diundang ke Dalat (Vietnam) untuk dilantik sebagai Ketua dan Wakil
Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Badan ini bertugas
melanjutkan hasil kerja BPUPKI dan menyiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak
Jepang kepada Indonesia. Pelantikan dilakukan secara langsung oleh Panglima
Asia Tenggara Jenderal Terauchi. Puncaknya pada 16 Agustus 1945, terjadilah
Peristiwa Rengasdengklok hari dimana Bung Karno bersama Bung Hatta diculik ke
kota kecil Rengasdengklok (dekat Karawang, Jawa Barat).
Penculikan itu dilakukan oleh kalangan pemuda, dalam rangka mempercepat tanggal
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Malam hari, mereka mengadakan rapat untuk
persiapan proklamasi Kemerdekaan Indonesia di kediaman Laksamana Tadashi Maeda
di Jalan Imam Bonjol 1 Jakarta. Sebelum rapat, mereka menemui somabuco (kepala
pemerintahan umum) Mayjen Nishimura untuk mengetahui sikapnya mengenai
pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pertemuan tersebut tidak
menghasilkan kesepahaman sehingga tidak adanya kesepahaman itu meyakinkan
mereka berdua untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan itu tanpa kaitan lagi
dengan Jepang.
1945-1956: Menjadi
Wakil Presiden pertama di Indonesia
Pada 17 Agustus 1945, hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh rakyat
Indonesia dia bersama Soekarno resmi memproklamasikan kemerdekaan di Jalan
Pegangsaan Timur 56 Jakarta pk10.00 WIB. Dan keesokan harinya pada tanggal 18
Agustus 1945, dia resmi dipilih sebagai Wakil Presiden RI yang pertama
mendampingi Presiden Soekarno.
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta amat gigih bahkan dengan nada
sangat marah, menyelamatkan Republik dengan mempertahankan naskah Linggajati di
Sidang Pleno KNIP di Malang yang diselenggarakan pada 25 Februari – 6 Maret
1947 dan hasilnya Persetujuan Linggajati diterima oleh Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) sehingga anggota KNIP menjadi agak lunak pada 6 Maret
1947.
Pada saat terjadinya Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947, Hatta
dapat meloloskan diri dari kepungan Belanda dan pada saat itu dia masih berada
di Pematang Siantar. Dia dengan selamat bersama dengan Gubernur Sumatera Mr. T.
Hassan tiba di Bukittinggi. Sebelumnya pada 12 Juli 1947 Bung Hatta mengadakan
Kongres Koperasi pertama di Tasikmalaya. Pada hari itu juga, Hari Koperasi
Indonesia ditetapkan dan Bung Hatta ditetapkan sebagai Bapak Koperasi
Indonesia.
Kemudian, Bung Hatta dengan kewibawaannya sebagai Wakil Presiden hendak
menggoalkan persetujuan Renville dengan berakibat jatuhnya Kabinet Amir dan
digantikan oleh Kabinet Hatta. Pada era Kabinet Hatta yang dibentuk pada 29
Januari 1948, Bung Hatta menjadi Perdana Menteri dan merangkap jabatan sebagai
Menteri Pertahanan.
Suasana panas waktu timbul pemberontakan PKI Madiun dalam bulan September
1948, memuncak pada penyerbuan tentara Belanda ke Yogyakarta pada 19 Desember
1948. Bung Hatta bersama Bung Karno diangkut oleh tentara Belanda pada hari itu
juga. Pada tahun yang sama, Bung Hatta bersama Bung Karno diasingkan ke
Menumbing, Bangka. Beberapa waktu setelah pengasingan karena mengalami adanya
sebuah perundingan Komisi Tiga Negara (KTN) di Kaliurang, di mana Critchley
datang mewakili Australia dan Cochran mewakili Amerika.
Pada Juli 1949, terjadi kemenangan Cochran dalam menyelesaikan perundingan
Indonesia. Tahun ini, terjadilah sebuah perundingan penting, Konferensi Meja
Bundar (KMB) yang diadakan di Den Haag sesudah berunding selama 3 bulan, pada
27 Desember 1949 kedaulatan NKRI kita miliki untuk selamanya. Ratu Juliana
memberi tanda pengakuan Belanda atas kedaulatan negara Indonesia tanpa syarat
kecuali Irian Barat yang akan dirundingkan lagi dalam waktu setahun setelah
Pengakuan Kedaulatan kepada Bung Hatta yang bertindak sebagai Ketua Delegasi
Republik Indonesia di Amsterdam dan di Jakarta.
Di Amsterdam dari Ratu Juliana kepada Drs. Mohammad Hatta dan di Jakarta
dari Dr. Lovink yang mewakili Belanda kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Sehingga pada akhirnya negara Indonesia menjadi negara Republik Indonesia
Serikat (RIS), Bung Hatta terpilih menjadi Perdana Menteri RIS juga merangkap
sebagai Menteri Luar Negeri RIS dan berkedudukan di Jakarta dan Bung Karno
menjadi Presiden RIS. Ternyata RIS tidak berlangsung lama, dan pada 17 Agustus
1950, Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan ibu
kota Jakarta dengan Perdana Menteri Moh. Natsir. Bung Hatta menjadi Wakil
Presiden RI lagi dan berdinas kembali ke rumah yang berada di Jalan Medan
Merdeka Selatan 13 Jakarta.
Pada tahun 1955,
Mohammad Hatta membuat pernyataan bahwa bila parlemen dan konstituante
pilihan rakyat sudah terbentuk, dia akan mengundurkan diri. Menurutnya, dalam
negara yang mempunyai kabinet parlementer, Kepala Negara
adalah sekadar simbol saja, sehingga Wakil Presiden tidak diperlukan lagi.
Pada tanggal 20
Juli 1956,
Mohammad Hatta menulis sepucuk surat kepada Ketua DPR pada saat itu, Sartono yang
isinya antara lain, "Merdeka, Bersama ini saya beritahukan dengan hormat,
bahwa sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat mulai
bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba
waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Segera,
setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan itu secara
resmi."
DPR menolak secara halus permintaan Mohammad Hatta tersebut, dengan cara
mendiamkan surat tersebut. Kemudian, pada tanggal 23
November 1956,
Bung Hatta menulis surat susulan yang isinya sama, bahwa tanggal 1 Desember
1956, dia akan
berhenti sebagai Wakil Presiden RI. Akhirnya, pada sidang DPR pada 30
November 1956,
DPR akhirnya menyetujui permintaan Mohammad Hatta untuk mengundurkan diri dari
jabatan sebagai Wakil Presiden, jabatan yang telah dipegangnya selama 11 tahun.
Di akhir tahun 1956 juga, Hatta tidak sejalan lagi dengan Bung Karno
karena dia tidak ingin memasukkan unsur komunis dalam
kabinet pada waktu itu. Sebelum ia mundur, dia mendapatkan gelar doctor
honouris causa dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Sebenarnya gelar doctor honouris causa ingin diberikan pada tahun 1951. Namun,
gelar tersebut baru diberikan pada 27 November 1956. Demikian pula Universitas
Indonesia pada tahun 1951 telah menyampaikan keinginan itu tetapi Bung Hatta
belum bersedia menerimanya. Kata dia, “Nanti saja kalau saya telah berusia 60
tahun.”.
1956-1980: Setelah
pensiun
Setelah mundur dari jabatannya sebagai Wakil Presiden RI pada 1 Desember
1956, dia dan
keluarga berpindah rumah dari Jalan Medan Merdeka Selatan 13 ke Jalan
Diponegoro 57. Bung Hatta tak pernah menyesal atas keputusan yang telah ia
buat. Kegiatan sehari-hari Bung Hatta setelah pensiun adalah menambah dari
penghasilan menulis buku dan mengajar. Meskipun sudah tak menjabat lagi sebagai
Wakil Presiden, pada tahun 1957 dia berangkat ke Cina karena mendapat undangan
dari Pemerintah RRC. Rakyat sana masih menganggap dia sebagai “a great son of
his country”, terbukti dari penyambutan yang seharusnya diberikan kepada seorang
kepala negara di mana PM Zhou Enlai sendiri menyambut dia yang bukan lagi sebagai
wakil presiden.
Ketika Presiden Soekarno berada di puncak kekuasaannya pada tahun 1963,
Bung Hatta pertama kali jatuh sakit dan perlu perawatan di Swedia karena
perlengkapan medis di sana lebih lengkap. Sekitar tahun 1965, Bung Hatta sering
jadi bulan-bulanan serangan politik PKI.
Pada 31 Januari 1970, melalui Keppres No. 12/1970 telah dibentuk Komisi
Empat yang bertugas mengusut masalah korupsi. Untuk keperluan itu Dr. Moh.
Hatta (mantan Wakil Presiden RI) telah diangkat menjadi Penasehat Presiden
dalam masalah pemberantasan Korupsi. Komisi Empat ini diketuai oleh Wilopo, SH,
dengan anggota-anggota: IJ Kasimo, Prof. Dr. Yohanes, H. Anwar Tjokroaminoto,
dengan sekretaris Kepala Bakin/Sekretaris Kopkamtib, Mayjen. Sutopo Juwono. Dr.
Moh. Hatta juga ditunjuk sebagai Penasehat Komisi Empat tersebut.
Hatta dipercaya oleh Presiden Soeharto untuk menjadi Anggota Dewan
Penasehat Presiden. Pada 15 Agustus 1972, Bung Hatta mendapat anugerah Bintang
Republik Indonesia Kelas I dari Pemerintah Republik Indonesia. Kemudian, pada
tahun yang sama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengangkat dia sebagai warga
utama Ibukota Jakarta dengan segala fasilitasnya, seperti perbaikan besarnya
pensiun dan penetapan rumah dia menjadi salah satu gedung yang bersejarah di
Jakarta.
Kemudian, pada tahun 1975, Bung Hatta menjadi anggota Panitia Lima bersama
Prof Mr. Soebardjo, Prof Mr. Sunario, A.A. Maramis, dan Prof Mr. Pringgodigdo
untuk memberi pengertian mengenai Pancasila sesuai dengan alam pikiran dan
semangat lahir dan batin para penyusun UUD 1945
dengan Pancasilanya. Ternyata, Bung Hatta resmi menjadi Ketua Panitia Lima. Tak
hanya itu, Bung
Hatta kembali mendapatkan gelar doctor honouris causa sebagai tokoh
proklamator dari Universitas Indonesia yang seharusnya
diberikan pada tahun 1951. Pemberian gelar tersebut dilakukan di Jakarta pada 30 Juli 1975 dan diberikan
secara langsung oleh Rektor Mahar Mardjono. Dan pada tahun 1979, dimana tahun
tersebut merupakan tahun ke-5 Bung Hatta masuk ke rumah sakit. Kesehatan Bung
Hatta semakin menurun. Walaupun begitu, semangatnya tetap saja tinggi. Ia masih
mengikuti perkembangan politik dunia.
Wafat
Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 pk18.56 di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo Jakarta setelah sebelas hari ia dirawat di sana. Selama
hidupnya, Bung Hatta telah dirawat di rumah sakit sebanyak 6 kali pada tahun
1963, 1967, 1971, 1976, 1979, dan terakhir pada 3 Maret 1980. Keesokan harinya,
dia disemayamkan di kediamannya Jalan Diponegoro 57, Jakarta dan dikebumikan di
TPU Tanah Kusir, Jakarta disambut dengan upacara kenegaraan yang dipimpin
secara langsung oleh Wakil Presiden pada saat itu, Adam Malik.
Ia ditetapkan sebagai pahlawan proklamator pada tahun 1986 oleh pemerintahan
Soeharto.
Mendapat gelar
pahlawan
Setelah wafat, Pemerintah memberikan gelar Pahlawan Proklamator kepada Bung
Hatta pada 23
Oktober 1986
bersama dengan mendiang Bung Karno. Pada 7 November
2012, Bung Hatta
secara resmi bersama dengan Bung Karno ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono sebagai Pahlawan Nasional.
Sumber : Wikipedia
No comments:
Post a Comment