Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara, 18 Februari 1845 – meninggal
di Dairi, 17 Juni 1907
pada umur 62 tahun) adalah seorang raja di negeri Toba,
Sumatera Utara, pejuang yang berperang melawan Belanda. Nama kecilnya adalah Patuan Bosar gelar
Ompu Pulo Batu. Sebagaimana leluhurnya, gelar Raja dan kepemimpinan selalu
diturunkan dari pendahulunya secara turun temurun. Ketika Patuan Bosar
dinobatkan menjadi Raja Si Singamangaraja XII pada tahun 1876, menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang
bernama Ompu Sohahuaon.
Sisingamangaraja XII adalah pejuang
sejati, yang anti penjajahan dan perbudakan. Pejuang yang tidak mau berkompromi
dengan penjajah kendati kepadanya ditawarkan menjadi Sultan Batak. Ia memilih
lebih baik mati daripada tunduk pada penjajah. Ia kesatria yang tidak mau
mengkhianati bangsa sendiri demi kekuasaan. Ia berjuang sampai akhir hayat.
Perjuangannya untuk memerdekakan ‘manusia bermata hitam’ dari penindasan
penjajahan si mata putih (sibontar mata), tidak terbatas pada orang Tapanuli
(Batak) saja, tetapi diartikan secara luas dalam rangka nasional. Semua orang
yang bermata hitam dianggapnya saudara dan harus dibela dari penjajahan si mata
putih (sibontar mata). Dia merasa dekat dengan siapa saja yang tidak melakukan
penindasan, tanpa membedakan asal-usul. Maka ia pun mengangkat panglimanya yang
berasal dari Aceh.
Perjuangan Raja Si Singamangaraja XII melawan Belanda
Dapat dipadamkannya “Perang Paderi” melapangkan jalan
bagi pemerintahan kolonial di Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Minangkabau
jatuh ke tangan Belanda, menyusul daerah Natal, Mandailing, Barumun, Padang
Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai Barus dan kawasan Sibolga.
Karena itu, sejak tahun 1837, Tanah Batak terpecah menjadi dua bagian, yaitu daerah-daerah yang telah direbut Belanda menjadi daerah Gubernemen yang disebut “Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden”, dengan seorang Residen berkedudukan di Sibolga yang secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Sedangkan bagian Tanah Batak lainnya, yaitu daerah-daerah Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, Samosir, belum berhasil dikuasai oleh Belanda dan tetap diakui Belanda sebagai Tanah Batak yang merdeka, atau ‘De Onafhankelijke Bataklandan’. Sampai pada tahun 1886, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah pimpinan Raja Si Singamangaraja XII yang masih muda. Sebenarnya berita tentang masksud Belanda untuk menguasai seluruh Sumatera ini sudah diperkirakan oleh kerajaan Batak yang masa itu masih dipimpin oleh Raja Si Singamangaraja XI yaitu Ompu Sohahuaon. Sebagai bukti untuk ini, salah satu putrinya diberi nama Nai Barita Hulanda.
Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh
dan tentaranya mendarat di pantai-pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana
Raja Si Singamangaraja XII berkuasa, masih belum dijajah Belanda. Tetapi ketika
3 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1876, Belanda mengumumkan “Regerings
Besluit Tahun 1876” yang menyatakan daerah Silindung/Tarutung dan sekitarnya
dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada Residen Belanda di
Sibolga, Raja Si Singamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda.
Kalau Belanda mulai menguasai Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi
Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain. Raja Si Singamangaraja XII cepat
bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi. Raja-raja Batak
lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar
Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga
keputusan sebagai berikut :
1. Menyatakan perang terhadap Belanda
2. Zending Agama tidak diganggu
3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.
2. Zending Agama tidak diganggu
3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.
Terlihat dari peristiwa ini, Raja Si Singamangaraja
XII lah yang dengan semangat tinggi, mengumumkan perang terhadap Belanda yang
ingin menjajah. Terlihat pula, Raja Si Singamangaraja XII bukan anti agama dan
di zamannya, sudah dapat membina azas dan semangat persatuan dengan suku-suku
lainnya.
Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu,
yang berlangsung 30 tahun lamanya. Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar
perang yang ganas selama tiga dasawarsa. Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya
dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Si
Singamangaraja XII.
Pasukan Belanda yang datang menyerang ke arah Bakara,
markas besar Raja Si Singamangaraja XII di Tangga Batu dan Balige mendapat
perlawanan dan berhasil dihambat. Belanda merobah taktik, pada babak berikutnya
ia menyerbu ke kawasan Balige untuk merebut kantong logistik Raja Si
Singamangaraja XII di daerah Toba, untuk selanjutnya mengadakan blokade
terhadap Bakara. Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai
Belanda, sedangkan Laguboti masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima
Raja Si Singamangaraja XII antara lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea.
Baru setahun kemudian Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan pasukan satu
batalion tentara bersama barisan penembak-penembak meriam.
Tahun 1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh
sebelumnya oleh Raja Si Singamangaraja XII, kini giliran Toba dianeksasi
Belanda. Namun Belanda tetap merasa penguasaan tanah Batak berjalan lamban.Untuk
mempercepat rencana kolonialisasi ini, Belanda menambah pasukan besar yang
didatangkan dari Batavia (Jakarta sekarang) yang mendarat di Pantai Sibolga.
Juga dikerahkan pasukan dari Padang Sidempuan. Raja Si Singamangaraja XII
membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta Pardede. Pasukan Raja Si
Singamangaraja XII juga dikerahkan berupa kekuatan laut dari Danau Toba yang
menyertakan pasukan sebanyak 800 orang dengan menggunakan 20 solu bolon.
Pertempuran besar pun terjadi.
Pada tahun 1883, Belanda benar-benar mengerahkan
seluruh kekuatannya dan Raja Si Singamangaraja XII beserta para panglimanya
juga bertarung dengan gigih. Tahun itu, di hampir seluruh Tanah Batak pasukan
Belanda harus bertahan dari serbuan pasukan-pasukan yang setia kepada
perjuangan Raja Si Singamangaraja XII. Namun pada tanggal 12 Agustus 1883,
Bakara, tempat Istana dan Markas Besar Raja Si Singamangaraja XII berhasil
direbut oleh pasukan Belanda. Raja Si Singamangaraja XII mengundurkan diri ke
Dairi bersama keluarganya dan pasukannya yang setia, juga ikut
Panglima-panglimanya yang terdiri dari suku Aceh dan lain-lain.
Regu pencari jejak dari Afrika, juga didatangkan untuk
mencari persembunyian Raja Si Singamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri
dari orang-orang Senegal. Oleh pasukan Raja Si Singamangaraja XII barisan musuh
ini dijuluki 'Si Gurbak Ulu Na Birong'. Tetapi pasukan Raja Si
Singamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima Sarbut Tampubolon menyerang
tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu Lintong dan berhadapan dengan
Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi Raja Si Singamangaraja XII menyerang juga
ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang, Huta Paung, Parsingguran dan
Pollung. Panglima Raja Si Singamangaraja XII yang terkenal Amandopang Manullang
tertangkap. Dan tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat Khusus Raja Si
Singamangaraja XII, Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini terjadi
pada tahun 1889.
Pada awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil menguasai
Aceh sehingga pada tahun 1890 pasukan khusus Marsose yang tadinya ditempatkan
di Aceh, dikerahkan untuk menyerang Raja Si Singamangaraja XII di daerah
Parlilitan. Mendapat penyerangan yang tiba-tiba dan menghadapi persenjataan
yang lebih modern dari Belanda, akhirnya perlawanan gigih pasukan Raja Si
Singamangaraja XII pun terdesak. Dari situlah dia dan keluarga serta pasukannya
menyingkir ke Dairi.
Raja Si Singamangaraja XII melanjutkan peperangan secara berpindah-pindah di daerah Parlilitan selama kurang lebih 22 tahun, disetiap persinggahaannya Beliau selalu memberikan pembinaan pertanian, adat istiadat (hukum) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga menimbulkan kesetiaan dan dukungan rakyat untuk berjuang.walaupun banyak di antara penduduk yang mendapat siksaan dan pukulan dengan rotan dan bahkan sampai terbunuh, karena tidak mau bekerja-sama dengan Belanda. Termasuk untuk menunjukkan tempat pasukan dan Raja Si Singamangaraja XII berada.
Pasukan Raja Si Singamangaraja XII di Dairi ini
merupakan gabungan dari suku Batak dan suku Aceh. Pasukan ini dipimpin oleh
putranya Patuan Nagari. Panglima-panglima dari suku Batak Toba antara lain,
Manase Simorangkir dari Silindung, Rior Purba dari Bakara, Aman Tobok Sinaga
dari Uruk Sangkalan dan Ama Ransap Tinambunan dari Peabalane. Dari suku Aceh
antara lain Teuku Sagala, Teuku Nyak Bantal, Teuku Nyak Ben,Teuku Mat Sabang,
Teuku Nyak Umar, Teuku Nyak Imun, Teuku Idris. Sedang dari rakyat Parlilitan
antara lain: Pulambak Berutu, Tepi Meha, Cangkan Meha, Pak Botik Meha, Pak
Nungkun Tinambunan, Nangkih Tinambunan, Pak Leto Mungkur, Pak Kuso Sihotang,
Tarluga Sihombing dan Koras Tamba.
Pasukan Raja Si Singamangaraja XII ini dilatih di
suatu gua yang bernama Gua Batu Loting dan Liang Ramba di Simaninggir. Gua ini
berupa liang yang terjadi secara alamiah dengan air sungai di bawah tanah.
Tinggi gua sekitar 20 meter dan mempunyai cabang-cabang yang
bertingkat-tingkat. Sirkulasi udara di dalam gua cukup baik karena terbuka ke
tiga arah, dua sebagai akses keluar masuk dan satu menuju ke arah air terjun.
Jarak dari pintu masuk ke air terjun didalam gua lebih dari 250 meter. Dengan
demikian, di dalam gua ini dimungkinkan untuk menjalankan kehidupan sehari-hari
bagi seluruh pasukan yang dilatih tanpa harus keluar dari gua.
Pihak penjajah Belanda juga melakukan upaya pendekatan
(diplomasi) dengan menawarkan Raja Si Singamangaraja XII sebagai Sultan Batak,
dengan berbagai hak istimewa sebagaimana lazim dilakukan Belanda di daerah
lain. Namun Raja Si Singamangaraja XII menolak tawaran tersebut. Sehingga usaha
untuk menangkapnya mati atau hidup semakin diaktifkan.
Setelah melalui pengepungan yang ketat selama tiga tahun, akhirnya markasnya diketahui oleh serdadu Belanda. Dalam pengejaran dan pengepungan yang sangat rapi, peristiwa tragis pun terjadi. Dalam satu pertempuran jarak dekat, komandan pasukan Belanda kembali memintanya menyerah dan akan dinobatkan menjadi Sultan Batak. Namun pahlawan yang merasa tidak mau tunduk pada penjajah ini lebih memilih lebih baik mati daripada menyerah.
Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel
Macan atau Brigade Setan mengepung Raja Si Singamangaraja XII. Pertahanan Raja
Si Singamangaraja XII diserang dari tiga jurusan. Tetapi Raja Si Singamangaraja
XII tidak bersedia menyerah. Kaum wanita dan anak-anak diungsikan secara
berkelompok-kelompok, namun kemudian mereka tertangkap oleh Belanda.
Tanggal 17 Juni 1907, di pinggir bukit Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah Raja Si Singamangaraja XII oleh pasukan Marsose Belanda pimpinan Kapten Christoffel. Raja Si Singamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Raja Si Singamangaraja XII yang kebal peluru tewas kena peluru setelah terpercik darah putrinya Lopian, yang gugur di pangkuannya. Dalam peristiwa ini juga turut gugur banyak pengikut dan beberapa panglimanya termasuk yang berasal dari Aceh, karena mereka juga berprinsip pantang menyerah. Pengikut-pengikutnya yang lain berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan, sedangkan keluarga Raja Si Singamangaraja XII yang masih hidup dihina dan dinista, dan kemudian ditawan di internering Pearaja Tarutung. Semua mereka merupakan korban perjuangan.
Perang yang berlangsung selama 30 tahun itu memang telah
mengakibatkan korban yang begitu banyak bagi rakyat termasuk keluarga Raja Si
Singamangaraja XII sendiri. Walaupun Raja Si Singamangaraja XII telah wafat,
tidak berarti secara langsung membuat perang di tanah Batak berakhir, sebab
sesudahnya terbukti masih banyak perlawanan dilakukan oleh rakyat Tapanuli
khususnya pengikut dari Raja Si Singamangaraja XII sendiri.
Jenazah Raja Si Singamangaraja XII, Patuan Nagari dan
Patuan Anggi dibawa dan dikuburkan Belanda di tangsi Tarutung. Pada Tahun 1953,
Raja Si Singamangaraja XII, Patuan Nagari dan Patuan Anggi dimakamkan kembali
di Makam Pahlawan Nasional Soposurung Balige yang dibangun oleh pemerintah,
masyarakat dan keluarga. Digelari Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan Surat
Keputusan Pemerintah Republik Indonesia No. 590 tertanggal 19 Nopember 1961.
Sumber : https://tanobatak.wordpress.com
No comments:
Post a Comment