Teuku Chik di Tiro, lahir dan
besar di lingkungan pesantren, kemudian sempat menjadi guru agama, menjadi seorang pejuang pembela agama dan bangsanya
dari penjajahan Belanda. Dia seorang pejuang yang tidak mengenal
istilah berdamai, apalagi kompromi dengan kolonial.
Abad 19
akhir, politik kolonial Belanda di Pulau Sumatera, khususnya di Aceh,
banyak dipengaruhi oleh adanya perjanjian antara Belanda dengan Inggris
tahun 1871, sebuah perjanjian tentang pengaruh di daerah Sumatera
yang dikenal dengan istilah Traktat Sumatera. Di dalam perjanjian tersebut
disebutkan, bahwa Belanda boleh meluaskan pengaruhnya di Sumatera,
termasuk Aceh. Dan sebagai gantinya, Inggris diperbolehkan menanamkan
modalnya di Indonesia. Dengan adanya perjanjian demikian, Belanda pun mulai melancarkan
serangan ke daerah Sumatera bagian barat termasuk Aceh, setelah sebelumnya sudah
menaklukan sebagian besar daerah di Sumatera bagian timur.
Pada tahun
1873 Belanda melakukan serangan pertama di Aceh untuk menaklukkan kerajaan tersebut dan
menempatkannya di bawah kekuasaannya. Ketika itu, Belanda mengirimkan seratusan lebih
perwira dan tiga ribuan serdadu. Pasukan pertama tersebut berhasil dipukul
mundur oleh pasukan
Aceh. Panglima Belanda, Mayor Jenderal J.H.R. Kohler, tewas ditembak pasukan
Aceh dalam
pertempuran.
Dalam
situasi itulah Teuku Cik di Tiro menjadi pemimpin perjuangan. Pria yang lahir
pada tahun 1836 di
Cumbok Lamlo, daerah Tiro, Pidie, Aceh, ini membentuk Angkatan Perang Sabil dan mendapat
bantuan dari golongan ulubalang. Sultan Aceh juga mempercayainya sebagai
pemimpin perang.
Dengan latar belakang keagamaan yang kuat, Teuku Cik di Tiro yang sejak kecil
hidup di lingkungan
pesantren, bergaul dengan para santri, serta mendapat pendidikan ilmu agama
dari beberapa
ulama terkenal di Aceh, itu melakukan perjuangan atas dasar agama dan
kebangsaan.
Sesudah itu,
Belanda kembali mengirimkan pasukan yang lebih besar dan kuat. Sementara Pasukan Aceh
memperkuat diri dengan memusatkan pertahanannya di sekitar Istana Sultan Mahmud Syah.
Namun, lama-kelamaan kekuatan pasukan Aceh mulai lemah dan terdesak. Blokade laut yang
dilakukan Belanda menyebabkan Aceh terisolasi dari dunia luar yang menyebabkan semakin
melemahkan kekuatan Aceh. Daerah Aceh Besar pun akhirnya jatuh ke tangan
Belanda.
Dalam
serangan yang dilancarkan bulan Mei 1881, pasukan Cik di Tiro berhasil merebut
benteng Belanda di
Indrapuri. Kemudian menyusul benteng Lambaro, Aneuk Galong, dan lain-lain.
Belanda semakin
terdesak, sehingga mereka bertahan saja dalam benteng di Banda Aceh. Tetapi, ke
dalam benteng itu
pun Teungku Cik di Tiro terus mengerahkan pasukan untuk melakukan sabotase.Belanda
semakin kewalahan. Daerah Aceh yang mereka kuasai tinggal kira-kira empat
kilometer persegi.
Pulau Breuh
pun Cik di Tiro serang. Dari pulau itu, pria yang dibesarkan pada saat
memburuknya hubungan Aceh
dengan Belanda, ini bermaksud merebut Banda Aceh. Dari pulau itu juga disusun kekuatan
untuk merebut Banda Aceh. Dan direncanakan, akhir tahun 1883 Belanda sudah
dapat diusir dari
tanah Aceh. Dengan tampilnya Teuku Cik di Tiro sebagai panglima perang Aceh,
pasukan Belanda
jelas mengalami hambatan besar dalam upaya menaklukkan wilayah itu. Kesulitan
itu hendak
disiasati Belanda dengan mendekati Cik di Tiro agar mau berdamai. Namun,
tawaran itu ditolak
pejuang kemerdekaan yang juga pernah memperdalam ilmu agama di Mekah serta
pernah menjadi guru
agama, ini dengan tegas.
Bukti
kehebatan beliau dalam memimpin serangan dapat dilihat dari banyaknya
pergantian gubernur Belanda
untuk Aceh semasa perjuangan beliau (1881-1891) sebanyak 4 kali, yaitu:
- Abraham Pruijs van der Hoeven (1881-1883)
- Philip Franz Laging Tobias (1883-1884)
- Henry Demmeni (1884-1886)
- Henri Karel Frederik van Teijn (1886-1891)
Belanda yang
merasa kewalahan akhirnya memakai "siasat liuk" dengan mengirim
makanan yang sudah
dibubuhi racun. Tanpa curiga sedikitpun ia memakannya, dan akhirnya Teuku Cik
Di Tiro meninggal
pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong.
Teungku Cik
di Tiro, meninggal sebagai seorang panglima perang yang hebat. Panglima yang berjaya
dalam banyak pertempuran melawan tentara Belanda. Pejuang yang tidak mengenal
kata menyerah untuk kemerdekaan bangsanya. Sebagai salah satu pejuang pertama
dari Nanggro Aceh Darussalam, provinsi paling barat Indonesia yang banyak
melahirkan pahlawan itu, keteguhan pendirian dan kegigihan perjuangan yang
ditunjukkan Cik di Tiro ini sangat memberi dorongan dan teladan pada
pejuang-pejuang yang lahir belakangan seperti, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, dan
lain sebagainya, bahkan kepada generasi penerus hingga sekarang ini.
Mempertimbangkan
jasa-jasa yang telah diberikan Teuku Cik di Tiro untuk bangsa Indonesia, tahun 1973, Presiden RI yang ketika itu dijabat oleh
Soeharto, atas nama negara menganugerahkan gelar pahlawan Nasional kepada Cik
di Tiro yang ditetapkan dengan SK Presiden RI No.087/TK/Tahun 1973, pada tanggal
6 November 1973.
Sumber : http://documents.tips
No comments:
Post a Comment