Tanah Batak adalah tempat yang terkenal keindahan dan kesuburanya. Danau
Toba dengan pulau Samosir, Teluk Sibolga dengan nyiur melambainya, dan Bukit
Barisan yang ditutup oleh hutan rimba yang menghijau dengan lembah-lembahnya
yang subur, merupakan lingkungan hidup yang menakjubkan.
Ditengah-tengah keindahan dan kesuburan alam Tanah Batak itu, di desa Sibuluan, berdiri sebuah rumah kayu yang sederhana. Disanalah Dr. Ferdinand Lumban Tobing, salah seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional dilahirkan.
Ditengah-tengah keindahan dan kesuburan alam Tanah Batak itu, di desa Sibuluan, berdiri sebuah rumah kayu yang sederhana. Disanalah Dr. Ferdinand Lumban Tobing, salah seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional dilahirkan.
Ayah dr. Ferdinand Lumban Tobing adalah Herman Lumban Tobing gelar Raja Guru, karena ia menjadi guru di sekolah desa di Sibuluan. Ibunya bernama Laura Bora Sitanggang.
Ferdinand dilahirkan pada tanggal 19 Februari 1899. Ia adalah anak ke-4 dari sembilan orang bersaudara. Pada usia 5 tahun, yaitu pada tahun 1904, Ferdinand dibawa oleh ayah angkatnya, Jonathan Pasanea ke Depok dan disekolahkan ke Sekolah Dasar Belanda (Europesche Lagere School). Jonathan Pasanea, seorang pendeta dari Ambon adalah sahabat ayah Ferdinand. Sebelum Ferdinand lahir, ayahnya memang pernah bernazar, bilamana bayi yang akan lahir itu laki-laki, maka biarlah diambil anak oleh Jonathan Pasanea. Ferdinand adalah anak laki-laki pertama dalam keluarganya, kakak-kakaknya yang lahir terdahulu, adalah perempuan semua. Dalam adat Batak yang patrilineal itu, keluarga hanya dapat diteruskan oleh anak laki-laki.
Mula-mula Ferdinand bersekolah di ELS Depok, lalu dipindahkan ke ELS di Bogor. Pada tahun 1914 ia lulus dari ELS. Semula Ferdinand bermaksud akan bekerja saja di Jawatan Pos, Telpon dan Telegrap (PTT) namun dengan tidak disangka-sangka datanglah panggilan dari STOVIA ( Sekolah Kedokteran). Ferdinand Lumban Tobing di terima untuk mengikuti ujian masuk. Ini suatu hal yang unik dan aneh, sebab baik ayah angkatnya maupun ayah kandungnya sendiri di Sumatra tidak pernah mengajukan surat pendaftaran ke STOVIA, sedang diseluruh Depok pun tidak ada lagi anak yang bernama Ferdinand Lumban Tobing selain ia sendiri. Yang unik dan aneh itu akan terungkap tiga tahun kemudian. Ferdinand Lumbang Tobing sendiri tidak terlalu mempersoalkan hal itu. Karena nyata-nyata mendapat panggilan, maka ia memenuhinya dan ikut ujian itu. Dan Ferdinand Lumban Tobing lulus dan diterima menjadi mahasiswa di STOVIA.
Selama di STOVIA, Ferdinand belajar dengan tekun, sehingga selalu lulus naik tingkat. Pada tahun 1917, ketika Ferdinand sudah menyclesaikan ujian tingkat III-nya, sekonyong-konyong ia dipanggil ke kantor dan ditanya, bagaimana ia bisa diterima di STOVIA. Ia menerangkan, bahwa melalui ujian masuk dan dibenarkan oleh pegawai STOVIA. Rupanya, sesudah menunggu selama tiga tahun, datanglah Ferdinand Lumban Tobing yang sebenamya mendaftarkan ke STOVIA. persoalan itu akhirnya diselesaikan dengan bijaksana. Ferdinand Lumban Tobing anak angkat Jonathan Pasanea, tetap dipertahankan menjadi mahasiswa STOVIA, karena hasil belajarnya cukup baik, sedangkan Ferdinand Lumban Tobing yang satu ini diberi kesempatan ujian masuk STOVIA.
Sejak mengikuti kuliah di STOVIA, Ferdinand Lumban Tobing sudah tertarik juga pada pergerakan Nasional. Mula-mula ia menjadi anggota organisasi pemuda kedaerahan, yaitu Jong Batak, kemudian ia tidak merasa cukup puas geraknya dan karena itu ia menjadi anggota Jong Soematranen Bond yang dipimpin oleh Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin.
Walaupun dimasa mudanya ia mengikuti pergerakan pemuda, tetapi sesudah menjadi dokter dan terjun kemasyarakat, Ferdinand Lumban Tobing tidak tertarik pada kehidupan kepartaian. Sampai hari tuanya ia tidak memasuki partai politik,. karena menurut pendapatnya, partai politik lebih banyak memperjuangkan kepantingan kelompoknya sendiri.
Sebenarnya Ferdinand Lumban Tobing pernah juga menjadi anggota partai kecil pada tahun 1952, yaitu Sarikat Kerakyatan Indonesia (SKI) yang berpusat di Samarinda. Partai ini dibentuk oleh dr. H. Diapari Siregar, salah seorang kerabatnya sendiri. Tetapi SKI ini tidak lama usianya. Selanjutnya Ferdinand Lumban Tobing tidak pernah memasuki partai politik dalam perjuangannya.
Pada tanggal 28 Desember 1924, Ferdinand Lumban Tobing dinyatakan lulus dari STOVIA dan berhak menyandang gelar dokter yang pada waktu itu disebut IndischArts.
Ia segera bekerja dibagian pemberantasan penyakit menular di CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) di Jakarta. Pada tahun 1925 Ferdinand Lumban Tobing menikah dengan seorang gadis Minahasa, yang berdarah Jerman dan Bugis, namanya Anna Paulina Elfringhoff Kincap.
Sesudah satu tahun bertugas di Jakarta, Ferdinand Lumban Tobing dipindah ke Tenggarong, ibukota Kesultanan Kutai, Kalimantan Timur. Selama bekerja di Tenggarong, dr. Ferdinand Lumban Tobing mengalami suatu peristiwa yang mengesankan. Pada waktu itu Sultan Kutai cukup lama menderita sakit parah. Sesudah banyak dokter dan ahli penyembuh yang berusaha dengan memberi perawatan dan pengobatan, tetapi usaha itu sia-sia belaka. Akhirnya dr. Ferdinand Lumban Tobing bertekun dalam usahanya mengobati sang Sultan. Dengan ridho Tuhan usahanya berhasil, Sultan Kutai kembali sehat. Maka Sultan Kutai dan segenap keluarganya sangat bersyukur dan berterima kasih kepada dokter muda dari Tanah Batak ini. Sebagai tanda terima kasih, maka dr. Ferdinand Lumban Tobing diangkat sebagai ayah oleh Sultan Kutai. Lima tahun lamanya dr. Ferdinand Lumban Tobing bertugas di Tenggarong. Pada tahun 1931 dipindahkan ke Surabaya dan ditugaskan di bagian penyakit dalam. Kesempatan itu dipergunakannya menambah pengetahuannya dibidang ilmu bedah (chirurgie). la juga mendapat tugas mengajar di NIAS (Sekolah Dokter) sebagai Asisten.
Dr. Ferdinand Lumban Tobing selalu siap sedia untuk menolong orang sakit. la mempunyai sifat cepat kaki, ringan tangan. la pun berusaha meningkatkan pengetahuan, mantri-mantri yang membantunya dengan cara menjelaskan kasus-kasus penyakit yang diderita oleh pasiennya.
Kurang lebih selama lima tahun dr. Ferdinand Lumban Tobing berada di Surabaya. Pada tahun 1935 ia dipindah ke Padang Sidempuan. Kemudian dr. Ferdinand Lumban Tobing kembali ke daerah kelahirannya sendiri sesudah bertahun-tahun mengembara untuk memperoleh ilmu dan berkerja.
Dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1937, dr. Ferdinand Lumban Tobing dipindah ke Sibolga menjabat sebagai dokter Rumah Sakit Umum hingga datangnya pasukan Jepang pada tahun 1942. Pada zaman Jepang, dr. Ferdinand Lumban Tobing memindahkan prakteknya untuk melayani rakyat umum ke kompleks gereja Angin Nauli, suatu gereja tertua yang didirikan pertama kali oleh Zending Jerman.
Memang dr. Ferdinand Lumban Tobing seorang dokter yang terpuji. Ia tidak segan-segan menolak rakyat. Tidak jarang ia dipanggil pada malam hari untuk menolong orang sakit. Boleh dikata dr. Ferdinand Lumban Tobing bertugas dua puluh empat jam dalam sehari. Tugas itu dilakukannya dengan iklas dan bertanggung jawab serta penuh dedikasi yang tinggi sesuai dengan sumpahnya. Tempat prakteknya selalu penuh. Ia benar-benar memberikan pengabdian untuk menyembuhkan rakyat yang menderita.
Pada zaman pendudukan Jepang, rakyat Indonesia sangat menderita. Kesehatan mereka pun sangat mundur. Obat-obat kurang, biaya pun hampir tidah ada. Yang paling menderita adalah kaum romusha, yaitu para pekerja paksa. Mereka disuruh bekerja keras tanpa jaminan hidup yang layak. Tidak mengherankan, banyak romusha yang sangat kurus ibarat kulit pembalut malang, bahkan banyak yang meninggal akibat kelaparan.
Dr. Ferdinand Lumban Tobing di dalam hatinya sangat iba kepada para romusha, bangsanya sendiri yang dianiaya oleh tentara Jepang. Perasaan kebangsaan dan kemanusiaan itu akhirnya membuat dr. Ferdinand Lumban Tobing tidak senang dan tidak menghormati kepada tentara Jepang.
Sebaliknya, orang-orang Jepang juga melihat sikap dan gelagat dr. Ferdinand Lumban Tobing yang kurang bersahabat dan mulai mencurigainya, bahkan tentara Jepang sudah mencatat namanya sebagai orang Indonesia yang harus dibunuh, apabila pasukan Sekutu menyerang kedudukan mereka.
Dr. Ferdinand Lumban Tobing telah terancam maut, namun nasibnya menjadi berlainan, karena terjadinya sesuatu peristiwa yang cukup menggemparkan di Sibolga. Seorang perwira Kempetai yang mempunyai kekuasaan, bemama Inoue. mengalami kecelakaan yang parah ketika belajar mengendarai mobil. Dokter-dokter Jepang sudah berusaha menyembuhkannya, tetapi tanpa hasil, sementara Inoue keadaanya makin gawat. dr. Ferdinand Lumban Tobing lalu menawarkan diri untuk membantu menyembuhkan Inoue. Tawaran itu mula-mula tidak diterima karena orang-orang Jepang mencurigai dr. Ferdinand Lumban Tobing dan juga memandang rendah kemampuannya. Akhirnya setelah tidak ada jalan lain, maka tawaran dr. Ferdinand Lumban Tobing diterima juga. Tuhan Maha Besar, dengan sedikit demi sedikit, Inoue berangsur sembuh, karena dr. Ferdinand Lumban Tobing.
Inoue dan orang-orang Jepang lainnya kemudian berterima kasih dan menghormati dr. Ferdinand Lumban Tobing. Kecurigaannya menjadi hilang, berubah menjadi persahabatan. Kepercayaan Jepang telah menyebabkan dr. Ferdinand Lumban Tobing pada bulan November 1943 diangkat menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah (Syu Sangikai) untuk Karesidenan Tapanuli. Sejak waktu itu dr. Ferdinand Lumban Tobing terjun kegelanggang politik berjuang sebagai pemimpin rakyat. Walaupun dunia politik sesuatu yang baru, namun dr. Ferdinand Lumban Tobing tidak merasa canggung. Hal itu disebabkan karena dr. Ferdinand Lumban Tobing mempunyai sifat dan watak sebagai pemimpin. la jujur, teliti, sabar, mencintai yang lemah dan yang menderita, serta tekun bekerja. Sebagai pemimpin ia tidak menyukai omong kosong dan perbuatan membuang-buang waktu. Ia pun tidak bersikap sewenang-wenang asal perintah saja. Dengan bersikap sebagai seorang Bapak, dr. Ferdinand Lumban Tobing memberi contoh dan petunjuk, serta tidak segan-segan memberi teguran yang mendidik kepada yang bersalah.
Sesungguhnya tugas dr. Ferdinand Lumban Tobing tidaklah ringan. Ia harus mampu melaksanakan perintah-perintah Jepang sebaliknya ia pun harus melindungi rakyat. Salah satu tugasnya ialah, agar kaum wanita (fujinkai) membuatkan pakaian untuk para prajurit. Dalam melakukan tugas ini, ada kesempatan menyisihkan sebagian bahan kain yang akan dijahit untuk diberikan kepada rakyat yang sudah benar-benar kahabisan pakaian dan sudah memakai karung goni sebagai penutup tubuhnya. Menjelang berakhimya Asia Timur Raya, dr. Ferdinand Lumban Tobing membentuk Badan Pertahanan Negeri (BAPEN) yang langsung dipimpinnya sendiri. Maksud Jepang adalah mengerahkan para pemuda Indonesia untuk membantunya berperang menghadapi Sekutu, tetapi oleh dr. Ferdinand Luban Tobing dan kawan-kawannya secara diam-diam, pemuda-pemuda diarahkan sebagai persiapannya menyongsong kemerdekaan. Di Tapanuli para pemuda juga dilatih kemiliteran dalam barisan Gyu-gun, seperti Peta di Pulau Jawa dan Bali.
dr. Ferdinand Lumban Tobing memimpin para pemuda dengan tenang, bijaksana, tetapi tegas. Seorang sekretarisnya berkata, ”Kalau perlu Bapak dr. Ferdinand Lumban Tobing juga bisa gebrak meja.” Bahkan anaknya sendiri, yaitu Paul Lumban Tobing berkata,” Dalam tugas, walaupun terhadap anaknya sendiri, Bapak bertindak sebagai komandan. Bapak tidak membedakan, apakah itu anaknya sendiri atau orang lain. Siapapun harus menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.” dr. Ferdinand Lumban Tobing memang suka bekerja keras. Pernah terjadi, ia tidak pulang tiga hari tiga malam, karena harus menyelesaikan pekerjaan di rumah sakit, walaupun rumahnya dekat.
Menjelang Penyerahan Jepang kepada Sekutu kewajiban dan tugas dr. Ferdinand Lumban Tobing makin berat. Kemudian ia diangkat menjadi wakil muda Pemerintah (Fuku Sumu Buco) yang secara praktis mengatur jalannya pemerintahan. Selanjutnya pada bulan April 1945, dr. Ferdinand Lumban Tobing diangkat menjadi wakil Presiden Tapanuli (Fuku Cukan).
Ketika Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945, dr. Ferdinand Lumban Tobing berada di Tarutung, yang menjadi pusat pemerintahan keresidenan Tapanuli. Ia mendengar berita Proklamasi pada tanggal 28 Agustus 1945 langsung dari Mr. Teuku Mohamad Hassan dan Dr. M. Amir, dua orang wakil Sumatera dalam PPKI. (Panitia Pergerakan Kemerdekaan Indonesia) di Jakarta.
Usaha pemindahan kekuasaan dari tangan Jepang ke Republik Indonesia di Tarutung juga berjalan dengan tertib dan seksama berkat pimpinan dr. Ferdinand Lumban Tobing. Pemerintah di Karesidenan Tapanuli pun berjalan lancar dan wajar, lebih-lebih sesudah dr. Ferdinand Lumban Tobing secara resmi diangkat menjadi Residen pada tanggal 3 Oktober 1945. Ia segera mengatur barisan pemuda bersenjata dan berdirilah BKR yang kemudian menjadi TKR dan akhirnya TNI. Karesidenan Tapanuli disiapkan untuk mampu bertahan terhadap serangan lawan.
Dr. Ferdinand Lumban Tobing adalah seorang pemimpin yang berani dan tegas. Pada tanggal 9 Mei 1947, sebuah kapal perang Belanda bemama HMS Danckaerts bernomer JT 1 memasuki pelabuhan Sibolga dengan alasan akan menangkap sebuah kapal yang dituduh melakukan penyelundupan. Kapal Perang Belanda tersebut lalu menangkap kapal dagang yang malang itu dan menyeretnya keluar pelabuhan.
dr. Ferdinand Lumban Tobing segera mengirim surat kepada komandan kapal perang Belanda yangh berisi peringatan, bahwa dengan tindakan itu Belanda telah melanggar perjanjian Linggarjati, yaitu memasuki perairan RI yang berdaulat.
Setelah terjadi tembak menembak antara kapal Perang Belanda tersebut dengan pasukan TNI, akhimya kapal Belanda itu meninggalkan perairan teluk Sibolga.
Sementara itu, karena politik pecan belah fihak lawan, maka pada bulan Oktober 1948, terjadi perselisihan di antara berbagai pasukan kita di Tapanuli. Residen dr. Ferdinand Lumban Tobing berusaha keras untuk mengembalikan ketenangan dan kerukunan. Dengan tegas dr. Ferdinand Lumban Tobing berseru,
”Hentikan pertempuran, hentikan segala ofensif dan supaya masing-masing tinggal dulu pada tempatnya yang sekarang, sampai urusan dilanjutkan.
Hentikan dulu tembak menembak. Segala ofensif, serangan-serangan, tindakan-tindakan yang menimbulkan pertambahan kekalutan. Kekalutan sudah cukup, lebih dari cukup besarnya. Tuan sendiri telah bilang, yang Tuan bersedia bernagara Republik dan mematuhi peraturan hukumnya. Nyatakan itu dengan perbuatan yang selaras dengan peraturan hukum.”
Menyusullah peristiwa agresi militer Belanda II pada tanggal 19Desember 1948. Pasukan Belanda juga menyerang daerah Tapanuli dari segala jurusan, melalui darat, danau, udara dan laut. Pada tanggal 23 Desember 1948, Pasukan Belanda sudah menyeberangi Danau Toba, menguasai Balige dan menduduki Tarutung. Residen dr. Ferdinand Lumban Tobing beserta keluarga dan para pejabat pemerintahan, mengundurkan diri ke pegunungan dan sejak itu beliau memimpin perang gerilya melawan Belanda dengan jabatan Gubernur Militer.
Sebagai seorang Gubernur Militer dalam perang gerilya, dr. Ferdinand Lumban Tobing meduduki tempat yang unik. Biasanya gambaran orang tentang tokoh Gubernur Militer, adalah seorang perwira, berbadan kekar dan tegap, berwajah garang dengan pistol di pinggang atau pedang yang panjang. Ataupun seorang tokoh yang berpangkat jenderal, dengan bintang-bintang di dada dan di pundak, serta senjata yang siap ditembakkan. Kenyataannya Gubernur Militer dr. Ferdinand Lumban Tobing memberi gambaran yang lain. Dokter Ferdinand Lumban Tobing waktu itu adalah seorang tua, berwajah tenang dan anggun, berjanggut putih dan berpeci bitam yang sudah agak lusuh. Bajunya jas dan pantalon putih, bertongkat dan tersenyum penuh kebijaksanaan. Seringkali ia mengenakan sarung, dan lebih menyerupai seorang pendeta dari pada seorang Gubernur Militer.
Dengan semangat yang mengagumkan, dr Ferdinand Lumban Tobing naik gunung, menuruni lembah, menyeberangi sungai dan menjelajahi hutan rimba dalam perang gerilya itu.
Sesudah berlangsungnya KMB, Gubernur Militer dr. Ferdinand Lumban Tobing beserta staf kembali ke Sibolga dan mengatur kembali pemerintahan. Jabatan dr. Ferdinan Lumban Tobing sebagai Gubernur Militer berakhir pada bulan Pebruari 1950. Kemudian ia diangkat menjadi Gubernur Propinsi Sumatra Utara yang meliputi daerah Aceh, Sumatra Timur dan Tapanuli. Tetapi sungguh diluar dugaan, bahwa dr. Ferdinand Lumban Tobing menolak pengangkatan itu. Penolakannya itu berdasarkan pandangannya yang tajam, bahwa penggabungan tiga wilayah tersebut menjadi satu propinsi, tidaklah tepat karena corak kebudayaannya masing-masing adalah khas.
Memasuki tahun 1953 perjuangan dr. Ferdinand Lumban Tobing dalam lapangan politik makin meningkat. Ia mulai menjadi tokoh nasional. Pada tanggal 30 Juli 1983 dr. Ferdinand Lumban Tobing diangkat menjadi Menteri Penerangan dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo I. Dalam kedudukan itu ia pernah pula menjabat sebagai Menteri Kesehatan ad interim.
Dokter Ferdinand Lumban Tobing adalah seorang pemimpin yang suka bekerja keras, sehingga seringkali mengabaikan kesehatannya sendiri. Karena itu ia kelihatan lebih tua dari usia yang sebenarnya.
Seseorang pernah menanyakan kepada beliau, mengapa kelihatan lebih tua dari usia yang sebenarnya ? jawab dr. Ferdinand Lumban Tobing:
„Karena banyaknya kesulitan yang saya hadapi sehari-hari dalam jabatan saya, harus saudara tiga kali lipatkan umur saya sejak mulai Jepang masuk, sampai hari ini, karena beratnya tanggungan dan penanggungan itu ada tiga kali lipat,“
Dr. Ferdinand Lumban Tobing kemudian mendapat pensiun dan kembali bekerja sebagai dokter dengan membuka praktek. Jiwa sosialnya tetap mengalir dalam tubuhnya, sehingga seringkali tidak tega menarik ongkos dari pasien yang miskin, bahkan sering sekali memberikan obat dengan cuma-cuma. Karena itu, katika dr. Ferdinand Lumban Tobing wafat pada tahun 1962, beliau masih meninggalkan hutang, pada apotik Rathkamp.
Belum lama dr. Ferdinand Lumban Tobing menikmati hidup sebagai orang pensiunan, Presiden Sukarno telah mengakatnya lagi menjadi Menteri Urusan Hubungan Antar Daerah dalam Kabinet Juanda. Pekerjaan itu sangat berat karena banyaknya tugas yang harus diselesaikan dalam hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah. Antara tahun 1958 – 1959 dr. Ferdinand Lumban Tobing menjadi Menteri Transmigrasi. Barulah sesudah itu dalam usia 60 tahun menjalani lidup sebagai orang pensiunan.
dr. Ferdinand Lumban Tobing adalah seorang pemeluk agama Kristen Protestan yang taat, namun penuh toleransi. Beliau selalu menganjurkan sembahyang agar tidak melupakan pula kepada bawahannya yang beragama Islam.
dr. Ferdinand Lumban Tobing adalah seorang yang sederhana. Beliau tidak menyukai kemewahan. la merasa tercukupi oleh kesederhanaan yang memadai. la tidak meninggalkan warisan harta yang luar biasa bagi keluarganya.
dr. Ferdinand Lumban Tobing meninggal dunia dalam kedamaian pada tanggal 7 Oktober 1962 di Jakarta dan dimakamkan di Makam Pahlawan Kolang – Sibolga Sumatra Utara. Pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden RI No. 316 tahun 1962, tanggal 17 November 1962.
Sumber : www.pahlawancenter.com
No comments:
Post a Comment