Ibu Fatmawati Soekarno tidak hanya merupakan Ibu Negara Pertama dalam
sejarah Republik Indonesia, tetapi juga dikenal sebagai pembuat Bendera Pusaka
Sang Merah Putih, yang pada awal perjalanan Republik Indonesia selalu
dikibarkan dalam peringatan hari ulang tahun kemerdekaan. Lebih dari itu, Ibu
Fatmawati juga merupakan Pahlawan Nasional, berkan perjuangan dan peranannya
dalam mendampingi Presiden Soekarno.
***
Fatmawati yang bernama asli
Fatimah merupakan putri dari pasangan Hassan Din dan Siti Chadidjah yang lahir
pada tanggal 5 Februari 1923. Nama Fatmawati mempunyai arti bunga teratai
(Lotus). Sehari-harinya Fatmawati kecil biasa dipanggil ³Ma´, bukan Fat seperti
di kemudian hari orang-orang memanggilnya. Ayahnya, Hassan Din adalah seorang
Pengurus (pemimpin) organisasi Muhammadiyah cabang Bengkulu. Di samping, juga
bekerja di Borsumij (Borneo - Sumatra Maatschappij), yaitu sebuah perusahaan
swasta milik orang Belanda. Akan tetapi, ketika Hassan Din dihadapkan pada
salah satu alternatif pilihan, beliau memilih keluar dari Borsumij, dan lebih
memusatkan diri pada Muhammadiyah yang dipimpinnya. Sepasang suami-istri ini
selanjutnya terlibat aktif dalam perserikatan Muhammadiyah.
Tidak banyak diketahui orang
bahwa sebenarnya Fatmawati merupakan keturunan dari Kerajaan Indrapura
Muko-muko, Bengkulu Utara. Sang Ayah, Hassan Din adalah keturunan yang ke-enam
dari Kerajaan Puti Bunga Melur.
Masa kecil Fatmawati penuh
penderitaan, akibat sistem kolonialisme yang dijalankan oleh pemerintah Hindia
Belanda. Ada suatu kejadian menarik ketika Fatmawati berusia empat tahun,
seorang ahli nujum terkenal dari India membaca suratan tangan Hasan Din. Ahli
Nujum tersebut mengatakan bahwa kelak jika anak perempuannya (yang dimak sudkan
Fatmawati) besar nanti akan mendapatkan jodoh orang yang mempunyai kedudukan
tertinggi di negeri ini. Hasan Din tidak begitu saja mempercayai ramalan
tersebut, karena di masa itu jabatan tertinggi dipegang oleh orang Belanda
sementara orang pribumi paling tinggi menjabat sebagai Wedana.
Ketika berusia enam tahun,
Fatmawati dimasukkan ke Sekolah Gedang (Sekolah Rakyat) namun pada tahun 1930
dipindahkan ke sekolah berbahasa Belanda (HIS). Ketika duduk di kelas tiga,
Fatmawati dipindahkan lagi oleh ayahnya ke sekolah HIS Muhammadiyah. Ayahnya,
Hasan Din yang semula merupakan pegawai perusahaan Belanda, Borsumij di
Bengkulu, sebagai akibatnya harus meninggalkan pekerjaannya di perusahaan
tersebut. Keluarnya Hassan Din juga dikarenakan ia tidak mau meninggalkan
kegiatannya sebagai anggota Muhammadiyah. Hasan Din menghadapi masalah ekonomi
yang cukup berat dan untuk meringankan beban orang tuanya, Fatmawati membantu
menjajakan kacang bawang yang digoreng oleh ibunya atau menunggui warung kecil
di depan rumahnya. Akhirnya keluarga Hasan Din pindah ke kota Palembang dan
mencoba membuka usaha percetakan, sementara itu Fatmawati melanjutkan sekolah
kelas 4 dan kelas 5 di HIS Muhammadiyah Palembang.
Sejak kecil, Fatmawati memang
sudah tampak sebagai anak yang istimewa. Ia pandai dalam menekuni setiap
pelajaran di sekolah, pandai mengaji dan tadarus Al Quran, pandai menjahit,
menari, memasak, serta tak malu berjualan makanan demi menutupi semua
kekurangan hidup keluarga dan biaya sekolahnya. Ia yang cantik dan tak lepas
dati kain nasional kebaya panjangnya, sekalipun hidup miskin, ia dikenal
periang. Masa kecil dan remajanya tak mengenal fanatisme walaupun ia anak
seorang santri terpandang di Bengkulu, pada zamannya.
Jalan hidup Fatmawati kemudian
berubah setelah pada tahun 1938, Bengkulu ditetapkan sebagai tempat pengasingan
tokoh pergerakan Ir. Soekarno. Pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun
1934 menetapkan bahwa Soekarno diasingkan ke Flores, tetapi karena keadaannya
memburuk, akhirnya ia dipindahkan ke Bengkulu.
Sebagai tokoh pendiri
Muhammadiyah di Bengkulu, Hassan Din ingin bertemu tokoh pergerakan yang pernah
memimpin PNI dan Partindo itu. Suatu hari, dengan mengajak serta Fatmawati,
Hassan Din pergi ke rumah tempat pengasingan Soekarno.
Kesan pertama Fatmawati terhadap
Soekarno pada waktu itu adalah sosok yang tidak sombong, memiliki sinar mata
berseri-seri, berbadan tegap serta tawanya lebar. Mendengar bahwa Fatmawati
putus sekolah, Soekarno menawarkan untuk masuk ke RK Vaakschool di Bengkulu. Dengan
bantuan dari Soekarno-lah Fatmawati dapat melanjutkan sekolahnya di RK
Vakschool meski awalnya terbentur persyaratan untuk menyelesaikan sekolah HIS
terlebih dahulu.
Hubungan keluarga Soekarno dengan
keluarga Hasan Din terjalin erat dengan adanya ke samaan pikir untuk memajukan
serta merubah kehidupan bangsa yang semakin hari semakin tertindas. Hubungan
tersebut semakin erat setelah salah seorang kerabat Bung Karno menikah dengan
anggota keluarga Hassan Din.
Fatmawati yang telah menganggap
dekat dengan keluarga Soekarno, bermaksud meminta pandangan Soekarno tentang pinangan
seorang pemuda anak Wedana. Ketika hal tersebut disampaikan, Fatmawati melihat
perubahan raut wajah Soekarno dan akhirnya dengan suara pelan dan berat
Soekarno mengeluarkan isi hat inya. Fatmawati sangat kaget ketika mendengar
bahwa sebenarnya Soekarno telah jatuh cinta sejak pandangan pertama kepadanya
namun hal itu tidak diungkapkan karena Fatmawati masih terlalu muda. Fatmawati
sangat gelisah, sebagai seorang wanita ia tidak mau mengkhianati kaumnya karena
Soekarno telah beristrikan Inggit Garnasih sehingga akhirnya disampaikan
kegelisahan tersebut pada ayahnya. Tidak lama setelah itu terdengar kabar bahwa
rumah tangga Soekarno dengan Inggit Garnasih telah berakhir.
Setelah bercerai dengan Inggit
Garnasih, tepatnya pada tahun 1943, Soekarno menikahi Fatmawati. Karena saat
itu Fatmawati berada di Bengkulu, sedangkan Soekarno sibuk dengan kegiatannya
di Jakarta sebagai pemimpin Pusat Tenaga Rakyat (Putera), pernikahannya
dilakukan de ngan wakil. Menurut hukum Islam, perkawinan dapat dilangsungkan, asal
ada pengantin perempuan dan sesuatu yang mewakili mempelai laki-laki. Karena
itulah, Soekarno berkirim telegram kepada seorang kawan akrabnya di Bengkulu,
dan memintanya menjadi wakil Soekarno menikahi Fatmawati. Kawan Soekarno ini
pun bergegas ke rumah Fatmawati, dan menunjukkan telegram dari Soekarno.
Orangtua Fatmawati menyetujui gagasan itu. Akhirnya, pengantin putri dan wakil
Soekarno, Opseter Sardjono pergi menghadap penghulu, dan s ekalipun Famawati
ada di Bengkulu dan Bung Karno di Jakarta, pernikahan itu pun dilangsungkan,
dan keduanya sudah terikat tali perkawinan. Fatmawati menikah dengan Soekarno
ketika berumur 20 tahun sedangkan ketika itu Soekarno telah berumur 41 tahun.
Setelah menikah, pada tanggal 1
Juni 1943 Fatmawati meninggalkan kota Bengkulu dengan diiringi kedua orang
tuanya menuju kota Jakarta melalui jalan darat dan penyeberangan di Lampung.
Sejak itu Fatmawati mendampingi Soekarno dalam perjuangannya mencapai dan me
mpertahankan kemerdekaan. Hubungan Fatmawati dengan suaminya sangat harmonis,
Soekarno membuka pandangan-pandangannya tentang perjuangan bangsa Indonesia dan
selalu memberinya perhatian.
Pada tahun 1944, ketika sedang
mengandung 9 bulan, Fatmawati menerima dua gulungan kain berwarna merah dan
putih. Karena usia kandungannya sudah tua saat itu, ia tidak boleh menggunakan
mesin jahit kaki, sehingga Fatmawati menjahit bendera Merah Putih itu dengan
tangannya sendiri. Pada tahun yang sama, 1944 Fatmawati melah irkan putra
pertamanya yang diberi nama Muhammad Guntur Soekarno Putra.
Kelahiran putra pertamanya, tidak
membuat Fatmawati terpaku dalam urusan rumah tangga. Ia tetap mendampingi
suaminya. Ketika Bung Karno mengemukakan usulan mengenai dasar Negara pada
sidang BPUPKI, Fatmawati tampak hadir dan mendampingi Bung Karno dalam rapat
tersebut.
Mendekati pertengahan Agustus
1945 mulai terdengar kekalahan Jepang dan puncaknya pada tanggal 14 Agustus
Jepang bertekuk lutut pada tentara Sekutu. Fatmawati menghad masalah api yang
sangat pelik ketika Bung Karno dan Bung Hatta mendapat tuduhan sebagai antek
-antek Jepang, namun Fatmawati tetap yakin bahwa suaminya tidak mungkin
menghianati perjuangan bangsa Indonesia.
Ketika peristiwa Rengasdengklok
terjadi, dimana B ung Karno dan Bung Hatta diculik oleh para pemuda pada
tanggal 16 Agustus 1945, Fatmawati juga ikut mendampingi suaminya sekaligus
membawa serta anak mereka yang masih bayi.
Pada tanggal 17 Agustus 1945,
ketika Bung Karno dan Bung Hatta membacakan teks Pr klamasi o Kemerdekaan
Indonesia di halaman rumah Jl. Pegangsaan Timur, Fatmawati merupakan salah
seorang saksi mata dari peristiwa bersejarah tersebut. Ketika itu pulalah
bendera Merah Putih, yang dijahit Fatmawati, pertama kali dikibarkan.
Ketika PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Iindonesia) dalam sidangnya tanggal 19 Agustus 1945 memilih BungKarno menjadi Presiden pertama Reublik Indonesia, maka Ibu Fatmawati secara
resmi menjadi Ibu Negara RI pertama.
Dalam mendampingi Bung Karno
sebagai Presiden, penampilan Fatmawati tetap sederhana, ia memberikan teladan
yang baik bagi kaum perempuan Indonesia baik dalam bersikap, bertingkah laku
maupun dalam berpakaian. Kemanapun pergi, Fatmawati selalu memakai kerudung
yang menjadi ciri khasnya dan Bung Karno selalu memujinya.
Fatmawati juga mendampingi Bung
Karno ketika terpaksa harus hijrah ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946
karena keadaan Jakarta dirasakan makin tidak aman. Kemudian, pada tanggal 23
Januari 1946, Fatmawati melahirkan anak kedua yang diberi nama Megawati
Soekarno Putri.
Di Yogyakarta, Ibu Fatmawati segera
mendapatkan banyak simpati, berkat sikapnya yang ramah dan mudah bergaul dengan
berbagai lapisan masyarakat. Ditengah suasana revolusi yang mencekam itu, Ibu
Fatmawati juga sering mengikuti kunjungan Presiden Soekarno ke berbagai wilayah
untuk membangkitkan semangat perlawanan rakyat terhadap Belanda. Diantaranya,
kunjungan ke Garut, Tasikmalaya, Cirebon, dan Malang.
Ketika Belanda melancarkan Agresi
Militer ke-II pada tanggal 19 Desember 1948, Bung Karno, Bung Hatta dan para
pimpinan Negara ditangkap dan diasingkan di pulau Bangka, sementara keluarganya
tidak diperbolehkan turut serta. Ibu Fatmawati sebagai Ibu Negara baru keluar
dari istana kepresidenan Gedung Agung dan tinggal di sebua rumah sederhana di
pinggiran kota Yogyakarta. Walau keadaan ekonomi waktu itu sangat parah, Ibu
Fatmawati tidak tunduk pada rayuan dan paksaan pemerintah Belanda untuk bekerja
sama dengan pemerintah Belanda. Hal ini berlangsung sampai Soekarno
dikembalikan ke Yogyakarta pada tahun 1949.
Ketika akhirnya Belanda mengakui
kedaulatan RI pada tahun1949, Soekarno ² Hatta kembali ke Yogyakarta dan
kemudian dilantik sebagai Presiden RIS dan wakilnya untuk kemudian pindah ke
Jakarta. Setelah pusat pemerintahan kembali ke Jakarta, sebagai Ibu Negara,
Fatmawati selalu mendampingi suaminya dalam setiap kegiatannya. Tidak hanya
pada acara kenegaraan, tetapi juga pada acara-acara tidak resmi. Pada tahun
1950 Ibu Fatmawati juga mengikuti kunjungan pertama Kepala Negara Indonesia ke
luar Negeri. Ketika itulah, Ibu Fatmawati mendapat pengalaman pertama melakukan
perjalanan kenegaraan ke luar negeri yaitu ke India, Pakistan, dan Burma. Ibu
Fatmawati juga melakukab kegiatan-kegiatan sosial, seperti ikut aktif melakukan
pemberantasan buta huruf, mendorong kegiatan kaum perempuan, baik dalam pendidikan
maupun ekonomi. Bahkan Ibu Fatmawati merintis kegiatan amal untuk pembangunan
rumah sakit yang kemudian dinamakan Rumah Sakit Fatmawati .
Pada tanggal 27 September 1951
Fatmawati melahirkan anak perempuan lagi yang diberi nama Dyah Permana Rachmawati.
Menyusul kemudian anak keempat yang diberi nama Dyah Mutiara Sukmawati.
Keinginan Fatmawati memiliki anak laki-laki lagi terkabul dengan lahirnya
Muhammad Guruh Irianto Sukarno Putra pada 13 Januari 1953. Setelah melahirkan
Guntur, Soekarno meminta ijin untuk menikah lagi dengan Hartini. Fatmawati
meminta Soekarno untuk mengembalikannya lagi kepada orang tua serta
menyelesaikan permasalahan secepatnya. Fatmawati tetap berprinsip tidak
menyetujui poligami yang menginjak martabat wanita dan ia memilih berpisah
dengan suaminya.
Semenjak itu, sekitar tahun 1955, Fatmawati
hidup tanpa sosok suami dan tinggal di rumah pribadinya, di Jalan Sriwijaya,
Kebayoran Baru, meskipun status perikahannya belumlah terputus atau diceraikan.
Namun, Fatmawati tetap mempertahankan prinsipnya dan berkeras kepala untuk
tidak kembali lagi ke istana. Setelah keluar dari istana kepresidenan dan
meninggalkan aturan -aturan protokoler yang kaku didalamnya, Ibu memilih hidup
bebas ditengah-tengah masyarakat. Penduduk Kebayoran waktu itu senang
menyaksikan Ibu Negara itu naik becak dan juga sepeda di kawasan sekitar tempat
tinggalnya.
Sekalipun tidak lagi tinggal di
Istana Merdeka, Ibu Fatmawati tetap menjalankan kegiatan-kegiatan sosial
seperti sebelumnya. Tidak heran bila kemudian oleh masyarakat Ibu Fatmawati
diberi gelar ´Ibu AgungĀµ. Hingga akhirnya, situasi politik di Indonesia pun
kacau dan banyak fitnah. Soekarno sebagai presiden pikirannya terforsir oleh
situasi politik yang kacau tersebut sehingga sangat menyibukkan dirinya. Kekacauan
itu melonjak pada klimaksnya ketika Soekarno dikudeta oleh Soeharto dengan
legitimasi Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Mulai saat itu, kesehatan
Soekarno pun terus menurun dan mengantarkannya ke gerbang ajal. Kepergian
Soekarno menjadi tekanan dan pukulan bagi Fatmawati. Dalam masa berkabung pasca
meninggalnya Bung Karno, Fatmawati, yang pergi meninggalkan Istana setelah Bung
Karno menikahi istri lainnya, Hartini. Fatmawati adalah sosok perempuan yang
teguh pendirian. Ia sudah bertekad tidak
akan datang ke Wisma Yaso, tempat persemayaman terakhir Bung Karno di Jakarta
seperti yang dilakukan istri lainnya.
Karenanya, begitu mengetahui ayah
dari lima putra-putrinya telah meninggal, ia segera memohon kepada Presiden
Soeharto agar jenazah suaminya disemayamkan di rumahnya di Jl. Sriwijaya,
Kebayoran Baru, meski sebentar. Sayang, Soeharto menolak permintaan Fatmawati.
Hati Fatmawati benar-benar galau. Antara jerit hati ingin melihat wajah suami
untuk terakhir kali, dengan keteguhan prinsip. Bahkan, putra-putrinya pun tidak
ada yang bisa mempengaruhi keputusan Fatmawati untuk tetap tinggal di rumah.
Meski, atas kesepakatan semua pihak, peti jenazah tidak ditutup hingga batas
akhir jam 24.00, dengan harapan, Fatmawati datang pada detikdetik terakhir.
Namun, Fatmawati tak juga datang.
Pengganti kehadiran Fatmawati,
adalah sebuah karangan bunga darinya. Dengan kalimat pendek dan puitis, Fatma
menuliskan pesan, ´Tjintamu yang menjiwai hati rakyat, tjinta FatĀµ« Fatmawati
meninggal dunia tanggal 14 Mei 1980, pada usia 57 tahun. Ibu Negara pertama itu
wafat setelah ia menunaikan ibadah Umroh karena terkena serangan penyakit
jantung ketika pesawat singgah di Kuala Lumpur dalam penerbangan menuju Jakarta
dari Mekkah. Jenazahnya dibawa ke Jakarta, dan dikebumikan di pemakaman umum
Karet, Jakarta Pusat.
Semasa hidupnya, Ibu Fatmawati
dikenal sebagai seorang wanita yang ramah, setia, teguh pendirian, dan gigih
dalam memperjuangkan hak-hak wanita. Banyak hal yang bisa diteladani dari
kepribadiannya yang hangat, akrab, keibuan dan penuh kelembutan. Perjuangan dan
pengorbanannya selama menjadi Ibu Negara pertama Republik Indonesia dalam
mendampingi Presiden Soekarno, juga dapat dijadikan sebagai teladan. Sebagai
penghormatan, Fatmawati telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Namanya pun
dipakai sebagai nama Rumah Sakit Fatmawati di Jakarta Selatan dan Bandara
Fatmawati Soekarno di kota kelahirannya, Bengkulu.
Sumber : http://dokumen.tips/
No comments:
Post a Comment