Wednesday, 11 May 2016

Biografi Singkat - R.E. Martadinata




R.E. Martadinata di­lahirkan pada tanggal 29 Maret 1921 di Bandung dari pasangan Raden Ruchi­jat Martadinata dengan Raden Soehaeni. Mengenyam pendidikan di bangku sekolah diawali dengan masuk Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Lahat (1927-1934) di­lanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs bagian B (MULO-B) Bandung (1934- 1938) dan Algemene Middelbare School (AMS) Jakarta (1938-1941). 

Keinginan untuk melanjutkan sekolah setinggi-tingginya dilakukan dengan masuk pendidikan tinggi Zeevaart Technische School Jakarta pada tahun 1942 tetapi tidak sampai tamat karena masuknya tentara Jepang. Pada tahun 1943, pemerintah pendudukan Jepang membuka kesempatan bagi para pemuda pribumi untuk masuk Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT). R.E. Martadinata berhasil menyelesaikan dengan nilai terbaik sehingga ia diangkat menjadi Guru SPT Jakarta. Disela-sela mengajarkan ilmu kelautan kepada murid-murid­nya, R.E. Martadinata juga menanamkan jiwa nasionalisme dengan semboyan “ Kuasailah Lautanmu”. Semboyan tersebut merupakan ungkapan semangat dari sanubari yang paling dalam dari anak pribumi karena selama berabad-abad lautan Indonesia dikuasai oleh bangsa asing. Masih dalam lingkungan SPT, ia diberi kepercayaan untuk me­mimpin kapal latih Dai-28 Sakura Maru pada tanggal 1 Nopember 1944. 

Dengan bekal keahliannya dalam ilmu pelayaran, R.E. Martadinata bersama-sama den­gan para pemuda lulusan SPT, para pelaut dari Jawatan Pelayaran Jawa Unko Kaisya ikut aktif membantu per­siapan kemerdekaan. Para pemuda dan pelaut dengan semangat nasionalisme yang tinggi ini bergabung dan membentuk “Barisan Banteng Laut” dipimpin R.E. Martadinata yang bermarkas di Penjaringan Jakarta. Kesatuan laskar Barisan Banteng Laut ini merupakan bagian penting dalam perjuangan untuk merebut ke­merdekaan. Menjelang proklamasi 17 Agustus 1945, kelompok bahariawan ini berhasil meng-hubungi Bung Karno dan Bung Hatta untuk berdiskusi dan menyam­paikan informasi dalam rangka membantu persiapan proklamasi. 

Setelah proklamasi dikumandangkan, kewajiban setiap rakyat Indonesia adalah mempertahankan kemerdekaan dengan seluruh jiwa dan raganya. Para pemuda pelaut di bawah pimpinan R.E. Martadinata melucuti senjata tentara Jepang, merebut kapal-kapal milik Jawatan Pelayaran Jawa Unko Kaisya, menguasai pelabu­han penting dan menduduki gedung-gedung dan kan­tor milik pendudukan Jepang. Tanggal 10 September 1945, para tokoh pelaut mendirikan Badan Keamanan Rakyat Laut Pusat (cikal bakal TNI AL) dipimpin M. Pardi yang bermarkas di Jl. Budi Utomo Jakarta Pusat. R.E. Martadinata bersama dengan Adam menjadi staf pembantu didukung oleh Darjaatmaka, R. Surjadi dan Oentoro Koesmardjo. 

Dunia pendidikan selalu dekat dengan perjuang-annya yaitu ketika diangkat menjadi komandan Latihan Opsir Kilat ALRI di Kalibakung. Ketika meletus Agresi Militer pertama Belanda, ia bersama-sama dengan para siswa terjun ke medan pertempuran dan bergerilya menghadapi Belanda di sektor Tegal dan Pekalongan. Usai bertempur, ia ditunjuk untuk membuka pendidikan perwira Basic Operation School di Sarangan sebagai kelanjutan pendidikan di Kalibakung. Sejak tanggal 1 Desember 1948, R.E. Martadinata mendampingi KSAL R. Soebijakto membentuk Angkatan Laut Daerah Aceh (ALDA) untuk mengorganisir armada penyelundup, Training Station Serang Jaya dan kebutuhan logistik. 

Setelah pengakuan kemerdekaan, Belanda me­nyerahkan dua korvet kepada pemerintah RI dan R.E. Martadinata menjadi salah satu komandan kapal yang diberi nama RI Hang Tuah yang pernah ikut menum-pas pemberontakan Andi Aziz di Makassar. Perjalanan karirnya terus menanjak dan dipercaya menjadi Ko-mandan Kesatuan ALRI di Italia (Kalita) untuk meng-awasi pembuatan dua kapal korvet dan dua kapal fregat. Puncak karir di ALRI ketika diangkat menjadi KSAL pada tanggal 17 Juli 1959 dan saat itu dilakukan pe­rubahan dengan program “Menuju Angkatan Laut yang Jaya” dengan bertitik tolak pada konsepsi Wawasan Nusantara. Membangun Angkatan Laut yang kuat perlu penataan kekuatan Armada dan operasi yang didukung dengan pendirian darat. Armada Angkatan Laut men­jadi bertambah kuat dengan pengadaan kapal perang, pesawat udara, pasukan komando dan peralatannya serta pendirian fasilitas pangkalan secara moderen sehingga pada tanggal 5 Desember 1959 lahirlah Ar­mada Republik Indonesia yang menjadi kekuatan ter­besar di Asia Tenggara dan menjadi kebanggaan rakyat. 

Pengabdian kepada bangsa dan negara dilanjut­kan ketika diangkat menjadi Duta Besar dan Berkua­sa Penuh di Pakistan pada tanggal 1 September 1966. Pada saat peringatan HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1966, ia datang ke Jakarta untuk menerima kenaikan pangkat menjadi Laksamana di Istana Negara. Tang­gal 6 Oktober 1966, R.E. Martadinata mengajak ko­leganya dari Pakistan Kolonel Syed Mazhar Ahmed dan istrinya Begum Salma serta Magda Elizabeth Mari Rauf ke Puncak menggunakan helikopter jenis Alloute A IV 422 yang dipiloti Letnan Willy. Kembali dari Puncak menuju Jakarta, R.E. Martadinata mengam­bil alih kemudi pesawat dan menerbangkan sendiri bersama tamunya. Tetapi naas, saat melewati Puncak Pass tiba-tiba cuaca buruk dan pesawat heli menabrak tebing batu dan meledak mengakibatkan gugurnya R.E. Martadinata dan seluruh penumpangnya. Jenazah-nya dimakamkan di Kalibata dengan inspektur upa­cara Jenderal TNI Soeharto.

Pemerintah menghargai jasa-jasa dan perjuangannya serta mengangkat Laksa­mana TNI R.E. Martadinata sebagai Pahlawan Na-sional melalui Skep Presiden tanggal 7 Oktober 1966. 

Sumber : www.tnial.mil.id


No comments:

Post a Comment