R.E.
Martadinata dilahirkan pada tanggal 29 Maret 1921 di Bandung dari pasangan
Raden Ruchijat Martadinata dengan Raden Soehaeni. Mengenyam pendidikan di
bangku sekolah diawali dengan masuk Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Lahat
(1927-1934) dilanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs bagian B (MULO-B)
Bandung (1934- 1938) dan Algemene Middelbare School (AMS) Jakarta (1938-1941).
Keinginan
untuk melanjutkan sekolah setinggi-tingginya dilakukan dengan masuk pendidikan
tinggi Zeevaart Technische School Jakarta pada tahun 1942 tetapi tidak sampai
tamat karena masuknya tentara Jepang. Pada tahun 1943, pemerintah pendudukan
Jepang membuka kesempatan bagi para pemuda pribumi untuk masuk Sekolah
Pelayaran Tinggi (SPT). R.E. Martadinata berhasil menyelesaikan dengan nilai
terbaik sehingga ia diangkat menjadi Guru SPT Jakarta. Disela-sela mengajarkan
ilmu kelautan kepada murid-muridnya, R.E. Martadinata juga menanamkan jiwa
nasionalisme dengan semboyan “ Kuasailah Lautanmu”. Semboyan tersebut
merupakan ungkapan semangat dari sanubari yang paling dalam dari anak pribumi
karena selama berabad-abad lautan Indonesia dikuasai oleh bangsa asing. Masih
dalam lingkungan SPT, ia diberi kepercayaan untuk memimpin kapal latih Dai-28
Sakura Maru pada tanggal 1 Nopember 1944.
Dengan bekal
keahliannya dalam ilmu pelayaran, R.E. Martadinata bersama-sama dengan para
pemuda lulusan SPT, para pelaut dari Jawatan Pelayaran Jawa Unko Kaisya ikut
aktif membantu persiapan kemerdekaan. Para pemuda dan pelaut dengan semangat
nasionalisme yang tinggi ini bergabung dan membentuk “Barisan Banteng Laut”
dipimpin R.E. Martadinata yang bermarkas di Penjaringan Jakarta. Kesatuan
laskar Barisan Banteng Laut ini merupakan bagian penting dalam perjuangan untuk
merebut kemerdekaan. Menjelang proklamasi 17 Agustus 1945, kelompok bahariawan
ini berhasil meng-hubungi Bung Karno dan Bung Hatta untuk berdiskusi dan menyampaikan
informasi dalam rangka membantu persiapan proklamasi.
Setelah
proklamasi dikumandangkan, kewajiban setiap rakyat Indonesia adalah
mempertahankan kemerdekaan dengan seluruh jiwa dan raganya. Para pemuda pelaut
di bawah pimpinan R.E. Martadinata melucuti senjata tentara Jepang, merebut
kapal-kapal milik Jawatan Pelayaran Jawa Unko Kaisya, menguasai pelabuhan
penting dan menduduki gedung-gedung dan kantor milik pendudukan Jepang.
Tanggal 10 September 1945, para tokoh pelaut mendirikan Badan Keamanan Rakyat
Laut Pusat (cikal bakal TNI AL) dipimpin M. Pardi yang bermarkas di Jl. Budi
Utomo Jakarta Pusat. R.E. Martadinata bersama dengan Adam menjadi staf pembantu
didukung oleh Darjaatmaka, R. Surjadi dan Oentoro Koesmardjo.
Dunia
pendidikan selalu dekat dengan perjuang-annya yaitu ketika diangkat menjadi komandan
Latihan Opsir Kilat ALRI di Kalibakung. Ketika meletus Agresi Militer pertama
Belanda, ia bersama-sama dengan para siswa terjun ke medan pertempuran dan
bergerilya menghadapi Belanda di sektor Tegal dan Pekalongan. Usai bertempur,
ia ditunjuk untuk membuka pendidikan perwira Basic Operation School di Sarangan
sebagai kelanjutan pendidikan di Kalibakung. Sejak tanggal 1 Desember 1948,
R.E. Martadinata mendampingi KSAL R. Soebijakto membentuk Angkatan Laut Daerah
Aceh (ALDA) untuk mengorganisir armada penyelundup, Training Station Serang
Jaya dan kebutuhan logistik.
Setelah
pengakuan kemerdekaan, Belanda menyerahkan dua korvet kepada pemerintah RI dan
R.E. Martadinata menjadi salah satu komandan kapal yang diberi nama RI Hang
Tuah yang pernah ikut menum-pas pemberontakan Andi Aziz di Makassar. Perjalanan
karirnya terus menanjak dan dipercaya menjadi Ko-mandan Kesatuan ALRI di Italia
(Kalita) untuk meng-awasi pembuatan dua kapal korvet dan dua kapal fregat.
Puncak karir di ALRI ketika diangkat menjadi KSAL pada tanggal 17 Juli 1959 dan
saat itu dilakukan perubahan dengan program “Menuju
Angkatan Laut yang Jaya” dengan bertitik tolak pada konsepsi
Wawasan Nusantara. Membangun Angkatan Laut yang kuat perlu penataan kekuatan
Armada dan operasi yang didukung dengan pendirian darat. Armada Angkatan Laut
menjadi bertambah kuat dengan pengadaan kapal perang, pesawat udara, pasukan
komando dan peralatannya serta pendirian fasilitas pangkalan secara moderen
sehingga pada tanggal 5 Desember 1959 lahirlah Armada Republik Indonesia yang
menjadi kekuatan terbesar di Asia Tenggara dan menjadi kebanggaan rakyat.
Pengabdian
kepada bangsa dan negara dilanjutkan ketika diangkat menjadi Duta Besar dan
Berkuasa Penuh di Pakistan pada tanggal 1 September 1966. Pada saat peringatan
HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1966, ia datang ke Jakarta untuk menerima kenaikan
pangkat menjadi Laksamana di Istana Negara. Tanggal 6 Oktober 1966, R.E.
Martadinata mengajak koleganya dari Pakistan Kolonel Syed Mazhar Ahmed dan
istrinya Begum Salma serta Magda Elizabeth Mari Rauf ke Puncak menggunakan
helikopter jenis Alloute A IV 422 yang dipiloti Letnan Willy. Kembali dari
Puncak menuju Jakarta, R.E. Martadinata mengambil alih kemudi pesawat dan
menerbangkan sendiri bersama tamunya. Tetapi naas, saat melewati Puncak Pass
tiba-tiba cuaca buruk dan pesawat heli menabrak tebing batu dan meledak
mengakibatkan gugurnya R.E. Martadinata dan seluruh penumpangnya. Jenazah-nya
dimakamkan di Kalibata dengan inspektur upacara Jenderal TNI Soeharto.
Pemerintah
menghargai jasa-jasa dan perjuangannya serta mengangkat Laksamana TNI R.E.
Martadinata sebagai Pahlawan Na-sional melalui Skep Presiden tanggal 7 Oktober
1966.
Sumber : www.tnial.mil.id
No comments:
Post a Comment