John Lie yang lahir dari keluarga Tionghoa di
Manado 9 Maret 1911 ini awalnya merupakan mualim pada pelayaran niaga milik
Belanda, Koninklijke Paketvaart Maatchappij (KPM), yang kemudian bergabung
dengan ALRI. Pada masa John Lie bertugas di Cilacap, beliau berhasil
membersihkan ranjau yang ditanam oleh Jepang untuk menghalau pasukan sekutu,
sehingga atas jasanya ini, pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor. Dengan
menggunakan kapal motor cepat bernama "The Outlaw", dengan gagah
beraninya beliau menembus blokade laut yang dilakukan AL Belanda di sekitar
perairan Selat Malaka. Antara kurun waktu 1947 hingga 1949, John Lie berhasil
memasok sejumlah besar senjata, amunisi dan obat-obatan kepada para pejuang dan
rakyat di Sumatera. Berkat keberaniannya tersebut, "The Outlaw"
dijuluki Radio BBC Inggris sebagai "The Black Speedboat" karena
kemampuannya beroperasi di malam hari tanpa penerangan dan tidak pernah
tertangkap Belanda. Paling sedikitnya sebanyak 15 kali John Lie berhasil
melakukan operasi menembus Blokade Belanda.
Semangat Patriotisme
"Siapakah orang pribumi dan non pribumi
itu? Orang pribumi adalah orang–orang yang jelas–jelas membela kepentingan
negara dan bangsa. Sedangkan non pribumi adalah adalah mereka yang suka
korupsi, suka pungli, suka memeras dan melakukan subversi. Mereka itu sama juga
menusuk kita dari belakang. Pada hakikatnya mereka tidak mementingkan apalagi
membela nasib bangsa kita. Mereka adalah pengkhianat–pengkhianat bangsa. Jadi
soal pribumi dan non pribumi bukannya dilihat dari suku bangsa dan keturunan
melainkan dari sudut pandang kepentingan siapa yang mereka bela." Pendapat
tersebut diungkapkan oleh seorang anak bangsa Laksamana Muda John Lie yang
melalui Keputusan Presidium Kabinet No.127/U/Kep/12/1966 dirubah namanya
menjadi Jahja Daniel Dharma.
Jiwa nasionalismenya tumbuh seperti apa yang
dikatakan Lie dalam majalah LIFE, 26 Oktober 1949:
"When I was a boy, Lie says, "I did
wrong. The Lord told me to move on, and I went to the sea. I spent 15 years on
Dutch sailing between Durban and Shanghai. But I saw Dutch did wrong, so once
again I moved on. I went to the Holy Land. The Gold told me to go home and help
make Indonesia a Garden of Eden." It is this that keeps Lie shuttling back
and forth on his dangerous voyage, running in arms and bringing out raw
materials such as rubber to pay for them.
Selanjutnya Roy Rowan dalam majalah tersebut
mengatakan:
His stand recalled the basic government, which
begun shortly after the war ended in the Pacific, over whether the Dutch were
imposing a trade restriction or a blockade againts Indonesia. Believeng the
Dutch were trying to struggle Indonesian Independence, Lie begun his smuggling
career. He prays that his country will some day be transformed from "wild
jungle" into a "Garden of Eden". But he declares vehemntly
"there can be no Dutchmen in a Garden of Eden".
John Lie berpikir, seandainya nanti Indonesia
diserang siapa yang akan membela? Siapa lagi kalau bukan putra putrinya! Oleh
karena itu beliau sempatkan belajar di Singapura untuk: belajar dari Royal Navy
tentang pengamanan dan penyapuan ranjau, belajar taktik pertempuran laut dengan
mengingat kembali Perang Dunia II yang meliputi: peranan dan tugas dalam
logistic ship, taktik perang laut dimana beliau juga menanamkan pentingnya
indonesia memiliki kapal–kapal yang bisa digunakan untuk bergerilya di lautan,
serta belajar bergaul dan bersahabat dengan tujuan untuk mempertahankan
kemerdekaan RI yang dapat menggugah semangat para pemuda untuk bersukarela
berjuang melawan penjajah.
Penumpasan RMS
Menyikapi kegagalan misi perdamaian dan sikap
membangkang yang ditunjukan oleh RMS, pemerintah memerintahkan untuk menumpas
pemberontakan tersebut. Pada tanggal 1 Mei 1950 Menpangal R.Soebijakto
memerintahkan kapal perang ALRI untuk melaksanakan blokade di perairan Ambon.
Pelaksanaan blokade oleh kapal–kapal korvet RI Rajawali dengan Komandan Mayor
(P) John Lie, RI Pati Unus dengan Komandan Kapten S.Gino, RI Hang Tuah dengan
Komandan Mayor Simanjuntak. Pendaratan di P.Buru dilaksanakan tanggal 13 Juli
1950 dan ALRI mengerahkan kekuatan eskader-eskader ALRI di bawah Komando Mayor
Pelaut John Lie, dilanjutkan dengan pendaratan di P.Seram dan P.Piru. Melalui
tiga titik pendaratan ini yang dibantu dengan kekuatan gabungan TNI, pasukan
RMS mulai terdesak, tetapi ada sebagian kota pesisir yang masih mereka kuasai.
Akhirnya pendaratan penyerbuan dilaksanakan
melibatkan ketiga angkatan. Dari ALRI di bawah Komandan Mayor (P) John Lie,
terdiri dari RI Rajawali, RI Hangtuah, RI Banteng, RI Patiunus, RI Namlea, RI
Piru, RI Andhis, RI Anggang, RI Amahi, kapal rumah sakit, 10 LCVP, 3 buah LCM,
2 LST, 3 KM. Pada tanggal 15 November 1950, pembersihan dalam kota Ambon
selesai.
Penumpasan DI/TII
Pemberontakan Darul Islam / Tentara Islam
Indonesia (DI/TII) pertama kali muncul di Jawa Barat pada tahun 1949 di bawah
pimpinan Kartosuwiryo. Namun kemudian pengaruh DI meluas hingga ke Aceh pada
tahun 1950 dipimpin oleh Teuku Daud Beureuh dan di Sulawesi Selatan pada tahun
1953 di bawah pimpinan Abdul Qahhar Mudzakkar. Untuk menumpas pemberontakan
tersebut, pemerintah menggelar operasi militer dan operasi pemulihan keamanan
yang melibatkan seluruh elemen pertahanan terkait, termasuk ALRI yang menggelar
operasi patroli pantai dipimpin oleh Mayor (P) John Lie.
Operasi penumpasan di Sulawesi adalah Operasi Tri
Tunggal, Operasi Malino dan Operasi Jaya Sakti bulan Oktober 1955. Dalam
operasi ini, ALRI melibatkan beberapa kapal perang, di antaranya RI Rajawali
dan 1 kompi KKO AL serta didukung oleh sebuah kapal angkut milik jawatan
pelayaran. Dalam Operasi Tri Tunggal, diadakan pendaratan di sekitar Sungai
Wawo, Sulawesi Tenggara. Operasi keamanan di Malino dilaksanakan oleh Datasemen
KKO AL untuk mengamankan jalan raya antara Makassar dengan Malino. Operasi Jaya
Sakti bertujuan untuk melaksanakan patroli keamanan wilayah dan pembersihan
sisa-sisa pengikut DI/TII oleh 1 kompi pasukan KKO AL.
Penumpasan PRRI / Permesta
Pemerintah menggelar operasi untuk menumpas
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia di Sumatera dan Perjuangan Semesta
di Sulawesi tahun 1958 dengan Komandan Operasi Kolonel Ahmad Yani, Wadan I
Letkol (P) John Lie, Wadan II Letkol (U) Wiriadinata. Pada dasarnya terdapat 3
kegiatan pokok operasi pendaratan untuk menumpas PRRI yaitu Operasi Tegas,
Operasi 17 Agustus dan Operasi Kurusetra. Operasi Tegas merupakan operasi
gabungan untuk merebut Riau Daratan. Dalam proses ini ALRI membentuk Amphibious
Task Group-27 I (ATG-27 I). Unsur ALRI yang terlibat diantaranya RI Banteng, RI
Sawega, 2 kapal baru selam, 3 Penyapu Ranjau serta 1 kompi KKO AL. Operasi 17
Agustus bertugas menghancurkan pemberontak di Sumatra Barat. Dalam Operasi ini
ALRI membentuk Amphibious Task Force-17 (ATF-17) yang dipimpin Letkol (P) John
Lie, dan melibatkan RI Gajah Mada, RI Banteng, RI Pati Unus, RI Cepu, RI Sawega
dan RI Baumasepe, serta 1 Yon KKO AL. Kapal-kapal melakukan bombardemen sekitar
Kota Padang dan kemudian mengadakan operasi pendaratan pasukan KKO AL. Operasi
Kurusetra merupakan operasi pembersihan sisa-sisa pemberontak di Air Bangis,
Sasak dan Pasaman. Untuk pendaratan di tempat tersebut, ALRI membentuk
Amphibious Task Unit-42 (ATU-42). Unsur ALRI yang terlibat di antaranya RI
Katula, RI Lajuru, RI Lapai dan 1 kompi KKO AL. Pasukan KKO AL berhasil
menghancurkan basis pemberontak di sepanjang Air Bangis dan Pasaman.
Operasi-operasi tersebut berhasil menghancurkan kekuatan moril dan militer
PRRI.
Setelah Permesta 1958 - 1959, John Lie setahun
berada di India dalam tugas belajar di Defence Service Staff College,
Wellington South India. Tahun 1960, John Lie menjadi anggota DPR GR dari
Angkatan Laut. Tahun 1960 – 1966 menjadi Kepala Inspektur Pengangkatan Kerangka
– Kerangka Kapal di seluruh Indonesia. Sebelumnya, pada Tanggal 5 Oktober 1961,
Presiden Soekarno menganugerahkan tanda jasa Pahlawan kepadanya.
Itulah John Lie, pejuang prajurit dan prajurit
pejuang, yang walaupun hanya lulusan akademi revolusi fisik dan tak pernah
menduduki bangku Akademi Angkatan Laut, Seskoal dan Lemhanas, namun telah
berjasa amat besar bagi bangsa dan negara.
Sumber : http://www.tandef.net
No comments:
Post a Comment