Friday, 27 May 2016

Sudirman - Jenderal Besar, Pejuang Sejati

Jenderal Sudirman. Siapa yang tidak kenal beliau. Jenderal Sudirman adalah Panglima Besar TNI yang pertama dan juga Pahlawan Nasional. Sudirman  lahir di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga, 24 Januari 1916 dari psangan suami istri Karsid Kartowirodji dan Siyem. Sejak masih bayi Sudirman sudah diadopsi oleh pamannya, Cokrosunaryo, Asisten Wedana (Camat) Bodas Karangjati. Masa kanak-kanak dan masa remajanya dihabiskan di Cilacap.

Pendidikan formal ditempuhnya di Sekolah Taman Siswa, kemudian melanjutkan ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Surakarta, tetapi tidak sampai tamat. Saat di sekolah menengah, Sudirman mulai menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi, dan dia sangat taat dengan ajaran Islam. Setelah berhenti dari sekolah keguruan, pada tahun 1936 ia menjadi seorang guru, dan kemudian menjadi kepala sekolah, di sekolah dasar Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937.

Ketika pendudukan Jepang, pemerintah Jepang mengumumkan akan membentuk Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Pemuda-pemuda Indonesia mendapat kesempatan mengikuti pendidikan militer. Para pemuda ini kelak yang akan dimanfaatkan oleh Jepang untuk menahan serangan sekutu. Tapi tujuan itu tidak pernah tercapai.

Sudirman mengikuti latihan Peta Angkatan ke dua di Bogor. Setelah selesai, ia diangkat menjadi Daidanco (Komandan Batalyon) di Kroya, daerah Banyumas. Tiap-tiap kesatuan Peta dipimpin oleh perwira Indonesia. Sedangkan orang Jepang yang ada dalam kesatuan itu hanya bertindak sebagai pelatih. Hubungan antara Sudirman dengan pelatih tersebut, tidak selamanya berjalan baik. Seringkali mereka bertindak diluar batas dan Sudirman pun pasti melancarkan protes atas tindakan tersebut. Karena itu ia dicurigai dan dianggap sebagai orang yang berbahaya.

Pada Juli 1945, Sudirman bersama dengan beberapa orang perwira PETA lainnya, yang juga dianggap berbahaya, diperintahkan ke Bogor. Resminya, untuk memperoleh pendidikan yang lebih intensif. Tetapi sebenarnya, Jepang punyak rencana busuk.  Jepang berkeinginan untuk melenyapkan para perwira semacam Sudirman. Rencana itu tidak sempat dilaksanakan, sebab tanggal 14 Agustus 1945 Jepang sudah menyerah kembali kepada Sekutu.

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Sudirman melarikan diri, kemudian pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Ia ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat. Pasukannya lalu dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh panglima sementara Oerip Soemohardjo, dan Sudirman bertanggung jawab atas divisi tersebut.

Melalui Konferensi TKR tanggal 12 November 1945, Sudirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang RI. Kedatangan pasukan Sekutu yang ternyata juga diikuti tentara NICA Belanda menyebabkan timbulnya pertempuran dengan TKR di berbagai tempat. Salah satu pertempuran besar terjadi di Ambarawa. Sudirman memimpin langsung pasukan TKR menggempur posisi pasukan Inggris dan Belanda selama lima hari, mulai tanggal 12 Desember 1945. Pertempuran yang dikenal sebagai Palagan Ambarawa ini berhasil memukul mundur pasukan Inggris dan Belanda ke Semarang.

Pertempuran ini dan penarikan diri tentara Inggris menyebabkan semakin kuatnya dukungan rakyat terhadap Sudirman, dan ia akhirnya diangkat sebagai panglima besar pada tanggal 18 Desember dan pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh pangkat Jenderal tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana lazimnya, tapi karena prestasinya.

Selama tiga tahun berikutnya, Sudirman menjadi saksi kegagalan negosiasi dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang pertama adalah Perjanjian Linggarjati –yang turut disusun oleh Sudirman – dan kemudian Perjanjian Renville –yang menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambilnya dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan 35.000 tentara Indonesia. Ia juga menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta pada 1948. Ia kemudian menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit tuberkulosis-nya; karena infeksi tersebut, paru-paru kanannya dikempeskan pada bulan November 1948.


Saat terjadi Agresi Militer II oleh Belanda(19 Desember 1948),Yogyakarta sebagai ibukota saat itu pun jatuh ke tangan musuh. Para pemimpin bangsa, seperti Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ditawan Belanda. Sudirman tetap berjuang dengan cara bergerilya, meskipun saat itu sudah menderita sakit TBC yang parah dan hanya bernapas dengan satu paru saja. Presiden Sukarno pun sebenarnya sudah meminta beliau untuk tetap di Yogya dan berobat, tetapi melihat keteguhan hati Sudirman maka Bung Karno pun menyetujui keputusan beliau untuk memimpin langsung gerilya. Perjuangan dengan senjata dan di meja perundingan memaksa Belanda ke perundingan. Setelah Perundingan Roem-Royen yang menetapkan gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia, Jenderal Sudirman kembali ke Yogyakarta dengan disambut Bung Karno, Bung Hatta, dan Sri Sultan HB IX dalam suasana penuh keharuan. Saat itu, Jenderal Sudirman terlihat sangat kurus dan lusuh. Dalam perundingan KMB pada Desember 1949. Belanda kemudian mengakui kedaulatan Indonesia.

Pada tangal 29 Januari 1950, Sudirman meninggal dunia di Magelang, Jawa Tengah, karena sakit yang dideritanya. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta. Pada tahun 1997, Jenderal Sudirman mendapat gelar sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan pangkat bintang lima. Pada tanggal 10 Desember 1964, ia juga ditetapkan juga Pahlawan Nasional Indonesia

Dari Berbagi Sumber.



No comments:

Post a Comment