Friday, 27 May 2016

Mgr Soegijapranata - Uskup Pribumi Pertama



Soegija lahir dari keluarga kejawenyang sangat sederhana pada tanggal 25 November 1896 di Surakarta. Kedua  orangtuanya merupakan abdi dalem keraton Kasunanan Surakarta, sehingga Soegija dibesarkan di lingkungan dekat keraton yang sangat menghargai toleransi.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di Surakarta, ia melanjutkan studi di Kolese Xaverius di Muntilan, yang didirikan oleh seorang pastur Jesuit, Van Lith SJ. Sebenarnya keputusan tersebut ditentang oleh orang tua Soegija, karena mereka beranggapan segala hal yang terkait dengan penjajah merupakan hal yang buruk. Memang bagi sebagian besar masyarakat Jawa, gereja, agama katolik dan budaya yang terkait dengan penjajah merupakan hal-hal yang perlu dihindari. Akan tetapi Soegija mempunyai hasrat yang kuat untuk tetap memperoleh pendidikan di Kolese yang
dikelola para Yesuit.

Secara perlahan namun pasti, pandangannya tentang agama Katolik berubah, bahkan Soegija memutuskan untuk dipermandikan oleh Pastor Meltens SJ, di Muntilan,  dengan mengambil nama permandian Albertus Magnus. Setelah mendapatkan pendidikan yang bermutu di Kolese Xaverius, Soegija berhasrat untuk  menjadi seorang imam, sehingga ia dikirim ke Belanda untuk belajar di Gymnasium, Uden, Noord - Brabant, yang diasuh oleh biarawan Ordo Salib Suci (OSC: Ordo Sanctae Crucis).

Perjalanan dari Indonesia menuju Uden dengan Kapal melewati Tanjung Priok – Muntok – Belawan - Sabang – Singapore – Colombo - Terusan Suez dan terus ke Amsterdam, yang memakan waktu berminggu-minggu. Selanjutnya Soegija memutuskan untuk bergabung dengan misionaris Serikat Jesus di Novisiat Mariendaal, Grave. Di sanalah ia berjumpa dengan Pastor Willekens SJ, yang kemudian menjadi Vikaris Apostolik Batavia. Berturut-turut, pada tanggal 22 September 1922 Soegija mengikrarkan kaul prasetia, yang meliputi kaul kemurnian, ketaatan dan kemiskinan. Periode 1923 hingga 1926, ia belajar filsafat di Kolese Berchman Oudenbosch.

Setelah sempat mengajar di Kolese Xaverius Muntilan pada tahun 1926 - 1928, Soegija kembali ke Maastricht Belanda untuk belajar Teologi. Di kota Maastricht, Soegija menerima sakramen imamat, ditahbiskan oleh Mgr. Schrijnen, Uskup  Roermond pada tanggal 15 Agustus 1931. Namanya ditambah dengan Pranata, sehingga menjadi Soegijapranata.

Pada tahun 1933, Soegijapranata kembali ke Indonesia dan bekerja di Paroki Kidullogi Yogyakarta dan dipindahkan ke Paroki Bintaran hingga tahun 1940. Atas penunjukan dari Mgr Montini, yang nantinya dikenal sebagai Paus Paulus VI, Soegijapranata ditunjuk sebagai Vikaris Apostolik, yang bergelar Uskup. Pada tanggal 6 November 1940, Soegijapranata  ditahbiskan sebagai Uskup pribumi Indonesia pertama untuk  Vikaris Apostolik Semarang, oleh Mgr Willekens SJ (Vikaris Apostolik Batavia), Mgr AJE Albers O.Carm (Vikaris Apostolik Malang) dan Mgr HM Mekkelholt, SCJ (Vikaris Apostolik Palembang).

Pada tahun 1940. Jepang mulai melancarkan agresinya ke wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia sebagai wilayah jajahannya. Mgr Soegijapranata SJ dan Mgr Willekens SJ berjuang secara damai, tidak mengangkat senjata, demi kepentingan masyarakat Indonesia, bukan hanya Gereja Indonesia. Ketika semua imam, suster dan bruder dipenjarakan oleh tentara Jepang, Mgr Soegijapranata bebas dari paksaan tentara Jepang, karena memiliki darah dan kulit jawa. Dengan jalan damai dan diplomasi, beliau memimpin pemuda-pemudi dari segala latar belakang agama dan suku, untuk melawan tentara Jepang yang semena-mena. Salah satu kejadian yang tidak dilupakan adalah ketika beliau menghalangi Jepang yang berupaya menyita semua asset nasional peninggalan Belanda. Dengan mempertaruhkan hidupnya, beliau menentang pendudukan tentara Jepang atas asset-aset Gereja, yang juga merupakan asset-aset Negara.

Mgr Soegijapranata mengumandangkan semangat nasionalisme Indonesia, dengan cara yang khas, pada saat Indonesia baru saja memprokamirkan kemerdekaannya.

Pada saat Jepang menyerah kalah kepada Sekutu, setelah Hirosima dan Nagasaki dibom, para pemuda Indonesia akan menghabisi tentara Dai Nippon, namun Mgr Soegijapranata berhasil melunakkan para pemuda untuk mengesampingkan kebencian terhadap Jepang. Akhirnya beliau berhasil mempertemukan pemimpin militer Tentara Sekutu dengan komandan Jepang untuk
menghentikan perang yang akan memakan banyak korban.

Perjuangan Mgr Soegijapranata selanjutnya adalah melawan tentara sekutu, yang didominasi oleh tentara Belanda yang ingin kembali menguasai bangsa Indonesia yang kaya raya akan sumber daya alam.

Pada saat tentara Belanda melakukan agresi, banyak korban berjatuhan dan kota-kota kembali dikuasai oleh Belanda. Melihat suasana yang semakin genting, Mgr Soegijapranata menyampaikan pidato melalui Radio RRI Surakarta, pada tanggal 1 Agustus 1947, pada pukul 20:00 malam. Pidato yang dibawakan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Belanda berisi tiga hal, yaitu: desakan kepada kedua belah pihak untuk melakukan gencatan senjata demi kemanusiaan; pernyataan sikap umat Katolik Indonesia yang berjuang bersama seluruh rakyat Indonesia untuk mencapat kemerdekaan dan kesejahteraan, dan ajakan kepada umat Katolik Belanda untuk mendukung gerakan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Di samping itu, melalui keahliannya dalam menulis gagasan-gagasan, Soegija mengangkat martabat bangsa Indonesia yang baru saja diprokamirkan oleh Soekarno-Hatta.

Lewat Majalah Commonwealth, Mgr Soegijapranata memaparkan perlakukan Belanda yang tidak beradab terhadap rakyat Indonesia, dan ingin menguasai bumi nusantara. Akhirnya Belanda bersedia mengadakan Konferensi Meja Bundar di Denn Haag, hingga akhirnya kedaulatann Indonesia resmi diserahterimakan pada tanggal 27 Desember 1949. Tampak gamblang perjuangan Mgr Soegijapranata untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, sekaligus menghindari pertumpahan darah, baik di pihak Jepang, Belanda dan Indonesia. Sebagai seorang Uskup pribumi pertama di Indonesia, Mgr Soegijapranata SJ mewakili Gereja Katolik Indonesia untuk menghadiri sidang-sidang Konsili Vatikan II di Roma. Di tengah kesibukannya, beliau berkunjung ke Nederland untuk berobat, sekaligus bertemu dengan keluarga-keluarga misionaris yang bertugas di Indonesia.

Pada tanggal 22 Juli 1963, karena kelelahan secara fisik, pada usia 66 tahun, beliau meninggal dunia pada pukul 22:20 waktu setempat, di Steyl Venlo, Belanda. Atas jasa - jasanya bagi bangsa Indonesia, Presiden Soekarno  menganugerahi gelar Pahlawan Nasional, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.152/Tahun 1963, tertanggal 26 Juli 1963, tepat 4 hari setelah beliau meninggal.
Sebagai bentuk penghormatan pemerintah Indonesia, jenasah Mgr Soegijapranata dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giritunggal, Semarang, Jawa Tengah.

Sumber : http://sulut.kemenag.go.id

No comments:

Post a Comment