Soegija lahir dari keluarga kejawenyang sangat sederhana pada tanggal 25
November 1896 di Surakarta. Kedua orangtuanya
merupakan abdi dalem keraton Kasunanan Surakarta, sehingga Soegija dibesarkan di
lingkungan dekat keraton yang sangat menghargai toleransi.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di Surakarta, ia melanjutkan studi
di Kolese Xaverius di Muntilan, yang didirikan oleh seorang pastur Jesuit, Van
Lith SJ. Sebenarnya keputusan tersebut ditentang oleh orang tua Soegija, karena
mereka beranggapan segala hal yang terkait dengan penjajah merupakan hal yang
buruk. Memang bagi sebagian besar masyarakat Jawa, gereja, agama katolik dan budaya
yang terkait dengan penjajah merupakan hal-hal yang perlu dihindari. Akan tetapi
Soegija mempunyai hasrat yang kuat untuk tetap memperoleh pendidikan di Kolese
yang
dikelola para Yesuit.
Secara perlahan namun pasti, pandangannya tentang agama Katolik berubah,
bahkan Soegija memutuskan untuk dipermandikan oleh Pastor Meltens SJ, di
Muntilan, dengan mengambil nama
permandian Albertus Magnus. Setelah mendapatkan pendidikan yang bermutu di
Kolese Xaverius, Soegija berhasrat untuk menjadi seorang imam, sehingga ia dikirim ke
Belanda untuk belajar di Gymnasium, Uden, Noord - Brabant, yang diasuh oleh
biarawan Ordo Salib Suci (OSC: Ordo Sanctae Crucis).
Perjalanan dari Indonesia menuju Uden dengan Kapal melewati Tanjung Priok –
Muntok – Belawan - Sabang – Singapore – Colombo - Terusan Suez dan terus ke Amsterdam, yang
memakan waktu berminggu-minggu. Selanjutnya Soegija memutuskan untuk
bergabung dengan misionaris Serikat Jesus di Novisiat Mariendaal, Grave. Di
sanalah ia berjumpa dengan Pastor Willekens SJ, yang kemudian menjadi Vikaris
Apostolik Batavia. Berturut-turut, pada tanggal 22 September 1922 Soegija
mengikrarkan kaul prasetia, yang meliputi kaul kemurnian, ketaatan dan kemiskinan.
Periode 1923 hingga 1926, ia belajar filsafat di Kolese Berchman Oudenbosch.
Setelah sempat mengajar di Kolese Xaverius Muntilan pada tahun 1926 - 1928,
Soegija kembali ke Maastricht Belanda untuk belajar Teologi. Di kota
Maastricht, Soegija menerima sakramen imamat, ditahbiskan oleh Mgr. Schrijnen,
Uskup Roermond pada tanggal 15 Agustus
1931. Namanya ditambah dengan Pranata, sehingga menjadi Soegijapranata.
Pada tahun 1933, Soegijapranata kembali ke Indonesia dan bekerja di Paroki Kidullogi
Yogyakarta dan dipindahkan ke Paroki Bintaran hingga tahun 1940. Atas
penunjukan dari Mgr Montini, yang nantinya dikenal sebagai Paus Paulus VI,
Soegijapranata ditunjuk sebagai Vikaris Apostolik, yang bergelar Uskup. Pada
tanggal 6 November 1940, Soegijapranata ditahbiskan
sebagai Uskup pribumi Indonesia pertama untuk Vikaris Apostolik Semarang, oleh Mgr Willekens
SJ (Vikaris Apostolik Batavia), Mgr AJE Albers O.Carm (Vikaris Apostolik Malang)
dan Mgr HM Mekkelholt, SCJ (Vikaris Apostolik Palembang).
Pada tahun 1940. Jepang mulai melancarkan agresinya ke wilayah Asia
Tenggara, termasuk Indonesia sebagai wilayah jajahannya. Mgr Soegijapranata SJ
dan Mgr Willekens SJ berjuang secara damai, tidak mengangkat senjata, demi
kepentingan masyarakat Indonesia, bukan hanya Gereja Indonesia. Ketika semua
imam, suster dan bruder dipenjarakan oleh tentara Jepang, Mgr Soegijapranata
bebas dari paksaan tentara Jepang, karena memiliki darah dan kulit jawa. Dengan
jalan damai dan diplomasi, beliau memimpin pemuda-pemudi dari segala latar belakang
agama dan suku, untuk melawan tentara Jepang yang semena-mena. Salah satu kejadian
yang tidak dilupakan adalah ketika beliau menghalangi Jepang yang berupaya
menyita semua asset nasional peninggalan Belanda. Dengan mempertaruhkan hidupnya,
beliau menentang pendudukan tentara Jepang atas asset-aset Gereja, yang juga
merupakan asset-aset Negara.
Mgr Soegijapranata mengumandangkan semangat nasionalisme Indonesia, dengan
cara yang khas, pada saat Indonesia baru saja memprokamirkan kemerdekaannya.
Pada saat Jepang menyerah kalah kepada Sekutu, setelah Hirosima dan
Nagasaki dibom, para pemuda Indonesia akan menghabisi tentara Dai Nippon, namun
Mgr Soegijapranata berhasil melunakkan para pemuda untuk mengesampingkan
kebencian terhadap Jepang. Akhirnya beliau berhasil mempertemukan pemimpin
militer Tentara Sekutu dengan komandan Jepang untuk
menghentikan perang yang akan memakan banyak korban.
Perjuangan Mgr Soegijapranata selanjutnya adalah melawan tentara sekutu,
yang didominasi oleh tentara Belanda yang ingin kembali menguasai bangsa Indonesia yang
kaya raya akan sumber daya alam.
Pada saat tentara Belanda melakukan agresi, banyak korban berjatuhan dan kota-kota
kembali dikuasai oleh Belanda. Melihat suasana yang semakin genting, Mgr Soegijapranata
menyampaikan pidato melalui Radio RRI Surakarta, pada tanggal 1 Agustus 1947, pada
pukul 20:00 malam. Pidato yang dibawakan dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Belanda berisi tiga hal, yaitu: desakan kepada kedua belah pihak untuk
melakukan gencatan senjata demi kemanusiaan; pernyataan sikap umat Katolik
Indonesia yang berjuang bersama seluruh rakyat Indonesia untuk mencapat
kemerdekaan dan kesejahteraan, dan ajakan kepada umat Katolik Belanda untuk
mendukung gerakan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Di samping itu, melalui keahliannya
dalam menulis gagasan-gagasan, Soegija mengangkat martabat bangsa Indonesia yang
baru saja diprokamirkan oleh Soekarno-Hatta.
Lewat Majalah Commonwealth, Mgr Soegijapranata memaparkan perlakukan Belanda
yang tidak beradab terhadap rakyat Indonesia, dan ingin menguasai bumi
nusantara. Akhirnya Belanda bersedia mengadakan Konferensi Meja Bundar di Denn
Haag, hingga akhirnya kedaulatann Indonesia resmi diserahterimakan pada tanggal
27 Desember 1949. Tampak gamblang perjuangan Mgr Soegijapranata untuk mempertahankan
kemerdekaan Indonesia, sekaligus menghindari pertumpahan darah, baik di pihak
Jepang, Belanda dan Indonesia. Sebagai seorang Uskup pribumi pertama di
Indonesia, Mgr Soegijapranata SJ mewakili Gereja Katolik Indonesia untuk
menghadiri sidang-sidang Konsili Vatikan II di Roma. Di tengah kesibukannya,
beliau berkunjung ke Nederland untuk berobat, sekaligus bertemu dengan keluarga-keluarga
misionaris yang bertugas di Indonesia.
Pada tanggal 22 Juli 1963, karena kelelahan secara fisik, pada usia 66
tahun, beliau meninggal dunia pada pukul 22:20 waktu setempat, di Steyl Venlo,
Belanda. Atas jasa - jasanya bagi bangsa Indonesia, Presiden Soekarno menganugerahi gelar Pahlawan Nasional,
berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.152/Tahun 1963, tertanggal 26 Juli
1963, tepat 4 hari setelah beliau meninggal.
Sebagai bentuk penghormatan pemerintah Indonesia, jenasah Mgr
Soegijapranata dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giritunggal, Semarang, Jawa
Tengah.
Sumber : http://sulut.kemenag.go.id
No comments:
Post a Comment