Dr. KH. Idham
Chalid (lahir di Satui, Kalimantan Selatan,
27 Agustus 1921 – meninggal
di Jakarta, 11 Juli 2010
pada umur 88 tahun) adalah salah satu politisi Indonesia yang berpengaruh pada masanya. Ia
pernah menjabat sebagai Wakil
Perdana Menteri Indonesia pada Kabinet Ali
Sastroamidjojo II dan Kabinet Djuanda. Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua MPR
dan Ketua DPR.
Selain sebagai politikus ia aktif dalam kegiatan keagamaan dan ia pernah
menjabat Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama pada tahun 1956-1984.
Latar Belakang
Idham Chalid
lahir pada tanggal 27 Agustus 1921 di Satui, bagian
tenggara Kalimantan Selatan.
Ia merupakan anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H Muhammad Chalid,
penghulu asal Amuntai
yang sekitar 200 kilometer dari Kota Banjarmasin. Saat usia Idham enam tahun,
keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung
halaman leluhur ayahnya.
Riwayat
Sejak kecil
Idham dikenal sangat cerdas dan pemberani. Saat masuk SR ia langsung duduk di kelas dua dan bakat
pidatonya mulai terlihat dan terasah. Keahlian berorasi itu kelak menjadi modal
utama Idham Chalid dalam meniti karier di jagat politik.
Selepas SR,
Idham melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Ar-Rasyidiyyah pada tahun 1922.
Idham, yang sedang tumbuh dan gandrung dengan pengetahuan, mendapatkan banyak
kesempatan untuk mendalami bahasa Arab, bahasa Inggris, dan ilmu pengetahuan
umum. Kemudian Idham melanjutkan pendidikannya ke Pesantren
Gontor yang terletak di Ponorogo, Jawa Timur. Kesempatan belajar di Gontor juga
dimanfaatkan Idham untuk memperdalam bahasa Jepang, Jerman, dan Prancis.
Tamat dari
Gontor, 1943, Idham melanjutkan pendidikan di Jakarta. Di ibukota, kefasihan Idham dalam
berbahasa Jepang membuat penjajah Dai-Nipon sangat kagum. Pihak Jepang juga
sering memintanya menjadi penerjemah dalam beberapa pertemuan dengan alim
ulama. Dalam pertemuan-pertemuan itulah Idham mulai akrab dengan tokoh-tokoh
utama NU.
Ketika
Jepang kalah perang dan Sekutu masuk Indonesia, Idham Chalid bergabung ke dalam
badan-badan perjuangan. Menjelang kemerdekaan, ia aktif dalam Panitia Kemerdekaan
Indonesia Daerah di kota Amuntai. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia bergabung
dengan Persatuan Rakyat Indonesia, partai lokal, kemudian pindah ke Serikat
Muslim Indonesia.
Tahun 1947
ia bergabung dengan Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan, yang
dipimpin Hasan Basry yang juga muridnya saat di Gontor.
Usai perang kemerdekaan, Idham diangkat menjadi anggota Parlemen Sementara RI
mewakili Kalimantan. Tahun 1950 ia terpilih lagi menjadi anggota DPRS mewakili Masyumi. Ketika NU memisahkan diri dari Masyumi,
tahun 1952, Idham memilih bergabung dengan Partai Nahdlatul Ulama dan terlibat aktif dalam
konsolidasi internal ke daerah-daerah.
Idham
memulai kariernya di NU dengan aktif di GP Ansor.
Tahun 1952 ia diangkat sebagai ketua PB Ma’arif, organisasi sayap NU yang
bergerak di bidang pendidikan. Pada tahun yang sama ia juga diangkat menjadi
sekretaris jenderal partai, dan dua tahun kemudian menjadi wakil ketua. Selama
masa kampanye Pemilu
1955, Idham memegang peran penting sebagai ketua Lajnah Pemilihan
Umum NU.
Sepanjang
tahun 1952-1955, ia, yang juga duduk dalam Majelis Pertimbangan Politik PBNU,
sering mendampingi Rais Am K.H. Abdul Wahab Hasbullah
berkeliling ke seluruh cabang NU di Nusantara.
Dalam Pemilu
1955, NU berhasil meraih peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Karena
perolehan suara yang cukup besar dalam Pemilu 1955, pada pembentukan kabinet
tahun berikutnya, Kabinet Ali
Sastroamidjojo II, NU mendapat jatah lima menteri, termasuk satu
kursi wakil
perdana menteri, yang oleh PBNU diserahkan kepada Idham Chalid. Pada
Muktamar NU ke-21 di Medan bulan Desember tahun yang sama, Idham terpilih
menjadi ketua
umum PBNU. Saat dipercaya menjadi orang nomor satu NU ia masih
berusia 34 tahun. Jabatan tersebut dijabatya hingga tahun 1984 dan
menjadikannya orang terlama yang menjadi ketua umum PBNU selama 28 tahun.
Kabinet Ali
Sastroamijoyo hanya bertahan setahun, berganti dengan Kabinet Djuanda. Namun
Idham Chalid tetap bertahan di posisi wakil perdana menteri sampai Dekrit
Presiden tahun 1959. Idham kemudian ditarik menjadi anggota Dewan Pertimbangan
Agung, dan setahun kemudian menjadi wakil ketua MPRS.
Pertengahan
tahun 1966 Orde Lama tumbang dan tampillah Orde Baru. Namun posisi Idham di pemerintahan
tidak ikut tumbang. Dalam Kabinet Ampera I, Kabinet Ampera II dan Kabinet Pembangunan I
yang dibentuk Soeharto, ia dipercaya menjabat Menteri Kesejahteraan Rakyat. Kemudian, di akhir
tahun 1970 dia juga merangkap jabatan sebagai Menteri Sosial
untuk melanjutkan tugas dari mendiang A.M. Tambunan
yang telah meninggal dunia pada 12 Desember 1970
sampai dengan terpilihnya pengganti yang tetap sampai akhir masa bakti Kabinet Pembangunan I
pada tahun 1973.
Nahdlatul
Ulama di bawah kepemimpinan Idham kembali mengulang sukses dalam Pemilu 1971.
Namun setelah itu pemerintah melebur seluruh partai menjadi hanya tiga partai:
Golkar, PDI, dan PPP dan NU tergabung di dalam PPP.
Idham Chalid
menjabat presiden PPP, yang dijabatnya sampai tahun 1989. Ia juga terpilih
menjadi ketua
MPR/DPR RI
sampai tahun 1977. Jabatan terakhir yang diemban Idham Chalid adalah ketua Dewan Pertimbangan Agung sampai tahun 1983.
Pahlawan nasional
Idham Chalid
diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia, bersama dengan 6 tokoh lain,
berdasarkan Keppres Nomor 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November 2011. Ia
merupakan putera Banjar ketiga yang
diangkat sebagai Pahlawan Nasional setelah Pangeran
Antasari dan Hasan Basry.
Sumber : Wikipedia
No comments:
Post a Comment