H. Ilyas Ya'kub (juga dieja Ilyas Yacoub) (lahir di Asam Kumbang, Bayang, Pesisir Selatan, Hindia Belanda, 14 Juni 1903 – meninggal di Koto Barapak, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 2 Agustus 1958 pada umur 55 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia dari Sumatera Barat. Ia ditetapkan sebagai pahlawan melalui Surat Keputusan Presiden No. 074/TK/1999 bertanggal 13 Agustus 1999.
Pahlawan Nasional
Ilyas Ya’kub adalah seorang ulama dan syaikhul Islam dari Minangkabau,
lulusan Mesir, diangkat menjadi pahlawan kemerdekaan Republik Indonesia
dengan SK-Mensos RI Nomor: Pol-61/PK/1968, tanggal 16 Desember 1968 dan
dikukuhkan kembali dengan Keputusan Presiden RI (Kepres-RI) Nomor
074/TK/Tahun 1999 tanggal 13 Agustus 1999 serta dianugerahi tanda
kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana atas jasanya mempertahankan prinsip-perinsip kemerdekaan dari ancaman kolonialisme Belanda sekaligus menggerakkan kemerdekaan RI dengan risiko dibuang Belanda ke Digul (di Papua
– Indonesia sekarang) serta beberapa tempat di Malaysia, Singapura,
Brunei, Australia dll. Ia pernah memimpin mahasiswa Malaysia-Indonesia
di Mesir, juga pendiri Partai Politik PERMI (Persatuan Muslim Indonesia,
1932) berbasis pada lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia.
Beralasan pula dengan kemampuan dan jasanya sebagai ulama, tokoh
pendidikan dan politikus Islam di awal kemerdekaan (1948) ia dipercaya
pada negeri yang Islam dan semangat melayunya kuat sebagai Ketua DPR
Provinsi Sumatera Tengah merangkap penasihat Gubernur.
Seorang wartawan
Perjuangan Ilyas Ya’kub sebagai ulama dan tokoh pendidikan Islam
banyak mendirikan lembaga pendidikan Islam. Ia juga pernah bekerja
sebagai wartawan di samping berjuang mendirikan lembaga pers sejak masa pendidikan di perguruan tinggi di Timur Tengah.
Sebagai politikus Islam yang gemilang, ia berjasa mewadahi Islam dan
Kebangsaan[2] dengan parpol PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia) yang
berbasis pada pendidikan Islam yang ia dirikan bersama teman
seperjuangan.
Dengan profesinya sebagai wartawan dan penerbitan pers (pernah sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Medan Rakyat,
1 Februari 1931) serta politikus Islam pada masa pergerakan kemerdekaan
Indonesia itu, membuatnya tegas dan keras menentang prilaku
imperialisme dan kolonialisme Belanda. Sepak terjangnya memperlihatkan
karakteristik radikal positif justru mengangkat martabat dan integritas
dirinya sebagai tokoh Islam (ulama) dan nasionalis yang kuat menentang
penjajah, lalu di pihak Belanda menarik perhatian dan amat
diperhitungkan sebagai tokoh Islam dan Nasional itu sekaligus dinyatakan
sebagai musuh bebuyutan, lalu dengan segala cara Belanda akhirnya dapat
menangkapnya dan dibuang bersama isterinya Tinur ke Bouven Digul (dulu
Irian Jaya, sekarang Papua) selama 10 tahun (1934 – 1944), ke Kali Bian
Wantaka, ke Australia, ke Kupang, Timor, ke Singapura, ke Sarawak
(Malaysia), ke Brunei Darussalam, ke Labuhan dll, sampai kembali ke
tanah air bersama isteri dan 6 orang anaknya tahun 1946.
Apa yang melatari hidup Ilyas Ya’kub dan bagaimana perjuangannya lalu
bagaimana akhir kehidupannya sebagai seorang tokoh Islam dan Nasionalis
kuat di Indonesia, menarik untuk ditelusuri dalam kajian forum nadwah
ulama nusantara (Asean) ini.
Latar Belakang Keluarga
Putra ketiga dari empat bersaudara dari pasangan suami-isteri Haji
Ya’kub – Siti Hajir, Ilyas Ya’kub masa kecilnya belajar ilmu agama
dengan kakeknya Syeikh Abdurrahman. Masa itu Bayang (daerah
kelahirannya) masih merupakan sentra pendidikan Islam. Sebab sejak
dahulu Bayang termasuk basis pengembangan Islam di Pantai Barat Sumatera
berpusat di surau tua didirikan (awal 1666) oleh Syeikh Buyung Muda
Puluikpuluik, salah seorang dari 6 ulama pengembang Islam di Indonesia
seangkatan Syeikh Burhanuddin Ulakan Pariaman belajar dengan Syeikh
Abdul Rauf Singkel di Aceh. Sa’at berkobarnya Perang Pauh (mulai 28
April 1666) surau ini juga menjadi basis perjuangan melawan Belanda.
Bayang sejak lama menjadi basis konsentrasi perjuangan rakyat
Sumatera Barat melawan Belanda, tercatat perang Bayang berlangsung lebih
satu abad (mulai 7 Juni 1663, berakhir dengan Perjanjian Bayang 1771).
Sejak itu Bayang melahirkan banyak ulama besar dan pejuang kemerdekaan
dan Islam di pentas sejarah nasional, di antaranya Syeikh Muhammad
Fatawi, Syeikh Muhammad Jamil (tamatan Makkah 1876), Syeikh Muhammad
Shamad (wafat di Makkah tahun 1876), Syeikh Bayang (Syeikh Muhammad
Dalil bin Muhammad Fatawi (1864 – 1923) penulis buku taraghub il
rahmatillah yang oleh BJO Schrieke disebut sebagai kepustakaan pejuang
abad ke-20 yang penuh moral, juga Syeikh Abdurrahman (kakek Ilyas
Ya’cub), Syeikh Abdul Wahab (Inyiak Kacuang) dll.
Ayah Ilyas Ya’kub seorang pedagang kain dan hidup di lingkungan
ulama, cukup memberi peluang dana dan motivasi bagi Ilyas Ya’kub untuk
mengecap pendidikan lebih baik. Pertama ia mendapat pendidikan di
Gouvernements Inlandsche School. Tamat sekolah ia bekerja sebagai juru
tulis selama dua tahun (1917 – 1919) di perusahaan tambang batu bara
Ombilin Sawahlunto Sijunjung. Ia keluar dari perusahaan itu sebagai
protes terhadap pimpinan perusahaan asing yang imperialisme dan
kolonialisme yang kasar terhadap kaum buruh pribumi.
Sebagai konvensasi Ilyas Ya’kub memperdalam ilmu agama Ilyas Ya’kub
kemudian belajar dengan Syekh Haji Abdul Wahab (Raichul Amar dalam
Edwar, ed. 1981, baca juga skripsi Nirmawati, 1984). Gurunya (juga ayah
dari isterinya Tinur) ini melihat Ilyas Ya’kub berbakat, lalu dibawa ke
Mekah. Ketika berada di tanah suci itu, selesai menunaikan ibadah haji,
Ilyas berminat untuk menetap di sana guna memperdalam ilmu agamanya.
Tahun 1923 ia punya kesempatan ke Mesir. Di sana ia memasuki sebuah
universitas mulanya sebagai thalib mustami’ (mahasiswa pendengar).
Perjuangan
Sa’at di Mesir ini Haji Ilyas Ya’kub aktif dalam berbagai organisasi
dan partai politik di antaranya Hizb al-Wathan (partai tanah air)
didirikan oleh Mustafa Kamal semakin membangkitkan semangat anti
penjajah. Ia pernah pula menjabat sebagai ketua Perkumpulan Mahasiswa
Indonesia dan Malaysia (PMIM) di Mesir. Selain itu ia juga fungsionaris
wakil ketua organisasi sosial politik Jam’iyat al-Khairiyah dan ketua
organisasi politik Difa` al-Wathan (Ketahanan Tanah Air).
Selain gerakan politik yang amat peduli dengan nasib bangsanya
terjajah Belanda, Haji Ilyas Ya’kub di Mesir juga aktif menulis artikel
dan dipublikasi pada berbagai Surat Kabar Harian di Kairo. Bersama
temannya Muchtar Luthfi ia mendirikan dan memimpin Majalah Seruan
Al-Azhar dan majalah Pilihan Timur. Majalah Seruan Al-Azhar adalah
majalah bulanan mahasiswa sedangkan majalah Pilihan Timur adalah majalah
politik. Kedua produk jusnalistik ini banyak dibaca mahasiswa Indonesia
– Malaysia di Mesir ketika itu.
Gerakan Haji Ilyas Ya’kub dalam jurnalistik dan politik anti penjajah
di Mesir, tercium oleh Belanda ketika itu. Melalui perwakilannya di
Mesir, Belanda mencoba melunakkan sikap radikal Ilyas Ya’kub, tetapi
gagal. Sejak itu Belanda semakin mengaris merah Ilyas Ya’kub tidak saja
sebagai radikalis bahkan dicap sebagai ekstrimis dan musuhnya di
Indonesia.
Ketika masih dalam ancaman Belanda, tahun 1929 Haji Ilyas Ya’kub
kembali dari Mesir, memaksanya transit di Singapura kemudian nyasar
berlabuh di Jambi. Di tanah air, ia menemui teman-temannya di Jawa yang
bergerak dalam PNI dan PSI. Dari pengalaman dua partai temannya tadi
(PNI dan Partai Serikat Islam) Ilyas Ya’kub berpikir, bahwa jiwa yang
dimiliki kedua partai tersebut, yakni Islam dan kebangsaan adalah
penting dikombinasikan, dikonversi dan dikonsolidasikan kemudian
diwadahi dengan satu wadah yang refresentartif. Ternyata kemudian Haji
Ilyas Ya’kub sekembali dari kunjungan ini tahun 1930 men-set up idenya:
Islam dan kebangsaan dalam dua kegiatannya yakni bidang jurnalistik dan
politik. Dalam bidang jurnalistik diwadahi dengan penerbitan pers yakni
Tabloid Medan Rakyat. Dalam bidang politik ia bersama temannya Mukhtar
Luthfi mendirikan wadah baru bernama PERMI (Persatuan Muslimin
Indonesia) dengan asas Islam dan kebangsaan. Tujuannya menegakan Islam
dan memperkuat wawasan kebangsaan untuk mewujudkan kemerdekaan
Indonesia. Dengan dasar Islam dan kebangsaan ini, PERMI menjalankan
sikap politik non kooperasi dan tak kenal kompromi dengan bangsa apapun
yang kental punya prilaku imperialisme dan kolonialisme. Karena itu pula
PERMI secara prinsipil mencap bahwa kapitalisme dan imperalisme
merupakan penyebab penderitaan rakyat Indonesia.
PERMI pada awal mula bernama PMI (Partai Muslimin Indonesia)
didirikan Haji Ilyas Ya’kub tahun 1930. PMI ini berbasis pada lembaga
pendidikan Islam Sumatera Thawalib dan Diniyah School. Ide dasarnya,
pemberdayaan sekolah agama dengan berbagai inovasi ke arah sistem
modern, dimulai perbaikan kurikulum, sistem penjenjangan program dan
lama masa pendidikan, memberi perlindungan kepada pelajar serta
mengorganisasikan sekolah agama sebagai basis perjuangan kemerdekaan dan
sentra pencerdasan bangsa dengan pengatahuan Islam dan kebangsaan.
Beralasan kemudian PMI berambisi menambah jumlah sekolah agama dengan
mendirikan sekolah baru dengan sistem modern, mulai dari tingkat
pendidikan dasar (ibtidaiyah) sampai pendidikan tinggi (Al-Kulliyat). Di
antara pendidikan tinggi, di Alang Laweh, 12 Februari 1931 didirikan
perguruan tinggi dalam bentuk college Islam untuk diploma A dan diploma
B, bernama Al-Kulliyat Al-Islamiyah, diselenggarakan intelektual jebolan
Timur Tengah di antaranya Janan Thaib (sebagai pimpinan), Syamsuddin
Rasyid (onder director) dan Ilyas Ya’kub. Mahasiswa awal diterima
lulusan Sumatra Thawalib, Diniyah School, Tarbiyah Islamiyah, AMS
(Algemeene Middelbare School), Schakel School dan lulusan sekolah
tingkat menengah lainnya.
Tahun 1932 PMI mengadakan konsolidasi. Partai ini menyadari
perjuangan Islam dan Kebangsaan perlu dikukuhkan baik internal maupun
eksternal. Tantangan Masyarakat Islam Indonesia sebagai bagian dari
Muslim Asean yang ketika itu (sejak abad ke-16) disebut dengan istilah
jawi, juga berpeluang berpikir pengembangan Islam tidak terlepas dari
politik kekuasaan meskipun di wilayah konsentrasi Islam seperti di
Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam, apalgi di wilayah minoritas
Islam. Mari belajar konflik minoritas muslin Moro (sejak abad ke-19)
dengan pemerintahan Filipina berbeda sedikit dengan Burma (Myanmar)
perkembangan muslin relative stabil sejak tahun 1930-han atau Singapura
tahun 1932 sudah mendirikan Jam’iyat (Pesekutuan) Seruan Islam, apakah
ini pengaruh Singapura pernah (tahun 1840) menjadi sentra pengembangan
Tarekat Naqsyabandi yang dikembangkan Syeikh Ismail Simabur
(Minangkabau) di kawasan Nusantara (Asean) menarik untuk diteliti
dianalisis sintesis dengan fenomena terakhir (sejak tahun 1957)
Muhammaddiyah telah pula berkembang di Singapura bersamaan dengan
gerakan dakwah didukung ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) di
Malaysia. Masih kurun itu (1932) kasus di belahan Nusantara (Asean)
juga, Thailand yang tidak pernah dijajah misalnya, agama Negara yang
diakui kekakuasaan raja secara resmi adalah Budha Trevada, namun kepada
masyarakat Islam yang dominant al-syafi’iyah diberikan kemerdekaan
menghurus al-ahwal al-syakhshiyyah (hukum keluarga) termasuk munakahat
(perkawinan) terutama dalam bentuk NTCR (Nikah Talak-Cerai dan Rujuk)
dilakukan kadhi yang mendapat legalisasi pemerintahan raja (lihat juga
Taufik Abdullah, d., 2003:305-339). Angin segar dan peluang masyarakat
muslim di Nusanatara yakni Negara Asean yang satu ini tidak terlepas
dari jaringan pembaharuan Ahmad Wahab (dari Minangkabau) di Bangkok
tahun 192-han dan kawan-kawan seperti juga Syeikh Thaher Jalaluddin
Al-Falaki (dari Minangkabau) di Malaysia (Yulizal Yunus, 1982).
Konsolidasi PMI merupakan bagian kesadaran bagi penguatan lembaga
ke-Islam menunjang visi Islam dan kebangsaan Indonesia. Konsolidasi
dilakukan dalam bentuk Kongres Besar bertempat di dekat daerah kelahiran
Ilyas Ya’kub yakni Koto Marapak (Bayang Pesisir Selatan) dihadiri oleh
seluruh pengurus cabang se Sumatera seperti dari Tapanuli Selatan,
Bengkulu, Palembang, Lampung dll. Di antara keputusan Kongres Besar, PMI
diubah namanya menjadi PERMI yang dicap Belanda sebagai partai Islam
radikal revolusioner. Kantornya di gedung perguruan Islamic College,
Alang Lawas, Padang.
Kalau tadi Ilyas Ya’kub tidak mengenal kompromi dengan komponen yang
punya watak imperialisme dan kolonialisme, dalam PERMI ia bisa kompromi
dengan Pertindonya Soekarno. Bentuk komprominya dalam bentuk koalisi
memperkuat perjuangan kebangsaan, yakni di mana telah ada berdiri cabang
Pertindo maka di sana tidak lagi perlu ada cabang PERMI dan sebaliknya.
Karena dianggap membahayakan pemerintahan, maka berdasarkan vergarder
verbod Belanda mengeluarkan kebijakan exorbita terechten yang menyatakan
PERMI terlarang dan diikuti tindakan penangkapan terhadap
tokoh-tokohnya. Haji Ilyas Ya’kub bersama dua temannya Mukhtar Luthfi
dan Janan Thaib ditangkap dan dipenjarakan. Setelah 9 bulan di penjara
Muaro Padang, ia diasingkan selama 10 tahun (1934-1944) ke Bouven Digul
Irian Jaya bersama para pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia
lainnya. Selama di Digul Haji Ilyas Ya’kub didampingi isteri Tinur
sering sakit-sakitan. Masa awal penjajahan Jepang di Indonesia pun, para
tahanan Digul semakin memprihatinkan, mereka dipindahkan lagi ke daerah
pedalaman Irian Jaya di Kali Bina Wantaka kemudian diasingkan pula ke
Australia[3]. Ia senantiasa dibujuk van der Plas dan van Mook (Belanda),
namun semangat nasionalis dan Islamnya tidak pernah pudar memotivasi
pembangkangannya dalam menentang penjajah dan menggerakkan terwujudnya
kemerdekaan Indonesia.
Oktober 1945 pemulangan para tahanan perang dari Australia ke
Indonesia dengan kapal Experence Bey Oktober, Haji Ilyas Ya’kub tidak
diizinkan turun di pelabuhan Tanjung Periuk, bahkan ia kembali ditahan
dan diasingkan bersama isteri selama 9 bulan berpindah-pindah di Kupang,
Serawak, Brunei Darussalam, kemudian ke Labuhan, Singapura (anaknya
iqbal meninggal di sana). Satu tahun Indonesia merdeka (1946) barulah
habis masa tahanan dan Haji Ilyas Ya’kub, ia kembali bergabung dengan
kaum republik sekembali dari Cerebon. Ia ikut bergrillya pada clas II
(1948) dan ikut membentuk PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia)
yang kemudian dipimpin oleh Mr. Safruddin Prawiranegara. Ia mendapat
tugas menghimpun kekuatan politik (seluruh partai) di Sumatera untuk
melawan agresor Belanda. Tahun itu ia menjabat ketua DPR Sumatera Tengah
kemudian terpilih lagi sebagai anggota DPRD wakil Masyumi dan merangkap
sebagai penasihat Gubernur Sumatera Tengah bidang politik dan agama.
Wafat
Sebenarnya banyak perjuangan Ilyas Ya’kub yang tidak tercatat secara
syumul, mulai sejak masa awal ia bekerja di Perusahaan Asing (Belanda)
yakni Tambang Batubara di Sawah Lunto, masa pendidikan di Mesir pasca
Mekah (8 tahun), masa bergerak di PERMI diperkuat tabloid Medan Rakyat
serta hubungannya dengan tokoh politik, masa konsolidasi ideologi
gerakan Islam dan Kebangsaan mewujudkan kemerdekaan Indonesia yang
berisiko tinggi pada dirinya masuk penjara keluar penjara penjajah dari
satu daerah pengasingan ke daerah pengasingan lainnya di dalam/ luar
negeri (13 tahun), sampai ia mengabdi kepada Republik bekerja di badan
legislatif. Namun ia telah memenuhi ajakan ‘isy karima wa mut syahida
(hidup sebagai orang mulia dan wafat meninggalkan jasa) adalah jasa
kepada Islam dan kebangsaan, turut memperjuangkan kemerdekaan Republik
Indonesia.
Di akhir hayat yang husn al-khatimah itu Ilyas Ya’kub menghembuskan
napas terakhir Sabtu, 2 Agustus 1958 jam 18.00 wib, ia meninggalkan 11
orang anak, antara lain putranya Anis Sayadi, Fauzi (satu di antaranya
yang menulis riwayat hidup singkat tokoh ini) dll. Kesaksian kebesaran
perjuangannya dikukuhkan sebagai pahlawan perintis kemerdekaan RI dengan
SK Mensos No. Pol-61/PK/1968, 16 Desember 1968, mendapat piagam
penghargaan sebagai pejuang kemerdekaan Republik Indonesia sejak 17
Agustus 1975. Kepahlawanannya dikukuhkan kembali dengan Keputusan
Presiden RI (Kepres-RI) Nomor 074/TK/Tahun 1999 tanggal 13 Agustus 1999
serta dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana atas
jasanya mempertahankan prinsip-perinsip kemerdekaan dari ancaman
kolonialisme Belanda sekaligus menggerakkan kemerdekaan RI di samping
memperjuang Partai dan Pendidikan Islam. Kebesarannya dihargai Negara
dan oleh Pemerintahan Kabupaten setiap bulan diberikan bantuan
kesejahteraan sejumlah uang tunai kepada keluarga pahlawan nasional ini
ditetapkan dengan SK-Bupati Nomor 400-134/BPT-PS/2005 tanggal 2 Januari
2005.
Kepahlawanan Ilyas Ya’kub juga diabadikan dengan pemberian namanya
kepada gedung olahraga dan jalan serta dibangun sebuah patung di
perapatan jalan di gerbang kota Painan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat
(Indonesia). Makamnya di depan mesjid raya Al-Munawarah Koto Barapak,
Bayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat juga menjadi saksi bisu
kebesarannya dalam Islam dan Kebangsaan.
Sumber : Wikipedia
No comments:
Post a Comment