Moehammad
Jasin, lahir di Bau-Bau, Buton, Sulawesi Tenggara tanggal 9 Juni 1920. Dia
adalah tokoh Proklamasi Polisi Indonesia.
Moehammad
Jasin, memulai pendidikannya di Pendidikan Umum di Volkschool, Bau-bau.
Kemudian melanjutkan ke Hollands Inlandsche School (HIS) dan Schakel School di
Makassar.
Terakhir,
menempuh pendidikan di Meer Uitgerbreid lager Onderwijs (MULO). Setelah tamat
dari MULO tahun 1941, Moehammad Jasin mengikuti pendidikan kepolisian di
Sekolah Polisi di Sukabumi, Jawa Barat.
Moehammad
Jasin menyelesaikan pendidikan ini dengan pangkat Hoofd Agent. Tugas pertamanya
di kantor polisi seksi 111 di Bubutan, Surabaya.
Pada
masa awal pendudukan Jepang, Moehammad Jasin kembali ke Sukabumi untuk
mengikuti pendidikan polisi ala Jepang, yang lebih bercirikan pendidikan
militer. Sesudah itu, Moehammad Jasin ditempatkan di Gresik dan bertugas
sebagai instruktur di sekolah polisi di Surabaya.
Sekolah
Polisi di Surabaya adalah tempat mendidik calon-calon anggota Tokobetsu
Keisatsu Tai (Polisi Istimewa). Di sekolah ini, bukan hanya ilmu kepolisian
yang diajarkan, tetapi juga kemiliteran. Di samping itu, Moehammad Jasin juga
memberikan pelatihan terhadap anggota Seinenda.
Setelah
Indonesia Merdeka, Jasin melibatkan dirinya secara aktif dalam perjuangan
mempertahankan kemerdekaan. Tindakan pertamanya yang cukup monumental ialah
memproklamasikan Polisi Istimewa menjadi Polisi Indonesia .
Selama
bulan-bulan pertama sesudah proklamasi kemerdekaan, Surabaya menjadi kota
“Terpanas” di Indonesia. Terutama karena adanya perebutan senjata dari pasukan
Jepang, maupun pertempuran melawan pasukan sekutu.
Dalam
perebutan senjata, ada dua peran Moehammad Jasin, yang kemudian menjadi catatan
sejarah.
Pertama,
dalam perebutan senjata di Don Bosco, dimana Jepang menjadikan gedung Don Bosco
sebagai gudang senjata (arsenal) terbesar di Surabaya. Saat itu, tokoh-tokoh
pejuang Surabaya termasuk Bung Tomo, meminta agar senjata di Arsenal tersebut
diserahkan. Tapi tidak berhasil. Pihak Jepang bersedia menyerahkan senjata
hanya kepada kepada polisi.
Kedua,
di markas Kempeitei. Saat itu para pejuang Surabaya terlibat dalam baku tembak
dengan pasukan Jepang. Dalam suasana seperti itu, dengan menerobos kawat
berduri, Moehammad Jasin memasuki markas dan menemui komandan Kempeitei untuk
mengadakan perundingan.
Sebagai
hasil dari perundingan itu, pihak Kempeitei bersedia menyerahkan senjata.
Moehammad Jasin pun berjanji akan menjamin keselamatan anggota Kempeitei selama
mereka berada di Surabaya.
Beberapa
hari setelah pertempuran Surabaya meletus, Moehammad Jasin mengumumkan lewat
radio bahwa pasukan Polisi Istimewa yang dipimpinnya sudah dimiliterisasi dan
karena itu diharuskan ikut dalam pertempuan.
Dengan
demikian, polisi tidak hanya berfungsi sebagai alat keamanan, tetapi juga
sekaligus sebagai alat pertahanan. Selama pertempuran Surabaya berlangsung,
Moehammad Jasin memimpin pasukannya dalam pertempuran di beberapa tempat.
Ia
meninggalkan Surabaya dan memindahkan markasnya ke Sidoarjo menjelang akhir
November 1945, setelah hampir seluruh kota ini dikuasai Inggris. Pada waktu
Belanda melancarkan agresi militer kedua, Moehammad Jasin bergerilya di sekitar
Gunung Wilis. Ia juga bertugas sebagai Komandan Militer Sektor Timur Madiun.
***
Nama
Moehammad Jasin tidak dapat dilepaskan dari keterkaitannya dengan Mobiele
Brigade (Mobbrig), yang kemudian berganti nama dengan Brigade Mobil (Brimob).
Pasukan
khusus yang dapat berfungsi sebagai pasukan tempur ini dibentuk pada bulan
November 1946, dalam konferensi Djawatan Kepolisian Negara di Purwokerto.
Moehammad
Jasin yang hadir dalam konferensi itu, diangkat menjadi Komandan Mobiele
Brigade Besar (MMB) Jawa Timur, sekaligus koordinator Mobrig di semua
keresidenan di Jawa Timur.
Sebagai
komandan MBB Jawa Timur, pada bulan September 1948, Moehammad Jasin memimpin 4
Kompi Mobrig untuk bersama dengan pasukan Tentara Nasional Indonesia menumpas
pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun.
Setelah
Madiun dikuasai kembali oleh pasukan pemerintah, Jasin dan pasukannya
melancarkan operasi pembersihan terhadap sisa-sisa PKI di Blitar Selatan. Dalam
periode tahun 1950-an, Moehammad Jasin juga terlibat dalam menumpas berbagai
pemberontakan dalam negeri, antara lain pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil
(APRA).
Pada
waktu di Sumatera terjadi pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI), pemerintah Amerika Serikat bermaksud menempatkan pasukan
marinir di Riau dengan alasan menjaga instalasi minyak milik perusahaan Amerika
dan keamanan warga negara Amerika.
Moehammad
Jasin beranggapan bahwa penempatan pasukan itu sebagai bantuan terselubung
Amerika untuk PRRI. Dengan persetujuan Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo, Moehammad
Jasin menemui Duta Besar Amerika Serikat, Howard P Jones.
Kepada
Duta besar tersebut dikatakan bahwa tugas pengamanan dapat dilakukan oleh
pasukan Mobrig, sehingga Amerika Serikat tidak perlu mengirimkan pasukan
marinir. Jaminan yang diberikan oleh Moehammad Jasin dapat diterima oleh Jones
dan Moehammad Jasin pun menempatkan pasukan Mobrig di Riau seperti yang
dijanjikannya.
Pada
akhir 1959, Moehammad Jasin diasingkan keluar negeri, yakni ke Jerman. Latar
belakangnya adalah dia menentang pengangkatan Soekarno Joyonegoro sebagai
Menteri atau Panglima Angkatan Kepolisian.
Alasannya,
Soekarno Joyonegoro “disenangi” oleh PKI. Sebagai protes Moehammad Jasin
menolak untuk diangkat menjadi Wakil Menteri Angkatan Kepolisian mendampingi
Soekarno Joyonegoro.
Pada
akhir Desember 1964, Presiden Soekarno meminta Moehammad Jasin untuk menemuinya
di Paris. Dalam pertemuan itu, Presiden mengatakan bahwa Moehammad Jasin akan
diangkat menjadi menteri/Panglima Angkatan Kepolisian.
Pada
awal Januari 1965, Moehammad Jasin kembali ke Indonesia. Setelah bertugas
beberapa waktu sebagai Sekretaris Komando Operasi Tertinggi (KOTI), Moehammad
Jasin dipanggil ke istana untuk dilantik sebagai Menteri/Panglima Angkatan
Kepolisian.
Namun,
atas desakan Wakil Perdana Menteri (Waperdam) dr. Subandrio, pengangkatan itu
dibatalkan.
Selain
berkiprah di lingkungan kepolisian, Moehammad Jasin juga pernah diangkat
sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA), anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS) dan kemudian MPR.
Di
luar lembaga kenegaraan, Moehammad Jasin tercatat sebagai anggota Pimpinan
Markas Besar Legiun Veteran RI dan Ketua Yayasan 10 November, serta beberapa
organisasi lain. Dari tahun 1967 sampai 1970, Moehammad Jasin bertugas sebagai
Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh RI untuk negara Tanzania.
Sumber : http://tribratanewsntb.com
No comments:
Post a Comment