Thursday, 19 May 2016

Moehammad Jasin - Bapak Brimob Kepolisian RI

Moehammad Jasin, lahir di Bau-Bau, Buton, Sulawesi Tenggara tanggal 9 Juni 1920. Dia adalah tokoh Proklamasi Polisi Indonesia.

Moehammad Jasin, memulai pendidikannya di Pendidikan Umum di Volkschool, Bau-bau. Kemudian melanjutkan ke Hollands Inlandsche School (HIS) dan Schakel School di Makassar.

Terakhir, menempuh pendidikan di Meer Uitgerbreid lager Onderwijs (MULO). Setelah tamat dari MULO tahun 1941, Moehammad Jasin mengikuti pendidikan kepolisian di Sekolah Polisi di Sukabumi, Jawa Barat.
Moehammad Jasin menyelesaikan pendidikan ini dengan pangkat Hoofd Agent. Tugas pertamanya di kantor polisi seksi 111 di Bubutan, Surabaya.

Pada masa awal pendudukan Jepang, Moehammad Jasin kembali ke Sukabumi untuk mengikuti pendidikan polisi ala Jepang, yang lebih bercirikan pendidikan militer. Sesudah itu, Moehammad Jasin ditempatkan di Gresik dan bertugas sebagai instruktur di sekolah polisi di Surabaya.

Sekolah Polisi di Surabaya adalah tempat mendidik calon-calon anggota Tokobetsu Keisatsu Tai (Polisi Istimewa). Di sekolah ini, bukan hanya ilmu kepolisian yang diajarkan, tetapi juga kemiliteran. Di samping itu, Moehammad Jasin juga memberikan pelatihan terhadap anggota Seinenda.

Setelah Indonesia Merdeka, Jasin melibatkan dirinya secara aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Tindakan pertamanya yang cukup monumental ialah memproklamasikan Polisi Istimewa menjadi Polisi Indonesia .

Selama bulan-bulan pertama sesudah proklamasi kemerdekaan, Surabaya menjadi kota “Terpanas” di Indonesia. Terutama karena adanya perebutan senjata dari pasukan Jepang, maupun pertempuran melawan pasukan sekutu.

Dalam perebutan senjata, ada dua peran Moehammad Jasin, yang kemudian menjadi catatan sejarah.

Pertama, dalam perebutan senjata di Don Bosco, dimana Jepang menjadikan gedung Don Bosco sebagai gudang senjata (arsenal) terbesar di Surabaya. Saat itu, tokoh-tokoh pejuang Surabaya termasuk Bung Tomo, meminta agar senjata di Arsenal tersebut diserahkan. Tapi tidak berhasil. Pihak Jepang bersedia menyerahkan senjata hanya kepada kepada polisi.

Kedua, di markas Kempeitei. Saat itu para pejuang Surabaya terlibat dalam baku tembak dengan pasukan Jepang. Dalam suasana seperti itu, dengan menerobos kawat berduri, Moehammad Jasin memasuki markas dan menemui komandan Kempeitei untuk mengadakan perundingan.

Sebagai hasil dari perundingan itu, pihak Kempeitei bersedia menyerahkan senjata. Moehammad Jasin pun berjanji akan menjamin keselamatan anggota Kempeitei selama mereka berada di Surabaya.
Beberapa hari setelah pertempuran Surabaya meletus, Moehammad Jasin mengumumkan lewat radio bahwa pasukan Polisi Istimewa yang dipimpinnya sudah dimiliterisasi dan karena itu diharuskan ikut dalam pertempuan.

Dengan demikian, polisi tidak hanya berfungsi sebagai alat keamanan, tetapi juga sekaligus sebagai alat pertahanan. Selama pertempuran Surabaya berlangsung, Moehammad Jasin memimpin pasukannya dalam pertempuran di beberapa tempat.

Ia meninggalkan Surabaya dan memindahkan markasnya ke Sidoarjo menjelang akhir November 1945, setelah hampir seluruh kota ini dikuasai Inggris. Pada waktu Belanda melancarkan agresi militer kedua, Moehammad Jasin bergerilya di sekitar Gunung Wilis. Ia juga bertugas sebagai Komandan Militer Sektor Timur Madiun.

***

Nama Moehammad Jasin tidak dapat dilepaskan dari keterkaitannya dengan Mobiele Brigade (Mobbrig), yang kemudian berganti nama dengan Brigade Mobil (Brimob).

Pasukan khusus yang dapat berfungsi sebagai pasukan tempur ini dibentuk pada bulan November 1946, dalam konferensi Djawatan Kepolisian Negara di Purwokerto.

Moehammad Jasin yang hadir dalam konferensi itu, diangkat menjadi Komandan Mobiele Brigade Besar (MMB) Jawa Timur, sekaligus koordinator Mobrig di semua keresidenan di Jawa Timur.

Sebagai komandan MBB Jawa Timur, pada bulan September 1948, Moehammad Jasin memimpin 4 Kompi Mobrig untuk bersama dengan pasukan Tentara Nasional Indonesia menumpas pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun.

Setelah Madiun dikuasai kembali oleh pasukan pemerintah, Jasin dan pasukannya melancarkan operasi pembersihan terhadap sisa-sisa PKI di Blitar Selatan. Dalam periode tahun 1950-an, Moehammad Jasin juga terlibat dalam menumpas berbagai pemberontakan dalam negeri, antara lain pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).

Pada waktu di Sumatera terjadi pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), pemerintah Amerika Serikat bermaksud menempatkan pasukan marinir di Riau dengan alasan menjaga instalasi minyak milik perusahaan Amerika dan keamanan warga negara Amerika.
Moehammad Jasin beranggapan bahwa penempatan pasukan itu sebagai bantuan terselubung Amerika untuk PRRI. Dengan persetujuan Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo, Moehammad Jasin menemui Duta Besar Amerika Serikat, Howard P Jones.

Kepada Duta besar tersebut dikatakan bahwa tugas pengamanan dapat dilakukan oleh pasukan Mobrig, sehingga Amerika Serikat tidak perlu mengirimkan pasukan marinir. Jaminan yang diberikan oleh Moehammad Jasin dapat diterima oleh Jones dan Moehammad Jasin pun menempatkan pasukan Mobrig di Riau seperti yang dijanjikannya.

Pada akhir 1959, Moehammad Jasin diasingkan keluar negeri, yakni ke Jerman. Latar belakangnya adalah dia menentang pengangkatan Soekarno Joyonegoro sebagai Menteri atau Panglima Angkatan Kepolisian.
Alasannya, Soekarno Joyonegoro “disenangi” oleh PKI. Sebagai protes Moehammad Jasin menolak untuk diangkat menjadi Wakil Menteri Angkatan Kepolisian mendampingi Soekarno Joyonegoro.

Pada akhir Desember 1964, Presiden Soekarno meminta Moehammad Jasin untuk menemuinya di Paris. Dalam pertemuan itu, Presiden mengatakan bahwa Moehammad Jasin akan diangkat menjadi menteri/Panglima Angkatan Kepolisian.

Pada awal Januari 1965, Moehammad Jasin kembali ke Indonesia. Setelah bertugas beberapa waktu sebagai Sekretaris Komando Operasi Tertinggi (KOTI), Moehammad Jasin dipanggil ke istana untuk dilantik sebagai Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian.

Namun, atas desakan Wakil Perdana Menteri (Waperdam) dr. Subandrio, pengangkatan itu dibatalkan.
Selain berkiprah di lingkungan kepolisian, Moehammad Jasin juga pernah diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA), anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan kemudian MPR.

Di luar lembaga kenegaraan, Moehammad Jasin tercatat sebagai anggota Pimpinan Markas Besar Legiun Veteran RI dan Ketua Yayasan 10 November, serta beberapa organisasi lain. Dari tahun 1967 sampai 1970, Moehammad Jasin bertugas sebagai Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh RI untuk negara Tanzania.

Sumber : http://tribratanewsntb.com

No comments:

Post a Comment