Muhammad Yamin lahir di Talawi, Sawahlunto,
Sumatera
Barat, 24
Agustus 1903 – meninggal
di Jakarta, 17 Oktober
1962 pada umur 59
tahun, adalah
terpelajar hukum dan pujangga yang lihai meracik sajak. Sebagai seorang Meester
in de Rechten pada tahun 1932 di Rechtshoogeschool te Batavia, ia juga menulis
banyak puisi, skrip drama, novel, dst yang menyuarakan kebesaran peradaban
bangsa ini. Ia telah membuat, hukum tak hanya sederetan pasal, melainkan sajak
yang berdialog dengan rasa keadilan. Ia juga membuat bernegara bukanlah
birokrasi yang kering.
Meski kiprahnya seringkali diliputi oleh kontroversi. Kehadirannya dalam
sejarah dihujat sebab penyulapan naskah pidato di Dokuritsu Zyunbi Tyoosokai
atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan (BPUK). Bait-bait Pancasila yang
dituduh telah direkayasa membekaskan cibiran. Meski kiprahnya pada bangsa
ini—lepas dari kesalahannya—begitu besar kontribusinya.
Baginya, sebuah sumpah adalah kesucian dari jiwa. Dalam sebuah goresan
penanya, ‘Sumpah Indonesia Raja,’ ia berdalih. Bahwa tiga kali bersumpah telah
berkumandang. Sumpah dilantunkan pada tahun 683, 1331 dan 1928. Sebuah
sumpah yang berakar pada sejarah dan peradaban puncak. Sriwijaya, Majapahit dan
Indonesia.
Ia yakin suatu saat, pasti Indonesia akan sampai pada titik puncak
keemasan. Seperti peradaban-peradaban sebelumnya nusantara. Imajinasi itu
dibangun. Dibubuhkan dalam sajak, tulisan, dan teks-teks lain dengan apik.
Memang sejak muda, Yamin sudah gemar menulis. Sebuah keunggulan tokoh nasional
zaman dulu, mereka menggoreskan penanya, disamping mengelola birokrasi dan
aktivismenya.
Maka tak heran, karya-karya bercita-rasa seni tingkat tinggi ditorehkannya.
Karya-karya dipahatnya seperti : ‘Kalau Dewa Tara Sudah Berkata’ (1932), ‘Ken
Arok dan Ken Dedes’ (1934), ‘Gadjah Mada’ (1948), ‘Sapta Dharma’ (1948), dst.
Dari sekian banyak buku-bukunya, termasuk buku serius membahas tentang teori
hukum, umpamanya ‘Proklamasi dan Konstitusi Indonesia’ dan ‘Konstituante
Indonesia dalam Gelanggang Demokrasi’, tak jarang diwarnai ornamen kata-kata
sastra di sudut-sudut kalimatnya. Dengan demikian, ia sebenarnya layak
disebut sebagai pujangga hukum.
Sebagai seorang pujangga hukum, produktivitasnya tak semulus yang
dibayangkan. Tak selamanya, ia bebas menulis. Lantaran mahlumat yang
dituliskannya, ia harus mendekam di penjara selama dua tahun. Maklumat itu
dipandang oleh pemerintah Soekarno sebagai sebentuk makar pada rejim status
quo. Negeri tempatnya mengabdi, juga menitikan cerita pahit dalam
perjalanan Yamin.
Menulis perjalanan hidup Yamin dan pemikiran hukumnya adalah salah satu
pekerjaan membangun sejarah peradaban hukum di Indonesia. Majalah Tempo, pada
tanggal 18 Agustus 2014, berjudul ‘Muhammad Yamin 1903-1962 Menciptakan Banyak
Mitos tentang Indonesia, ia pecinta Republik yang Keras Kepala. Bung Hatta
Menudingnya Licik. Ia Dipuja dan Dicela.’ Nyaris tak ada yang tersisa dari
cerita tentang Yamin. Semuanya sudah ditulis secara detail dan punya nilai
jurnalisme yang enak dibaca oleh majalah Tempo.
Upaya berikutnya adalah melacak jejak pemikirannya dan peninggalannya di
bidang hukum. Melalui karya-karya yang telah dituliskannya, penelitian akan
ditujukan bagaimana menafsirkan dan menteoritisasikan karya Yamin itu. Usaha
yang lain adalah menulis tentang apa-apa saja yang belum diuraikan oleh majalah
Tempo. Seperti saat ia mengusulkan penguatan institusi parlemen.
Saat Indonesia sedang ditempa oleh sisa-sisa politik etis, pada tahun 1939,
ia bersuara lantang. Ia ingin demokrasi dijalankan. Salah satunya menguatkan
kelembagaan parlemen. Tak pelak juga, bisa dikatakan ia mengamankan posisinya sebagai
anggota Volksraad. Namun dalil Yamin cukup rasional dan masuk akal.
Ia berkata bahwa ‘maka boleh dikatakan pada waktoe ini seloeroeh pergerakan
soedah hidoep kembali dan teroes berdiri menghadapi tjita-tjita jang sama dan
djelas, jaitoe menoedjoe satoe Parlement.’ Parlemen sebagai lembaga yang
menyalurkan ‘oesaha rakjat’ bagi Yamin. Cita-cita parlemen sudah menggelinding
semenjak Rafles dan John Leyden (1811). Maka tak akan disia-siakan saluran
parlemen yang ada untuk sarana perjuangan rakyat.
Pengalaman di parlemen pada masa kolonial, membuat Yamin tampil sebagai
sosok yang dinamis. Sedinamis tulisan-tulisannya, menjadikannya sebagai
pujangga hukum yang punya ciri yang makin berwarna. Pahit asam manisnya
kehidupan telah dilaluinya, di dunia birokrasi dan politik. Di bidang
birokrasi, ia berturut-turut menjadi menteri, seperti Menteri Kehakiman
(1951-1952), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1953-1955), Menteri
Urusan Sosial dan Budaya (1959-1960), dan Menteri Penerangan (1962-1963).
Pujangga hukum pun berkiprah di dunia politik dengan cukup gemilang di
eranya. Pada tanggal 21 Juli 1939, ia mendirikan Partai Persatoean Indonesia.
Ia sendiri menjabat sebagai ketuanya. Partai yang punya program di
wilayah politik, sosial dan ekonomi. Partai ini mempunyai beberapa
cabang, seperti: cabang Djakarta, cabang Soekabumi, cabang Sibolga, cabang
Medan, dan cabang Bogor.
Jejak pemikiran dan pengalaman Yamin akan membawa banyak inspirasi bagi
generasi saat ini. Bagaimana dialektika hukum, kasusteraan, sejarah, politik,
dst membaur dengan harmonis dalam tubuh seorang negawaran. Yamin punya saripati
ketauladanan dalam bernegara, berhukum dan berpolitik.
Sumber : http://www.pustokum.org
No comments:
Post a Comment