Thursday 19 May 2016

Muhammad Yamin - Pujangga Hukum





Muhammad Yamin lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus 1903 – meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada umur 59 tahun,  adalah terpelajar hukum dan pujangga yang lihai meracik sajak. Sebagai seorang Meester in de Rechten pada tahun 1932 di Rechtshoogeschool te Batavia, ia juga menulis banyak puisi, skrip drama, novel, dst yang menyuarakan kebesaran peradaban bangsa ini. Ia telah membuat, hukum tak hanya sederetan pasal, melainkan sajak yang berdialog dengan rasa keadilan.  Ia juga membuat bernegara bukanlah birokrasi yang kering.

Meski kiprahnya seringkali diliputi oleh kontroversi. Kehadirannya dalam sejarah dihujat sebab penyulapan naskah pidato di Dokuritsu Zyunbi Tyoosokai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan (BPUK). Bait-bait Pancasila yang dituduh telah direkayasa membekaskan cibiran.  Meski kiprahnya pada bangsa ini—lepas dari kesalahannya—begitu besar kontribusinya.
Baginya, sebuah sumpah adalah kesucian dari jiwa. Dalam sebuah goresan penanya, ‘Sumpah Indonesia Raja,’ ia berdalih. Bahwa tiga kali bersumpah telah berkumandang. Sumpah dilantunkan pada tahun 683, 1331 dan 1928.  Sebuah sumpah yang berakar pada sejarah dan peradaban puncak. Sriwijaya, Majapahit dan Indonesia.

Ia yakin suatu saat, pasti Indonesia akan sampai pada titik puncak keemasan. Seperti peradaban-peradaban sebelumnya nusantara. Imajinasi itu dibangun. Dibubuhkan dalam sajak, tulisan, dan teks-teks lain dengan apik. Memang sejak muda, Yamin sudah gemar menulis. Sebuah keunggulan tokoh nasional zaman dulu, mereka menggoreskan penanya, disamping mengelola birokrasi dan aktivismenya.

Maka tak heran, karya-karya bercita-rasa seni tingkat tinggi ditorehkannya. Karya-karya dipahatnya seperti : ‘Kalau Dewa Tara Sudah Berkata’ (1932), ‘Ken Arok dan Ken Dedes’ (1934), ‘Gadjah Mada’ (1948), ‘Sapta Dharma’ (1948), dst. Dari sekian banyak buku-bukunya, termasuk buku serius membahas tentang teori hukum, umpamanya ‘Proklamasi dan Konstitusi Indonesia’ dan ‘Konstituante Indonesia dalam Gelanggang Demokrasi’, tak jarang diwarnai ornamen kata-kata sastra di sudut-sudut kalimatnya.  Dengan demikian, ia sebenarnya layak disebut sebagai pujangga hukum.

Sebagai seorang pujangga hukum, produktivitasnya tak semulus yang dibayangkan. Tak selamanya, ia bebas menulis. Lantaran mahlumat yang dituliskannya, ia harus mendekam di penjara selama dua tahun. Maklumat itu dipandang oleh pemerintah Soekarno sebagai sebentuk makar pada rejim status quo.  Negeri tempatnya mengabdi, juga menitikan cerita pahit dalam perjalanan Yamin.

Menulis perjalanan hidup Yamin dan pemikiran hukumnya adalah salah satu pekerjaan membangun sejarah peradaban hukum di Indonesia. Majalah Tempo, pada tanggal 18 Agustus 2014, berjudul ‘Muhammad Yamin 1903-1962 Menciptakan Banyak Mitos tentang Indonesia, ia pecinta Republik yang Keras Kepala. Bung Hatta Menudingnya Licik. Ia Dipuja dan Dicela.’ Nyaris tak ada yang tersisa dari cerita tentang Yamin. Semuanya sudah ditulis secara detail dan punya nilai jurnalisme yang enak dibaca oleh majalah Tempo.

Upaya berikutnya adalah melacak jejak pemikirannya dan peninggalannya di bidang hukum. Melalui karya-karya yang telah dituliskannya, penelitian akan ditujukan bagaimana menafsirkan dan menteoritisasikan karya Yamin itu. Usaha yang lain adalah menulis tentang apa-apa saja yang belum diuraikan oleh majalah Tempo. Seperti saat ia mengusulkan penguatan institusi parlemen.

Saat Indonesia sedang ditempa oleh sisa-sisa politik etis, pada tahun 1939, ia bersuara lantang. Ia ingin demokrasi dijalankan. Salah satunya menguatkan kelembagaan parlemen. Tak pelak juga, bisa dikatakan ia mengamankan posisinya sebagai anggota Volksraad. Namun dalil Yamin cukup rasional dan masuk akal.

Ia berkata bahwa ‘maka boleh dikatakan pada waktoe ini seloeroeh pergerakan soedah hidoep kembali dan teroes berdiri menghadapi tjita-tjita jang sama dan djelas, jaitoe menoedjoe satoe Parlement.’ Parlemen sebagai lembaga yang menyalurkan ‘oesaha rakjat’ bagi Yamin. Cita-cita parlemen sudah menggelinding semenjak Rafles dan John Leyden (1811). Maka tak akan disia-siakan saluran parlemen yang ada untuk sarana perjuangan rakyat.

Pengalaman di parlemen pada masa kolonial, membuat Yamin tampil sebagai sosok yang dinamis. Sedinamis tulisan-tulisannya, menjadikannya sebagai pujangga hukum yang punya ciri yang makin berwarna. Pahit asam manisnya kehidupan telah dilaluinya, di dunia birokrasi dan politik. Di bidang birokrasi, ia berturut-turut menjadi menteri, seperti Menteri Kehakiman (1951-1952), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1953-1955), Menteri Urusan Sosial dan Budaya (1959-1960), dan Menteri Penerangan (1962-1963).

Pujangga hukum pun berkiprah di dunia politik dengan cukup gemilang di eranya. Pada tanggal 21 Juli 1939, ia mendirikan Partai Persatoean Indonesia. Ia sendiri menjabat sebagai ketuanya.  Partai yang punya program di wilayah politik, sosial dan ekonomi.  Partai ini mempunyai beberapa cabang, seperti: cabang Djakarta, cabang Soekabumi, cabang Sibolga, cabang Medan, dan cabang Bogor.

Jejak pemikiran dan pengalaman Yamin akan membawa banyak inspirasi bagi generasi saat ini. Bagaimana dialektika hukum, kasusteraan, sejarah, politik, dst membaur dengan harmonis dalam tubuh seorang negawaran. Yamin punya saripati ketauladanan dalam bernegara, berhukum dan berpolitik.

Sumber  : http://www.pustokum.org

No comments:

Post a Comment