Kanjeng Gusti Pangeran Adipati
Arya Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa alias Raden Mas (RM) Said, lahir
di Kraton Kartasura, 7 April 1725 dan meninggal di Surakarta, 28 Desember 1795
pada usia 70 tahun.
Dia adalah pendiri Praja Mangkunegaran, sebuah kadipaten agung di wilayah Jawa
Tengah bagian timur dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ayahnya bernama Pangeran
Arya Mangkunegara Kartasura dan ibunya bernama Raden Ajeng (RA) Wulan. Dia menikah dengan seorang wanita petani bernama Rubiyah, yang terkenal dengan
julukannya "Matah Ati".
Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh, gubernur VOC, karena di dalam peperangan RM. Said selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya.
Perjuangan RM Said dimulai bersamaan dengan pemberontakan laskar Tionghoa di Kartosuro pada 30 Juni 1742 yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi (juga disebut "Sunan Kuning") hingga mengakibatkan tembok benteng kraton Kartasura setinggi 4 meter roboh.
Pakubuwono II, Raja Mataram ketika itu melarikan diri ke Ponorogo. Ketika itu, RM Said berumur 19 tahun.
Dia bergabung bersama-sama untuk menuntut keadilan dan kebenaran atas harkat dan martabat orang-orang Tionghoa dan rakyat Mataram, yang ketika itu tertindas oleh Kumpeni Belanda (VOC) dan Rajanya sendiri Pakubuwono II.
Geger pecinan ini berawal dari pemberontakan orang-orang China terhadap VOC di Batavia. Kemudian mereka menggempur Kartasura, yang dianggap sebagai kerajaan boneka dari Belanda.
Sejak Pasukan China mengepung Kartasura pada awal 1741, para bangsawan mulai meninggalkan Kraton Kartasura.
RM Said membangun pertahanan di Randulawang, sebelah utara Surakarta. Dia bergabung dengan laskar Sunan Kuning melawan VOC. Said diangkat sebagai panglima perang bergelar Pangeran Perang Wedana Pamot Besur.
Ia menikah dengan Raden Ayu Kusuma Patahati. Adapun Pangeran Mangkubumi justru lari ke Semarang, menemui penguasa Belanda dan meminta dirinya dirajakan.
VOC menolak permintaan itu. Dia kemudian bergabung dengan Puger di Sukowati. Berkat bantuan Belanda, pasukan China diusir dari Istana Kartasura, enam bulan kemudian, Paku Buwono II kembali ke Kartasura dan mendapatkan istananya rusak.
Dia memindahkan Istana Mataram ke Solo (Surakarta). Kebijakan raja meminta bantuan asing itu, ternyata harus dibayar mahal. Wilayah pantai utara mulai Rembang, Jawa Tengah, hingga Pasuruan, Surabaya dan Madura di Jawa Timur harus diserahkan kepada VOC.
Setiap pengangkatan pejabat tinggi Keraton wajib mendapat persetujuan dari VOC. Posisi raja tak lebih dari Leenman, atau “Peminjam kekuasaan Belanda”. Pangeran Mangkubumi, akhirnya kembali ke Keraton.
Pangeran Mangkubumi lalu bergabung dengan Mangkunegara, yang bergerilya melawan Belanda di pedalaman Yogyakarta. Mangkunegara dalam usia 22 tahun, dinikahkan untuk kedua kalinya dengan Raden Ayu Inten, Puteri Mangkubumi.
Sejak saat itulah RM Said memakai gelar Pangeran Adipati Mangkunegara Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto.
Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh, gubernur VOC, karena di dalam peperangan RM. Said selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya.
Perjuangan RM Said dimulai bersamaan dengan pemberontakan laskar Tionghoa di Kartosuro pada 30 Juni 1742 yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi (juga disebut "Sunan Kuning") hingga mengakibatkan tembok benteng kraton Kartasura setinggi 4 meter roboh.
Pakubuwono II, Raja Mataram ketika itu melarikan diri ke Ponorogo. Ketika itu, RM Said berumur 19 tahun.
Dia bergabung bersama-sama untuk menuntut keadilan dan kebenaran atas harkat dan martabat orang-orang Tionghoa dan rakyat Mataram, yang ketika itu tertindas oleh Kumpeni Belanda (VOC) dan Rajanya sendiri Pakubuwono II.
Geger pecinan ini berawal dari pemberontakan orang-orang China terhadap VOC di Batavia. Kemudian mereka menggempur Kartasura, yang dianggap sebagai kerajaan boneka dari Belanda.
Sejak Pasukan China mengepung Kartasura pada awal 1741, para bangsawan mulai meninggalkan Kraton Kartasura.
RM Said membangun pertahanan di Randulawang, sebelah utara Surakarta. Dia bergabung dengan laskar Sunan Kuning melawan VOC. Said diangkat sebagai panglima perang bergelar Pangeran Perang Wedana Pamot Besur.
Ia menikah dengan Raden Ayu Kusuma Patahati. Adapun Pangeran Mangkubumi justru lari ke Semarang, menemui penguasa Belanda dan meminta dirinya dirajakan.
VOC menolak permintaan itu. Dia kemudian bergabung dengan Puger di Sukowati. Berkat bantuan Belanda, pasukan China diusir dari Istana Kartasura, enam bulan kemudian, Paku Buwono II kembali ke Kartasura dan mendapatkan istananya rusak.
Dia memindahkan Istana Mataram ke Solo (Surakarta). Kebijakan raja meminta bantuan asing itu, ternyata harus dibayar mahal. Wilayah pantai utara mulai Rembang, Jawa Tengah, hingga Pasuruan, Surabaya dan Madura di Jawa Timur harus diserahkan kepada VOC.
Setiap pengangkatan pejabat tinggi Keraton wajib mendapat persetujuan dari VOC. Posisi raja tak lebih dari Leenman, atau “Peminjam kekuasaan Belanda”. Pangeran Mangkubumi, akhirnya kembali ke Keraton.
Pangeran Mangkubumi lalu bergabung dengan Mangkunegara, yang bergerilya melawan Belanda di pedalaman Yogyakarta. Mangkunegara dalam usia 22 tahun, dinikahkan untuk kedua kalinya dengan Raden Ayu Inten, Puteri Mangkubumi.
Sejak saat itulah RM Said memakai gelar Pangeran Adipati Mangkunegara Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto.
Nama Mangkunegara diambil dari
nama ayahnya, Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura, yang dibuang Belanda ke Sri
Langka. Ketika RM Said masih berusia dua tahun, Arya Mangkunegara ditangkap
karena melawan kekuasaan Amangkurat IV (Paku Buwono I) yang dilindungi VOC dan
akibat fitnah keji dari Patih Danureja.
Mungkin karena itulah, Said berjuang mati-matian melawan Belanda. Melawan Mataram dan Belanda secara bergerilya, Mangkunegara harus berpindah-pindah tempat.
Ketika berada di pedalaman Yogyakarta, ia mendengar kabar bahwa Paku Buwono II wafat. Ia menemui Mangkubumi, dan meminta mertuanya itu bersedia diangkat menjadi Raja Mataram.
Mangkubumi naik tahta di Mataram Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ngaloka Abdurrahman Sayidin Panotogomo.
Penobatan ini terjadi pada “tahun Alip” 1675 (Jawa) atau 1749 Masehi. Mangkunegoro diangkat sebagai Patih (perdana menteri) sekaligus panglima perang dan istrinya, Raden Ayu Inten, diganti namanya menjadi Kanjeng Ratu Bandoro.
Dalam upacara penobatan itu, Mangkunegara berdiri di samping Mangkubumi. Dengan suara lantang ia berseru, “Wahai kalian para Bupati dan Prajurit, sekarang aku hendak mengangkat Ayah Pangeran Mangkubumi menjadi Raja Yogya Mataram. Siapa dia antara kalian menentang, akulah yang akan menghadapi di medan perang.”
Meski demikian, pemerintahan Mataram Yogyakarta berpusat di Kotagede itu tidak diakui Belanda. Setelah selama sembilan tahun berjuang bersama melawan kekuasaan Mataram dan VOC, Mangkubumi, dan Mangkunegara berselisih paham.
Pangkal konflik bermula dari wafatnya Paku Buwono II. Raja menyerahkan tahta Mataram kepada Belanda.
Pangeran Adipati Anom, putera Mahkota Paku Buwono II, dinobatkan sebagai Raja Mataram oleh Belanda, dengan gelar Paku Buwuno III, pada akhir 1749.
RM Said berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram dan Belanda. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda, 1743-1752.
Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, sebagai hasil rekayasa Belanda berhasil membelah bumi Mataram menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta, merupakan perjanjian yang sangat ditentang oleh RM Said karena bersifat memecah belah rakyat Mataram.
Selanjutnya, ia berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan Pakubuwono III & Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi, pamannya sekaligus mertuanya yang dianggapnya berkhianat dan dirajakan oleh VOC), serta pasukan Kumpeni (VOC), pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Mangkoenagara melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.
Dalam membina kesatuan bala tentaranya, Said memiliki motto; tiji tibeh, yang merupakan kepanjangan dari mati siji, mati kabeh; mukti siji, mukti kabeh (gugur satu, gugur semua; sejahtera satu, sejahtera semua). Dengan motto ini, rasa kebersamaan pasukannya terjaga.
Tiga pertempuran dahsyat terjadi pada periode 1752-1757. Ia dikenal sebagai panglima perang yang berhasil membina pasukan yang militan. Dari sinilah ia dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, karena dianggap oleh musuh-musuhnya sebagai penyebar maut.
Kehebatan Mangkunegara dalam strategi perang bukan hanya dipuji pengikutnya melainkan juga disegani lawannya. Tak kurang dari Gubernur Direktur Jawa, Baron van Hohendorff, yang berkuasa ketika itu, memuji kehebatan Mangkunegara.
“Pangeran yang satu ini sudah sejak mudanya terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan. Sehingga tidak mau bergabung dengan Belanda dan keterampilan perangnya diperoleh selama pengembaraan di daerah pedalaman.
Mungkin karena itulah, Said berjuang mati-matian melawan Belanda. Melawan Mataram dan Belanda secara bergerilya, Mangkunegara harus berpindah-pindah tempat.
Ketika berada di pedalaman Yogyakarta, ia mendengar kabar bahwa Paku Buwono II wafat. Ia menemui Mangkubumi, dan meminta mertuanya itu bersedia diangkat menjadi Raja Mataram.
Mangkubumi naik tahta di Mataram Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ngaloka Abdurrahman Sayidin Panotogomo.
Penobatan ini terjadi pada “tahun Alip” 1675 (Jawa) atau 1749 Masehi. Mangkunegoro diangkat sebagai Patih (perdana menteri) sekaligus panglima perang dan istrinya, Raden Ayu Inten, diganti namanya menjadi Kanjeng Ratu Bandoro.
Dalam upacara penobatan itu, Mangkunegara berdiri di samping Mangkubumi. Dengan suara lantang ia berseru, “Wahai kalian para Bupati dan Prajurit, sekarang aku hendak mengangkat Ayah Pangeran Mangkubumi menjadi Raja Yogya Mataram. Siapa dia antara kalian menentang, akulah yang akan menghadapi di medan perang.”
Meski demikian, pemerintahan Mataram Yogyakarta berpusat di Kotagede itu tidak diakui Belanda. Setelah selama sembilan tahun berjuang bersama melawan kekuasaan Mataram dan VOC, Mangkubumi, dan Mangkunegara berselisih paham.
Pangkal konflik bermula dari wafatnya Paku Buwono II. Raja menyerahkan tahta Mataram kepada Belanda.
Pangeran Adipati Anom, putera Mahkota Paku Buwono II, dinobatkan sebagai Raja Mataram oleh Belanda, dengan gelar Paku Buwuno III, pada akhir 1749.
RM Said berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram dan Belanda. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda, 1743-1752.
Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, sebagai hasil rekayasa Belanda berhasil membelah bumi Mataram menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta, merupakan perjanjian yang sangat ditentang oleh RM Said karena bersifat memecah belah rakyat Mataram.
Selanjutnya, ia berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan Pakubuwono III & Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi, pamannya sekaligus mertuanya yang dianggapnya berkhianat dan dirajakan oleh VOC), serta pasukan Kumpeni (VOC), pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Mangkoenagara melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.
Dalam membina kesatuan bala tentaranya, Said memiliki motto; tiji tibeh, yang merupakan kepanjangan dari mati siji, mati kabeh; mukti siji, mukti kabeh (gugur satu, gugur semua; sejahtera satu, sejahtera semua). Dengan motto ini, rasa kebersamaan pasukannya terjaga.
Tiga pertempuran dahsyat terjadi pada periode 1752-1757. Ia dikenal sebagai panglima perang yang berhasil membina pasukan yang militan. Dari sinilah ia dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, karena dianggap oleh musuh-musuhnya sebagai penyebar maut.
Kehebatan Mangkunegara dalam strategi perang bukan hanya dipuji pengikutnya melainkan juga disegani lawannya. Tak kurang dari Gubernur Direktur Jawa, Baron van Hohendorff, yang berkuasa ketika itu, memuji kehebatan Mangkunegara.
“Pangeran yang satu ini sudah sejak mudanya terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan. Sehingga tidak mau bergabung dengan Belanda dan keterampilan perangnya diperoleh selama pengembaraan di daerah pedalaman.
Yang pertama, pasukan Said
bertempur melawan pasukan Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) di Desa
Kasatriyan, barat daya Kota Ponorogo, Jawa Timur. Perang itu terjadi pada hari
Jumat Kliwon, tanggal 16 Syawal “tahun Je” 1678 (Jawa) atau 1752 Masehi.
Desa Kasatriyan merupakan benteng pertahanan Said setelah berhasil menguasai daerah Madiun, Magetan, dan Ponorogo.
Yang kedua, Mangkunegara bertempur melawan dua detasemen VOC dengan komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di sebelah selatan negeri Rembang, tepatnya di hutan Sitakepyak.
Sultan mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk menghancurkan pertahanan Mangkunegara. Besarnya pasukan Sultan itu dilukiskan Mangkunegoro “bagaikan semut yang berjalan beriringan tiada putus”.
Kendati jumlah pasukan Mangkunegara itu kecil, ia dapat memukul mundur musuhnya. Ia mengklaim cuma kehilangan 3 prajurit tewas dan 29 menderita luka. Di pihak lawan sekitar 600 prajurit tewas.
Perang besar yang kedua pecah di hutan Sitakepyak, sebelah selatan Rembang, yang berbatasan dengan Blora, Jawa Tengah (Senin Pahing, 17 Sura, tahun Wawu 1681 J / 1756 M).
Pada pertempuran ini, Mangkunegara berhasil menebas kepala kapten Van der Pol dengan tangan kirinya dan diserahkan kepada salah satu istrinya sebagai hadiah perkawinan.
Yang ketiga, penyerbuan benteng Vredeburg Belanda dan keraton Yogya-Mataram (Kamis 3 Shapar, tahun Jumakir 1682 J / 1757 M).
Peristiwa itu dipicu oleh kekalutan tentara VOC yang mengejar Mangkunegara sambil membakar dan menjarah harta benda penduduk desa. Mangkunegoro murka. Ia balik menyerang pasukan VOC dan Mataram.
Setelah memancung kepala Patih Mataram, Joyosudirgo, secara diam-diam Mangkunegara membawa pasukan mendekat ke Keraton Yogyakarta. Benteng VOC, yang letaknya cuma beberapa puluh meter dari Keraton Yogyakarta, diserang.
Lima tentara VOC tewas, ratusan lainnya melarikan diri ke Keraton Yogyakarta. Selanjutnya pasukan Mangkunegoro menyerang Keraton Yogyakarta. Pertempuran ini berlangsung sehari penuh, Mangkunegoro baru menarik mundur pasukannya menjelang malam.
Serbuan Mangkunegara ke Keraton Yogyakarta mengundang amarah Sultan Hamengku Buwono I. Ia menawarkan hadiah 500 real, serta kedudukan sebagai bupati kepada siapa saja yang dapat menangkap Mangkunegara.
Sultan gagal menangkap Mangkunegara yang masih keponakan dan juga menantunya itu. VOC, yang tidak berhasil membujuk Mangkunegara ke meja perundingan, menjanjikan hadiah 1.000 real bagi semua yang dapat membunuh Mangkunegara.
Tak seorang pun yang berhasil menjamah Mangkunegara. Melihat kenyataan tersebut, Nicholas Hartingh, pemimpin VOC di Semarang, mendesak Sunan Paku Buwono III meminta Mangkunegara ke meja perdamaian. Sunan mengirim utusan menemui Mangkunegoro, yang juga saudara sepupunya.
Mangkunegara menyatakan bersedia berunding dengan Sunan, dengan syarat tanpa melibatkan VOC. Singkatnya, Mangkunegara menemui Sunan di Keraton Surakarta dengan dikawal 120 prajuritnya. Sunan memberikan dana bantuan logistik sebesar 500 real untuk prajurit Mangkunegara. Akhirnya, terjadilah perdamaian dengan Sunan Pakubuwana III yang diformalkan dalam Perjanjian Salatiga, 17 Maret 1757.
Pertemuan berlangsung di Desa Jemblung, Wonogiri. Sunan memohon kepadanya agar mau membimbingnya. Sunan menjemput Mangkunegara di Desa Tunggon, sebelah timur Bengawan Solo.
Desa Kasatriyan merupakan benteng pertahanan Said setelah berhasil menguasai daerah Madiun, Magetan, dan Ponorogo.
Yang kedua, Mangkunegara bertempur melawan dua detasemen VOC dengan komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di sebelah selatan negeri Rembang, tepatnya di hutan Sitakepyak.
Sultan mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk menghancurkan pertahanan Mangkunegara. Besarnya pasukan Sultan itu dilukiskan Mangkunegoro “bagaikan semut yang berjalan beriringan tiada putus”.
Kendati jumlah pasukan Mangkunegara itu kecil, ia dapat memukul mundur musuhnya. Ia mengklaim cuma kehilangan 3 prajurit tewas dan 29 menderita luka. Di pihak lawan sekitar 600 prajurit tewas.
Perang besar yang kedua pecah di hutan Sitakepyak, sebelah selatan Rembang, yang berbatasan dengan Blora, Jawa Tengah (Senin Pahing, 17 Sura, tahun Wawu 1681 J / 1756 M).
Pada pertempuran ini, Mangkunegara berhasil menebas kepala kapten Van der Pol dengan tangan kirinya dan diserahkan kepada salah satu istrinya sebagai hadiah perkawinan.
Yang ketiga, penyerbuan benteng Vredeburg Belanda dan keraton Yogya-Mataram (Kamis 3 Shapar, tahun Jumakir 1682 J / 1757 M).
Peristiwa itu dipicu oleh kekalutan tentara VOC yang mengejar Mangkunegara sambil membakar dan menjarah harta benda penduduk desa. Mangkunegoro murka. Ia balik menyerang pasukan VOC dan Mataram.
Setelah memancung kepala Patih Mataram, Joyosudirgo, secara diam-diam Mangkunegara membawa pasukan mendekat ke Keraton Yogyakarta. Benteng VOC, yang letaknya cuma beberapa puluh meter dari Keraton Yogyakarta, diserang.
Lima tentara VOC tewas, ratusan lainnya melarikan diri ke Keraton Yogyakarta. Selanjutnya pasukan Mangkunegoro menyerang Keraton Yogyakarta. Pertempuran ini berlangsung sehari penuh, Mangkunegoro baru menarik mundur pasukannya menjelang malam.
Serbuan Mangkunegara ke Keraton Yogyakarta mengundang amarah Sultan Hamengku Buwono I. Ia menawarkan hadiah 500 real, serta kedudukan sebagai bupati kepada siapa saja yang dapat menangkap Mangkunegara.
Sultan gagal menangkap Mangkunegara yang masih keponakan dan juga menantunya itu. VOC, yang tidak berhasil membujuk Mangkunegara ke meja perundingan, menjanjikan hadiah 1.000 real bagi semua yang dapat membunuh Mangkunegara.
Tak seorang pun yang berhasil menjamah Mangkunegara. Melihat kenyataan tersebut, Nicholas Hartingh, pemimpin VOC di Semarang, mendesak Sunan Paku Buwono III meminta Mangkunegara ke meja perdamaian. Sunan mengirim utusan menemui Mangkunegoro, yang juga saudara sepupunya.
Mangkunegara menyatakan bersedia berunding dengan Sunan, dengan syarat tanpa melibatkan VOC. Singkatnya, Mangkunegara menemui Sunan di Keraton Surakarta dengan dikawal 120 prajuritnya. Sunan memberikan dana bantuan logistik sebesar 500 real untuk prajurit Mangkunegara. Akhirnya, terjadilah perdamaian dengan Sunan Pakubuwana III yang diformalkan dalam Perjanjian Salatiga, 17 Maret 1757.
Pertemuan berlangsung di Desa Jemblung, Wonogiri. Sunan memohon kepadanya agar mau membimbingnya. Sunan menjemput Mangkunegara di Desa Tunggon, sebelah timur Bengawan Solo.
Untuk menetapkan wilayah
kekuasaan Said, dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III,
dan saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I dan VOC ini, disepakati bahwa Said
diangkat sebagai Adipati Miji alias mandiri.
Walaupun hanya sebagai adipati, kedudukan hukum mengenai Mangkunegara I (nama kebesarannya), tidaklah sama dengan Sunan yang disebut sebagai Leenman sebagai penggaduh, peminjam kekuasaan dari Kumpeni.
Melainkan secara sadar sejak dini ia menyadari sebagai "raja kecil", bahkan tingkah lakunya pun menyiratkan bahwa "dia adalah raja di Jawa Tengah yang ke-3". Demikian kenyataannya, Kumpeni pun memperlakukannya sebagai raja ke III di Jawa Tengah, selain Raja I Sunan dan Raja II Sultan.
Dia memerintah di wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Akhirnya, Mangkunegara mendirikan istana di pinggir Kali Pepe pada tanggal 4 Jimakir 1683 (Jawa), atau 1756 Masehi.
Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal sebagai Istana Mangkunegaran. Mangkunegara I tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Selama menjalankan pemerintahannya, ia menerapkan prinsip Tridarma.
Walaupun hanya sebagai adipati, kedudukan hukum mengenai Mangkunegara I (nama kebesarannya), tidaklah sama dengan Sunan yang disebut sebagai Leenman sebagai penggaduh, peminjam kekuasaan dari Kumpeni.
Melainkan secara sadar sejak dini ia menyadari sebagai "raja kecil", bahkan tingkah lakunya pun menyiratkan bahwa "dia adalah raja di Jawa Tengah yang ke-3". Demikian kenyataannya, Kumpeni pun memperlakukannya sebagai raja ke III di Jawa Tengah, selain Raja I Sunan dan Raja II Sultan.
Dia memerintah di wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Akhirnya, Mangkunegara mendirikan istana di pinggir Kali Pepe pada tanggal 4 Jimakir 1683 (Jawa), atau 1756 Masehi.
Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal sebagai Istana Mangkunegaran. Mangkunegara I tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Selama menjalankan pemerintahannya, ia menerapkan prinsip Tridarma.
Sumber : http://daerah.sindonews.com
No comments:
Post a Comment