KH. Noer Alie lahir sebagai anak keempat dari sepuluh
bersaudara pasangan H. Anwar bin H. Layu dan Hj. Maimunah binti Tarbin pada
tahun 1914 di Desa Ujung Malang, Onderdistrik Babelan, Distrik Bekasi,
Regentschap ( Kabupaten ) Meester Cornelis, Residensi Batavia, sebelum diganti
menjadi Desa Ujung Harapan Bahagia, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa
Barat, atas usulan Menteri Luar Negeri Adam Malik pada tahun 1970-an ketika
berkunjung ke Pesantren Attaqwa.
Pada awal usia 3 tahun KH. Noer Alie sudah bisa
berbicara dengan bahasa ibu, mengeja huruf, hitungan dan hafal kata yang baru,
baik dari bahasa Arab maupun Melayu. Bersamaan dengan masa disapih, KH. Noer
Alie mulai bergaul dengan teman-teman sebayanya di luar rumah.
Salah satu kelebihan KH. Noer Alie sudah nampak sejak
kecil yang kelak akan mempengaruhi kepemimpinannya, yaitu ketika main ia tidak
mau tampil di belakang, tidak mau diiringi, ia selalu ingin tampil di muka
sebagai orang yang pertama meskipun jumlahnya temannya belasan hingga puluhan.
Ketika memainkan permainan anak-anak pun ia tidak mau kalah. Di hampir semua
permainan ia selalu tampil sebagai pemenang, seperti cor, bengkat, peletokan,
layang-layang, teprak, dan perang-perangan.
Semasa kecil KH Noer Alie sudah memperlihatkan
semangat belajar yang sangat baik, di usia delapan tahun KH. Noer Alie dikhitan
dan belajar kepada guru Maksum di kampung Bulak. Pelajaran yang diberikan lebih
dititikberatkan pada pengenalan dan mengeja huruf Arab, menghafal dan membaca
Juz-amma, ditambah menghafal dasar-dasar rukun Islam dan rukun Iman, tarikh
para Nabi, akhlak dan Fiqih. Karena sejak kecil telah terbiasa belajar dengan
orangtua dan kakak-kakaknya, KH Noer Alie pun tidak merasa kesulitan mencerna
pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh gurunya.
Setelah tiga tahun belajar pada guru Maksum. Pada
tahun 1925 KH. Noer Alie belajar pada guru Mughni di Ujung Malang. Di sini ia
mendapat pelajaran al-Fiah (tata bahasa Arab), al-Qur’ân, Tajwid, Nahwu,
Tauhid, dan Fiqih. Seiring dengan perkembangan usia dan pelajaran yang telah
didapat, keinginantahuannya terhadap dunia luar pun semakin kuat. Mula-mula ia
dan kawan-kawannya bermain ke kampung-kampung di sekitarnya. Sampai pada
keingintahuannya untuk melihat rumah gedung tuan tanah, tingkah laku tuan tanah
dan aparatnya.
Bersamaan dengan itu ia pun sudah bisa membandingkan antara
konsep normatif yang diajarkan gurunya dengan kondisi realita penduduk. Kalau
gurunya mengajarkan untuk tidak melakukan kegiatan maksiat, justru pada
kenyataannya KH. Noer Alie dihadapkan pada kondisi realita tersebut. KH. Noer
Alie menganggap ini sebagai akibat dari kurangnya pendidikan agama bagi
masing-masing individu masyarakat.
Semangat cinta tanah air bernuansa keagamaan merasuk
dalam dirinya. Kepada adiknya Hj. Marhamah, ia mengutarakan cita-citanya untuk
menjadi pemimpin agama dan membangun sebuah perkampungan surga. Dimana
penduduknya beragama Islam dan menjalankan syariat Islam.
KH. Noer Alie juga giat membantu ayah dan ibunya di
rumah. Kebiasaan KH. Noer Alie yang sejak kecil sudah nampak adalah bila kerja
tidak mau melakukan pekerjaan yang sedikit dan tanggung-tanggung. Ia hanya mau
bekerja kalau pekerjaan itu menyeluruh, dari awal sampai akhir, meskipun sarat
dengan beban berat.
Di pengajian guru Mughni, KH. Noer Alie dianggap
sebagai murid yang pandai, cerdas, dan tekun. Semua mata pelajaran dikuasai KH.
Noer Alie dengan baik. Sehingga wajar saja kalau guru Mughni amat sayang
kepadanya. Bahkan khusus untuk pelajaran al-Fiah (pengetahuan tentang kaidah
tata bahasa Arab), KH. Noer Alie mampu menghafal seribu bait lebih awal. Disaat
yang sama, yaitu ketika guru Mughni berkeinginan untuk menjadikan KH. Noer Alie
sebagai badalnya, KH. Noer Alie pun memberitahu kepada orangtua tentang
keinginannya mondok ke guru Marzuki. Mengingat bakat, kesungguhan dan tekad
yang besar, akhirnya dengan berat hati guru Mughni mengizinkan KH. Noer Alie
dapat melanjutkan pendidikan pada guru Marzuki.
Pada tahun 1930-an KH. Noer Alie meneruskan
pendidikannya dan mondok pada guru Marzuki di kampung Cipinang Muara, Klender.
Disini KH. Noer Alie menempuh pendidikan tahap lanjutan setingkat Aliyah
dengan mata pelajaran sebagaimana yang diberikan pada guru Mughni, tetapi
materinya dikembangkan dengan aspek pemahaman yang lebih ditekankan, seperti
pelajaran Tauhid, Tajwid, Nahwu, Sharaf dan Fiqih.
Jika memiliki waktu senggang terutama saat libur hari
jum’at, seminggu sekali guru Marzuki melakukan kegiatan berburu bajing. Bagi
guru Marzuki, bajing sangat merugikannya dan petani kelapa umumnya, karena
bajing mempunyai kegemaran memakan kelapa yang masih berada di pohon. Dan dari
guru Marzuki ia belajar cara menggunakan senjata.
Pada tahun 1933, karena dinilai cerdas dan mampu
mengikuti pelajaran dengan baik, KH. Noer Alie diangkat menjadi badal, yang
fungsinya menggantikan sang guru apabila ia sedang udzur (halangan).
Di pondok guru Marzuki, KH. Noer Alie mempunyai banyak
teman yang kelak akan menjadi sahabatnya dan ulama terkenal di bilangan
Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, seperti KH. Abdullah Syafi’ie, KH.
Abdurrachman Shadri, KH. Abu Bakar, KH. Mukhtar Thabrani, KH. Abdul Bakir
Marzuki, KH. Hasbullah, KH. Zayadi dll.
Sebagai murid yang mempunyai keinginan besar dalam
menempuh pendidikan, KH. Noer Alie mempunyai keinginan untuk melanjutkan ke
pendidikan yang lebih tinggi. Dan dari cerita guru Marzuki, KH. Noer Alie mendengar
bahwa pendidikan tingkat lanjut dan agar menjadi ulama yang baik adalah di
Makkah. Awalnya guru Marzuki dan H. Anwar pun keberatan, karena melihat ekonomi
yang pas-pasan. Guru Marzuki hanya dapat menyarankan agar KH. Noer Alie
melanjutkan belajarnya ke guru Abdul Madjid di Pekojan. Tapi KH. Noer Alie
menilai, ia tidak akan berkembang jika masih berada di lingkungan Batavia.
Mendengar rengekan anak kesayangannya yang berbakat itu, H. Anwar tidak dapat
menahan haru. Sebelum berangkat KH. Noer Alie dan KH. Hasbullah menemui guru
Marzuki untuk meminta restu. Di akhir pertemuan guru Marzuki berpesan pada
kedua murid kesayangannya itu, “meskipun di Makkah belajar dengan banyak
Syeikh, tapi kalian tidak boleh lupa untuk tetap belajar pada Syeikh Ali
al-Maliki”.
Tahun 1934 KH. Noer Alie ditemani sahabatnya KH.
Hasbullah berangkat menuju Makkah dengan uang pinjaman dari tuan tanah Wat
Siong. Sesampainya di pelabuhan Jeddah, KH. Noer Alie disambut oleh Syeikh Ali
Betawi yang bertugas menyambut jamaah haji atau para pelajar yang bermukim di
Makkah. Selanjutnya KH. Noer Alie melanjutkan perjalanan menuju Makkah dengan
kendaraan Onta selama dua hari satu malam.
Baru beberapa minggu di Makkah, KH Noer Alie mendapat
kabar dari jamaah haji yang baru datang, bahwa guru yang sangat dicintai dan
dihormatinya, guru Marzuki, meninggal dunia. Untuk sementara waktu, KH. Noer
Alie, KH. Hasbullah dan orang-orang yang kenal dengan guru Marzuki berkabung
dan melakukan shalat ghaib.
Sesuai dengan pesan gurunya, KH. Noer Alie langsung
menghubungi Syeikh Ali al-Maliki. Adalah wajar jika guru Marzuki meminta KH.
Noer Alie untuk belajar kepada Syeikh Ali al-Maliki karena guru Marzuki adalah
murid kesayangan Syeikh Ali al-Maliki ketika mukim di Makkah sejak tahun
1900-1910.
Saat itu Syeikh Ali al-Maliki berusia 75 tahun.
Syeikh Ali al-Maliki adalah Syeikh yang mengajarkan berbagai macam cabang ilmu
agama Islam, tapi ajarannya lebih dititikberatkan pada Hadits.
Kedekatan KH. Noer Alie dengan Syeikh Ali al-Maliki
terwujud pula dalam kegiatan sehari-hari. Hampir setiap hari, apabila menuju
dan dari Masjidil Haram KH. Noer Alie memapah Syeikh yang sudah renta itu, yang
membutuhkan waktu berjalan sekitar 15 menit.
Selain dengan Syeikh Ali al-Maliki, KH. Noer Alie pun
menggali ilmu agama dari syeikh lain, terutama Syeikh Umar Hamdan, Syeikh Ahmad
Fatoni, Syeikh Ibnul Arabi, Syeikh Muhammad Amin al-Quthbi, Syeikh Achyadi,
Syeikh Abdul Zalil dan Syeikh Umar at-Turki.
Kepada Syeikh Umar Hamdan yang berusia sekitar 70
tahun, KH. Noer Alie belajar Kutubussittah. Syeikh Ahmad Fatoni adalah Syeikh
yang berasal dari Patani (Muangthai), berumur sekitar 40 tahun, yang memberikan
pelajaran Fiqih dengan kitab Iqna sebagai acuannya. Melalui Syeikh Muhammad
Amin al-Quthbi yang berusia 45 tahun, KH. Noer Alie belajar ilmu Nahwu, Qawafi
(Sastra), dan Badi’ (Mengarang). Selain itu Syeikh Quthbi pun mengajarkan ilmu
Tauhid dan Mantiq (ilmu logika yang mengandung Falsafah Yunani) dengan kitab
Asmuni sebagai acuannya. Sedangkan dari Syeikh Abdul Zalil diperoleh ilmu politik,
Syeikh Umar at-Turki dan Syeikh Ibnul Arabi, diperoleh ilmu Hadits dan Ulumul
Qur’an.
Berada jauh dengan tanah air tidak membuat KH. Noer
Alie lupa dengan bangsanya. Melalui wesel dari orangtua dan surat kabar yang
terbit di Saudi Arabia dan Hindia Belanda, KH. Noer Alie mengetahui situasi dan
kondisi dunia dan tanah airnya. Adanya sarana organisasi seperti Perhimpunan
Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), Persatuan Talabah Indonesia (Pertindo), dan
Perhimpunan Pelajar Indonesia-Malaya (Perindom), telah menggerakkan hati KH.
Noer Alie untuk turut andil didalamnya. Pada beberapa kesempatan ia sempat
berdialog dengan beberapa pelajar asal jepang, diantaranya adalah Muhammad
Abdul Muniam Inada.
Betapapun pentingnya organisasi, KH. Noer Alie
menyadari bahwa menuntut harus ilmu itu lebih diutamakan. Selain itu faktor
yang membuat KH. Noer Alie tidak memasuki organisasi yang lebih besar adalah
karena masih banyak teman-temannya yang kesulitan keuangan, dan lemahnya
kemampuan intelektual dan pengalaman organisasi dari individu masing-masing
teman-temannya. KH. Noer Alie pun sadar bahwa kekuatan bisa dibina dari yang
kecil, dari yang bawah. Sebagai realisasinya, KH. Noer Alie dan beberapa
temannya seperti KH. Hasan Basri membentuk organisasi Persatuan Pelajar Betawi
(PPB), dengan KH. Noer Alie sebagai ketuanya.
Ketika suasana mendekati perang dunia II ( akhir 1939
), KH. Noer Alie yang sudah memiliki cukup ilmu memutuskan untuk kembali ke
tanah air. Syeikh Ali al-Maliki yang melihat potensi keulamaan KH. Noer Ali, berpesan
diakhir pertemuan:
“Kalau kamu mau pulang, silahkan pulang. Tapi Ingat, jika bekerja jangan jadi penghulu (pegawai pemerintah). Kalau kamu mau mengajar, saya akan ridha dunia-akhirat”.
Mendirikan Pesantren
dan Berjuang Mempertahankan Kemerdekaan
Kepulangan KH. Noer Alie ke kampung halamannya Ujung
Malang pada awal Januari tahun 1940, telah menjadi duri dalam daging bagi tuan
tanah dan pemerintah Hindia Belanda. Setelah mendirikan pesantren, maka di
tahun yang sama tepatnya pada bulan April, ia menikah dengan Hj. Siti Rahmah
binti KH. Mughni.
Salah satu karya KH Noer Alie yang dapat kita rasakan
manfaatnya sampai sekarang adalah pembangunan dan pembukaan akses jalan secara
besar–besaran antara kampung Ujung Malang, Teluk Pucung, dan Pondok Ungu. Dalam
setiap jalan yang dibangun beliau tidak pernah mengeluarkan biaya untuk
pembebasan tanah warga, tetapi apabila itu merupakan instruksi dari Engkong
Kiai, semua warga dengan sukarela dan ikhlas akan mewakafkan, dan beliau terjun
langsung memimpin gotong-royong pengerjaannya pada pertengahan tahun 1941.
Sebagai salah satu pemimpin agama yang namanya sudah
masuk dalam daftar Shimubu (Kantor Urusan Agama), pada masa pendudukan Jepang
(1942-1945), KH. Noer Alie menyikapinya dengan sangat hati–hati.
Pada pertengahan April 1942 KH. Noer Alie memenuhi
undangan tentara Jepang menghadap pimpinan Shimubu di kantor Shimubu, dekat
masjid Matraman, Jatinegara. Ternyata disana ada Muhammad Abdul Muniam Inada,
pelajar Jepang yang menjadi temannya di Makkah menjadi ketua Shimubu.
Secara formal, atas nama pemerintahan pendudukan,
Muniam meminta kepada KH. Noer Alie agar bersedia membantu Jepang dalam bentuk
partisipasi langsung dalam aktifitas yang diprogramkan Shimubu. Menyadari
posisinya dalam kondisi serba salah, dengan kemahirannya berdiplomasi, KH. Noer
Alie secara halus menolak ajakan Muniam dengan alasan “Saya sedang memimpin
pesantren yang baru didirikan. Kalau saya terjun bersama ulama lain, bagaimana
nasib santri saya, mereka akan tercerai berai tak terurus”. Dengan alasan yang
masuk akal tersebut Muniam mengijinkan KH. Noer Alie untuk tetap mengurus
pesantren sambil tetap berdoa demi kemakmuran Asia Raya.
Untuk mempersiapkan diri bila sewaktu-waktu bangsa
Indonesia harus bertempur secara fisik, KH. Noer Alie menyalurkan santrinya ke
dalam Heiho (pembantu prajurit), Keibodan (barisan pembantu polisi) di Teluk
Pucung, dan menyuruh salah seorang santrinya untuk mengikuti latihan
kemiliteran Pembela Tanah Air (PETA).
Ketika Indonesia merdeka, ia terpilih sebagai Ketua
Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Cabang Babelan. Tanggal 19 September
1945 ketika diselenggarakan Rapat Raksasa di Lapang Ikada Jakarta, KH. Noer Ali
mengerahkan massa untuk hadir. Dalam mempertahankan kemerdekaan, ia menjadi
Ketua Laskar Rakyat Bekasi, selanjutnya menjadi Komandan Batalyon III Hisbullah
Bekasi. Gelar kiai haji sendiri beliau dapatkan dari bung Tomo yang dalam
pidatonya melalui pemancar Radio Surabaya atau Radio Pemberontaknya
berkali-kali menyebut nama KH. Noer Alie, akhirnya gelar guru pun tergeser dan
berganti dengan makna yang sama, Kiai Haji.
Ketika terjadi Agresi Militer Juli 1947 KH. Noer Ali
menghadap Jenderal Oerip Soemohardjo di Yogyakarta. Ia diperintahkan untuk
bergerilya di Jawa Barat dengan tidak menggunakan nama TNI. KH. Noer Alie pun
kembali ke Jawa Barat dengan berjalan kaki dan mendirikan sekaligus menjadi
Komandan Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang.
Untuk menunjukkan bahwa pertahanan Indonesia masih
eksis, dibeberapa tempat MPHS melakukan perang urat syaraf (psy-wars).
KH Noer Alie memerintahkan pasukannya bersama masyarakat di Tanjung Karekok,
Rawa Gede dan Karawang untuk membuat bendera merah-putih ukuran kecil yang
terbuat dari kertas.
Ribuan bendera tersebut lalu ditancapkan di setiap
pohon dan rumah penduduk dengan tujuan membangkitkan moral rakyat bahwa
ditengah-tengah kekuasaan Belanda masih ada pasukan Indonesia yang terus
melakukan perlawanan.
Aksi herois tersebut membuat Belanda terperangah dan
mengira pemasangan bendera merah-putih tersebut dilakukan oleh TNI, Belanda
langsung mencari Mayor Lukas Kustaryo, karena tidak ditemukan Belanda marah dan
membantai sekitar empat ratus orang warga sekitar Rawa Gede.
Pembantaian yang terkenal dalam laporan De Exceseen
Nota Belanda itu disatu sisi mengakibatkan terbunuhnya rakyat, namun disisi
lain para para petinggi Belanda dan Indonesia tersadar bahwa disekitar
Karawang, Cikampek, Bekasi dan Jakarta masih ada kekuatan Indonesia. Sedangkan
citra Belanda kiat terpuruk karena telah melakukan pembunuhan keji terhadap
penduduk yang tidak bedosa.
Pada tanggal 29 November 1945 terjadi pertempuran
sengit antara pasukan KH Noer Alie dengan Sekutu di Pondok Ungu. Pasukan yang
sebelumnya telah telah diberikan motifasi juang seperti puasa, doa hizbun
nasr, ratib al-haddad, wirid, shalat tasbih, shalat hajat, dan shalat
witir, lupa dengan pesan KH. Noer Alie agar tidak sombong dan angkuh. Melihat
gelagat yang tidak baik, KH. Noer Alie menginstruksikan seluruh pasukannya
untuk mundur. Sebagian yang masih bertahan akhirnya menjadi korban di
pertempuran Sasak Kapuk.
Kecintaan terhadap bidang pendidikan telah membuat KH.
Noer Alie berinisiatif untuk membentuk Lembaga Pendidikan Islam (LPI) bersama
KH. Rojiun, yang salah satu programnya adalah mendirikan Sekolah Rakyat Islam
di Jakarta dan Jawa Barat. Di Ujung Malang, KH Noer Alie kembali mengaktifkan
pesantrennya dengan SRI sebagai lembaga pendidikan pertama.
Pada bulan Juli 1949 KH. Noer Alie diminta oleh Wakil
Residen Jakarta Muhammad Moe’min untuk menjadi Bupati Jatinegara. Teringat
pesan gurunya Syeikh Ali al-Maliki agar tidak menjadi pegawai pemerintah, maka
KH. Noer Alie pun menolak dengan halus tawaran tersebut.
Membangun Politik
Membentengi Ummat
Paska perang kemerdekaan perjuangan KH. Noer Alie
terus berlanjut dalam bidang politik, pendidikan, dan sosial. Maka pada tanggal
19 April 1950 KH. Noer Alie ditunjuk sebagai Ketua Masyumi Cabang Jatinegara.
Peran Politik KH Noer Alie cukup besar dalam
perjuangan pergerakan Republik Indonesia terutama untuk wilayah Bekasi. KH.
Noer Alie juga tercatat sebagai salah seorang yang membidani lahirnya kabupaten
bekasi yang sebelumnya bernama kabupaten Jatinegara.
Setelah LPI tidak aktif, maka pada tahun 1953 KH. Noer
Alie membentuk organisasi sosial yang diberi nama Pembangunan Pemeliharaan dan
Pertolongan Islam (P3) yang kedepannya akan berganti nama menjadi Yayasan
Attaqwa. Yayasan P3 adalah induk dari pendidikan SRI, pesantren, dan kebutuhan
ummat Islam lainnya. Kemudian pada tahun 1954 KH. Noer Alie menginstruksikan
kepada KH. Abdul Rahman untuk membangun Pesantren Bahagia yang murid pertamanya
adalah lulusan SRI Ujung Malang yang berjumlah 54 orang. Setelah dinilai
mandiri oleh KH. Noer Alie, maka pada tanggal 6 agustus 1956 Yayasan P3 telah
mendapat pengakuan secara hukum melalui notaris Eliza Pondang di Jakarta.
Pada pemilu 1955, Masyumi Bekasi memperoleh suara
terbanyak. Kemenangan ini tidak terlepas dari kemahiran politik dan kharisma
KH. Noer Alie. Atas dasar itu ia ditunjuk Masyumi Pusat sebagai salah satu
anggota Dewan Konstituante pada bulan September 1956.
Saat aktif di pusat. Ia pun hadir dalam Muktamar Alim
Ulama Seluruh Indonesia di Palembang pada 8-11 Sepetember 1957. Dan dihadiri
oleh lebih dari seribu ulama dari Aceh hingga Papua. Disini KH. Noer Alie
diangkat sebagai anggota Seksi Hukum Majelis Permusyawaratan Ulama Indonesia.
Setelah redupnya kejayaan DPP Masyumi dan
diproklamirkannya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PPRI) yang
didirikan untuk menandingi Pemerintahan Pusat. Maka untuk melindungi umat agar
tidak terombang-ambing oleh kekuatan luar yang tidak baik, KH. Noer Alie pun
bergabung dengan Badan Kerjasama Ulama-Militer (BKS-UM) dan diangkat sebagai
anggota Majelis Ulama di Resimen Infanteri 7/III Purwakarta.
Mewujudkan Perkampungan
Surga
Setelah pengunduran dirinya dari pentas politik
praktis, kembalinya KH. Noer Alie di tengah-tengah umat dimaknai oleh murid dan
para pecintanya sebagai hikmah dan rahmat. Bagaimana tidak, kalau sebelumnya
mereka jarang bertemu KH. Noer Alie, sejak saat itu dapat bertemu setiap hari.
Berbagai persoalan, terutama yang menyangkut masalah agama dan politik yang
sulit dimengerti umat dapat terjawab memuaskan. Kehadiran KH. Noer Alie
dirasakan sebagai pembawa kesejukan dan pelindung umat.
Dipindahkannya Pesantren Bahagia dari kampung Dua
Ratus ke Ujung Malang memudahkan KH. Noer Alie dan para guru dalam proses
belajar-mengajar. selanjutnya tahun 1962 KH. Noer Alie mendirikan Madrasah
Tsanawiyah (MTs) dan Sekolah Persiapan Madrasah Menengah Attaqwa (SPMMA).
Sedangkan untuk pendidikan putri, pada tahun 1964 KH. Noer Alie mendirikan
Madrasah al-Baqiyatus-Shalihat.
Tahun 1963 ia nyaris ditangkap, ketika banyaknya tamu
dari luar Bekasi yang berkunjung ke kediaman KH. Noer Alie. Kondisi ini
dimanipulasi oleh PKI yang membuat isu bahwa tamu yang berkunjung itu adalah
anggota DI/TII. Mendengar pengaduan tersebut aparat keamanan segera mengepung
Pesantren Attaqwa. KH. Noer Alie pun menyangkal tuduhan itu, dan meminta
tentara agar menggeledah. “Sekarang kita geledah kampung ini. Kalau terdapat
anggota DI, tembak saya. Tapi kalau nggak dapat, ente yang ana tembak”.
Medengar keseriusan dan kebenaran argumentasi KH. Noer Ale, akhirnya pasukan
ditarik mundur.
Ketika terjadi peristiwa G30S/PKI meletus, para santri
KH. Noer Alie yang tergabung dalam Cabang PII ikut membantu pemberantasan PKI
bersama dengan TNI dan generasi muda lainnya. Saat itu juga KH. Noer Alie
membagikan fotocopy Hizb Shagir kepada masyarakat Ujung Harapan dan
sekitarnya yang harus diamalkan ketika bahaya terjadi.
Melihat kemunduran pesantren-pesantren yang disebabkan
karena intervensi pemikiran dan modernisasi sekuler, ataupun karena faktor
kiayinya yang banyak meninggalkan pondok pesantren. Maka melalui musyawarah
antara para kiai dan ulama pemimpin pondok pesantren di Jawa Barat, yang
diadakan di Cianjur 4-6 Maret 1972 (19-21 Muharram 1392 H) sepakat membentuk
Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat, dengan KH. Noer Alie
sebagai Ketua Umum Majelis Pimpinan BKSPP didampingi KH. Sholeh Iskandar
sebagai Ketua Badan Pelaksana BKSPP, KH. Khair Effendi, dan KH. Tubagus
Hasan Basri.
Pada tahun 1982-1983 ramai dibicarakan masalah
pelarangan jilbab bagi siswi Muslim di SLTP dan SLTA. KH. Noer Alie bersama
BKSPP membuat Fatwa Ulama Pondok Pesantren tentang busana Muslimah. KH. Noer
Alie juga menentang RUU Perkawinan 1973 yang menyimpang dari ajaran Islam. Pada
puncaknya ia kerahkan 1000 orang ulama di Pesantren Asyafi’iyyah Jatiwaringin
untuk berbaiat tetap memperjuangkan RUU Perkawinan yang sesuai dengan ajaran
Islam. Terkenal pula kegiatannya menentang judi-judi resmi seperti Porkas dan
SDSB.
Sebagai upaya menghadapi tantangan zaman, sudah
waktuknya tampuk kepemimpinan dilimpahkan kepada para kader yang sudah
ditempanya sejak lama. Bersamaan dengan itu nama Yayasan Pembangunan
Pemeliharaan dan Pertolongan Islam (P3) juga ikut diganti menjadi Yayasan
Attaqwa. Maka KH. Noer Alie yang bertindak sebagai Pendiri dan Pelindung,
memilih putra tertuanya, KH. M. Amin Noer, MA, sebagai Ketua Yayasan Attaqwa.
Bersama H. Suko Martono, pejabat Pemerintah Daerah
Bekasi, dan tokoh Islam di Bekasi, KH. Noer Alie turut serta membentuk Yayasan
Nurul Islam, yang salah satu programnya adalah membangun gedung Islamic
Centre Bekasi, yang ide pembangunannya berasal dari KH. Noer Alie.
Dari catatan lain ditemukan bahwa pada tahun 1984 KH
Noer Alie kedatangan tamu pakar sejarah dari Belanda yang ditemani oleh seorang
penterjemah dari wartawan koran Pelita.
Dari pembicaraan Pakar sejarah dari Belanda tersebut
terkuak bahwa KH. Noer Alie, yang oleh penjajah Belanda lebih dikenal sebagai
Kolonel Noer Alie. Pakar sejarah dari Belanda itu kagum akan sosok KH. Noer
Alie dan berkata:
“Ternyata seorang Kolonel Noer Alie bukan tentara yang
gagah perkasa. Penampilan anda begitu bersahaja. Bahkan sangat sederhana. Malah
pakai kain dan kopiah putih. Saya takjub dengan jati diri Anda“.
Tatkala benih “perkampungan surga” mulai dirintis, dan
tatkala cahaya Islam mulai menunjukkan tanda-tanda kecerahannya, sejak awal Mei
1991 KH. Noer Alie jatuh sakit. Sembilan bulan kemudian, tepatnya pada 29
Januari 1992, KH. Noer Alie wafat, dipanggil Sang Khaliq di rumahnya, di
tengah-tengah kompleks Pondok Pesantren Attaqwa Putri yang dirintisnya sejak
muda.
Sumber : http://www.voa-islam.com
No comments:
Post a Comment