Robert Wolter Monginsidi adalah salah satu pahlawan nasional yang berjasa
dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dalam usia yang relatif muda, dia
telah mengurbankan banyak waktu dan tenaga serta hidupnya untuk bangsa yang
dicintainya. Inilah salah satu sikap yang harus diteladani seluruh bangsa
Indonesia, yang akhir-akhir ini sudah mulai langka. Rasa cinta tanah air yang
melekat dalam dirinya benar-benar mendasari kesetiaannya kepada negara.
Wolter lahir di desa Mamalayang, Manado pada tanggal 14 Februari 1925. Dia
adalah putra ke-4 dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Petrus Monginsidi dan
ibunya bernama Lina Suawa. Wolter memunyai panggilan kesayangan yaitu Bote’.
Dia adalah anak laki-laki yang gesit dan lincah, yang memiliki segudang harapan
dan keyakinan, juga kemauan keras untuk mewujudkan harapan. Wolter juga tipe
anak yang giat belajar dan membantu orang tua. Kepribadiannya yang tangguh dan
pantang menyerah adalah hasil didikan keluarganya yang menerapkan prinsip
disiplin dan rajin bekerja. Karenanya, tidak heran jika setelah dewasa Wolter
menjadi sosok yang penuh semangat juang, berkarakter, cerdas, dan berkarisma.
Bagi Wolter, pendidikan sangat penting. Setelah tamat dari HIS (setingkat
SD) pada tahun 1931, dia melanjutkan studi ke MULO Frater Don Bosco (setingkat
SMP) di Manado. Setelah itu, Wolter melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pertanian
yang didirikan Jepang di Tomohon, dan masuk ke Sekolah Guru Bahasa Jepang.
Dengan berbekal pengetahuannya yang cukup banyak itu, pada usia 18 tahun dia
mulai mengajar di Malalayang, Liwutung, dan Luwuk Banggai. Wolter juga pernah
bersekolah di SNIP Nasional di Makassar. Sayangnya, dia berhenti di tengah
jalan karena terjadinya Perang Pasifik. Meskipun demikian, dia tidak hanya
berpangku tangan; dia tetap aktif terlibat dalam perjuangan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia.
Sebagai negara yang baru saja merdeka, kegiatan diplomasi negara Indonesia
berpusat di pulau Jawa. Kenyataan ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk
menjadikan daerah-daerah di luar Jawa sebagai sasaran utama diplomasinya.
Pasukan NICA (Belanda) kemudian mendarat di Makassar dan menduduki beberapa
wilayah di Sulawesi, termasuk Ujung Pandang. Ketika Wolter melihat Belanda yang
masih ingin berkuasa bertindak kejam terhadap rakyat, ia memilih untuk berhenti
mengajar dan bergabung dalam barisan pejuang muda Indonesia.
Pada tanggal 27 Oktober 1945, Wolter memimpin serangan terhadap pos tentara
Belanda dalam kota. Akan tetapi, anggota barisan pemuda yang membantu Wolter
masih sedikit, sehingga perlawanan mereka mudah dikalahkan oleh Belanda.
Strategi gerilya yang diterapkan tidak mampu melumpuhkan pertahanan Belanda.
Belanda berhasil menguasai kota Ujung Pandang, karenanya pejuang-pejuang mengundurkan
diri ke luar kota dan memusatkan kekuatan di Polombangkeng. Untuk menyatukan
tenaga perjuangan, maka dibentuklah Laskar Pemberontakan Rakyat Sulawesi
Selatan (LAPRIS) pada tanggal 17 Juli 1946, di desa Rannaya. Dalam laskar
tersebut, Ranggong Daeng Romo dipilih menjadi ketua dan Wolter sebagai
sekretaris jenderal. Sesuai jabatannya ini, Wolter bertanggung jawab untuk
menyusun rencana operasi-operasi militer dan bergerak bersama para pemuda.
Untuk mengetahui rahasia musuh, tak jarang ia memasuki kota dan menyamar
sebagai Polisi Tentara Belanda. Dengan begitu, ia dapat menentukan sasaran
serangan. Dengan taktik tersebut, Belanda mengalami kesulitan dan kerugian
besar.
Untuk menghentikan perjuangan para pemuda ini, Belanda mengadakan razia
besar-besaran pada tanggal 28 Februari 1947. Wolter yang sedang melakukan
penyamaran ikut terjaring dalam razia itu, lalu ditangkap, dan dimasukkan ke
penjara. Tanggal 27 Oktober 1947, bersama Abdullah Hadade, H.M. Yoseph, dan
Lewang Daeng Matari, ia berhasil meloloskan diri melalui cerobong asap dapur
dan menimbulkan kekacauan di kalangan tentara Belanda. Karena kelihaian dan
kecekatannya, Belanda pun kewalahan untuk menangkapnya. Akhirnya, razia yang
dilakukan Belanda kian diperketat, dan Belanda memberikan iming-iming hadiah
bagi siapa yang bisa menangkap Wolter. Belanda memiliki banyak mata-mata untuk
melumpuhkan Wolter. Dalam persembunyiannya, Wolter berkata, "Tidak ada
lagi bantal untuk kubaringkan kepalaku di sini." Tidak lama kemudian
Wolter kembali ditangkap dan dipenjara di Kiskampement Makassar. Awalnya,
Belanda membujuk Wolter untuk bekerja sama, namun dia menolaknya. Alhasil,
pihak pengadilan kolonial Belanda, hakim Meester B. Damen, menjatuhkan vonis
hukuman mati kepada Wolter pada tanggal 26 Maret 1949. Dia dibawa ke Pacinang
untuk menjalani hukuman mati. Meskipun mengetahui bahwa dia akan mati, Wolter
tetap tenang. Dengan penuh keberanian, dia memegang Injil di tangan kirinya dan
mengepalkan tangan kanannya sambil memekikkan teriak "Merdeka!"
Sebelum Robert mengembuskan napas terakhirnya, dia menulis beberapa pesan
sebagai berikut:
- Jangan takut melihat masa yang akan datang. Saya telah turut membersihkan jalan bagi kalian, meskipun belum semua tenagaku kukeluarkan.
- Jangan berhenti mengumpulkan pengetahuan, agar kepercayaan pada diri sendiri tetap ada dan juga dengan kepercayaan teguh pada Tuhan, janganlah tinggalkan kasih Tuhan yang mengatasi segala-galanya.
- Bahwa sedari kecil harus tahu berterima kasih, tahu berdiri sendiri! Belajarlah melipat kepahitan! Belajar mulai dari 6 tahun, dan jadilah contoh mulai dari hal kecil -- bersedia berkorban untuk orang lain.
- Apa yang saya bisa tinggalkan hanyalah rohku saja, yaitu roh kesetiaan hingga terakhir pada tanah air dan tidak mundur sekalipun menemui rintangan apa pun menuju cita-cita kebangsaan yang ketat.
- Memang betul, bahwa ditembak bagi saya berarti kemenangan batin dan hukuman apa pun tidak membelenggu jiwa.
- Perjuanganku terlalu kurang, tapi sekarang Tuhan memanggilku, rohku saja yang akan tetap menyertai pemuda-pemudi. Semua air mata dan darah yang telah dicurahkan akan menjadi salah satu fondasi yang kokoh untuk tanah air kita yang dicintai Indonesia.
- Saya telah relakan diriku sebagai korban dengan penuh keikhlasan memenuhi kewajiban buat masyarakat kini dan yang akan datang, saya percaya penuh bahwa berkorban untuk tanah air mendekati pengenalan kepada Tuhan yang Maha Esa.
- Jika jatuh sembilan kali, bangunlah sepuluh kali; jika tidak bisa bangun, berusahalah untuk duduk dan berserah kepada Tuhan. (Pesan-pesan ini adalah pesan asli Wolter Robert Monginsidi.)
Sedangkan pesan terakhir Robert sebelum ditembak mati adalah:
- Setia hingga akhir di dalam keyakinan!
- Saya minta dimakamkan di Polombangkeng karena di sana banyak kawan saya yang gugur.
- Sampaikan salam saya kepada Papa, saudara-saudara saya di Malalayang serta teman-teman seperjuangan, saya jalani hukuman tembak mati ini dengan tenang, tidak ada rasa takut dan gentar demi kemerdekaan bangsa Indonesia tercinta.
Wolter gugur dalam usia 24 tahun, usia yang masih muda. Akan tetapi, baru
pada tanggal 10 November 1950, kuburannya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan
Ujung Pandang.
Atas jasa-jasanya kepada negara, Robert dianugerahi gelar
Pahlawan Nasional, Bintang Mahaputra (Adipradana) berdasarkan SK Presiden RI
No.088/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.
Sumber : http://biokristi.sabda.org
No comments:
Post a Comment