Tuesday, 24 May 2016

Robert Wolter Monginsidi - Teriak 'MERDEKA' Saat Akan Dihukum Mati


Robert Wolter Monginsidi adalah salah satu pahlawan nasional yang berjasa dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dalam usia yang relatif muda, dia telah mengurbankan banyak waktu dan tenaga serta hidupnya untuk bangsa yang dicintainya. Inilah salah satu sikap yang harus diteladani seluruh bangsa Indonesia, yang akhir-akhir ini sudah mulai langka. Rasa cinta tanah air yang melekat dalam dirinya benar-benar mendasari kesetiaannya kepada negara.

Wolter lahir di desa Mamalayang, Manado pada tanggal 14 Februari 1925. Dia adalah putra ke-4 dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Petrus Monginsidi dan ibunya bernama Lina Suawa. Wolter memunyai panggilan kesayangan yaitu Bote’. Dia adalah anak laki-laki yang gesit dan lincah, yang memiliki segudang harapan dan keyakinan, juga kemauan keras untuk mewujudkan harapan. Wolter juga tipe anak yang giat belajar dan membantu orang tua. Kepribadiannya yang tangguh dan pantang menyerah adalah hasil didikan keluarganya yang menerapkan prinsip disiplin dan rajin bekerja. Karenanya, tidak heran jika setelah dewasa Wolter menjadi sosok yang penuh semangat juang, berkarakter, cerdas, dan berkarisma.

Bagi Wolter, pendidikan sangat penting. Setelah tamat dari HIS (setingkat SD) pada tahun 1931, dia melanjutkan studi ke MULO Frater Don Bosco (setingkat SMP) di Manado. Setelah itu, Wolter melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pertanian yang didirikan Jepang di Tomohon, dan masuk ke Sekolah Guru Bahasa Jepang. Dengan berbekal pengetahuannya yang cukup banyak itu, pada usia 18 tahun dia mulai mengajar di Malalayang, Liwutung, dan Luwuk Banggai. Wolter juga pernah bersekolah di SNIP Nasional di Makassar. Sayangnya, dia berhenti di tengah jalan karena terjadinya Perang Pasifik. Meskipun demikian, dia tidak hanya berpangku tangan; dia tetap aktif terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Sebagai negara yang baru saja merdeka, kegiatan diplomasi negara Indonesia berpusat di pulau Jawa. Kenyataan ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menjadikan daerah-daerah di luar Jawa sebagai sasaran utama diplomasinya. Pasukan NICA (Belanda) kemudian mendarat di Makassar dan menduduki beberapa wilayah di Sulawesi, termasuk Ujung Pandang. Ketika Wolter melihat Belanda yang masih ingin berkuasa bertindak kejam terhadap rakyat, ia memilih untuk berhenti mengajar dan bergabung dalam barisan pejuang muda Indonesia.

Pada tanggal 27 Oktober 1945, Wolter memimpin serangan terhadap pos tentara Belanda dalam kota. Akan tetapi, anggota barisan pemuda yang membantu Wolter masih sedikit, sehingga perlawanan mereka mudah dikalahkan oleh Belanda. Strategi gerilya yang diterapkan tidak mampu melumpuhkan pertahanan Belanda. Belanda berhasil menguasai kota Ujung Pandang, karenanya pejuang-pejuang mengundurkan diri ke luar kota dan memusatkan kekuatan di Polombangkeng. Untuk menyatukan tenaga perjuangan, maka dibentuklah Laskar Pemberontakan Rakyat Sulawesi Selatan (LAPRIS) pada tanggal 17 Juli 1946, di desa Rannaya. Dalam laskar tersebut, Ranggong Daeng Romo dipilih menjadi ketua dan Wolter sebagai sekretaris jenderal. Sesuai jabatannya ini, Wolter bertanggung jawab untuk menyusun rencana operasi-operasi militer dan bergerak bersama para pemuda. Untuk mengetahui rahasia musuh, tak jarang ia memasuki kota dan menyamar sebagai Polisi Tentara Belanda. Dengan begitu, ia dapat menentukan sasaran serangan. Dengan taktik tersebut, Belanda mengalami kesulitan dan kerugian besar.

Untuk menghentikan perjuangan para pemuda ini, Belanda mengadakan razia besar-besaran pada tanggal 28 Februari 1947. Wolter yang sedang melakukan penyamaran ikut terjaring dalam razia itu, lalu ditangkap, dan dimasukkan ke penjara. Tanggal 27 Oktober 1947, bersama Abdullah Hadade, H.M. Yoseph, dan Lewang Daeng Matari, ia berhasil meloloskan diri melalui cerobong asap dapur dan menimbulkan kekacauan di kalangan tentara Belanda. Karena kelihaian dan kecekatannya, Belanda pun kewalahan untuk menangkapnya. Akhirnya, razia yang dilakukan Belanda kian diperketat, dan Belanda memberikan iming-iming hadiah bagi siapa yang bisa menangkap Wolter. Belanda memiliki banyak mata-mata untuk melumpuhkan Wolter. Dalam persembunyiannya, Wolter berkata, "Tidak ada lagi bantal untuk kubaringkan kepalaku di sini." Tidak lama kemudian Wolter kembali ditangkap dan dipenjara di Kiskampement Makassar. Awalnya, Belanda membujuk Wolter untuk bekerja sama, namun dia menolaknya. Alhasil, pihak pengadilan kolonial Belanda, hakim Meester B. Damen, menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Wolter pada tanggal 26 Maret 1949. Dia dibawa ke Pacinang untuk menjalani hukuman mati. Meskipun mengetahui bahwa dia akan mati, Wolter tetap tenang. Dengan penuh keberanian, dia memegang Injil di tangan kirinya dan mengepalkan tangan kanannya sambil memekikkan teriak "Merdeka!"

Sebelum Robert mengembuskan napas terakhirnya, dia menulis beberapa pesan sebagai berikut:

  1. Jangan takut melihat masa yang akan datang. Saya telah turut membersihkan jalan bagi kalian, meskipun belum semua tenagaku kukeluarkan.
  2. Jangan berhenti mengumpulkan pengetahuan, agar kepercayaan pada diri sendiri tetap ada dan juga dengan kepercayaan teguh pada Tuhan, janganlah tinggalkan kasih Tuhan yang mengatasi segala-galanya.
  3. Bahwa sedari kecil harus tahu berterima kasih, tahu berdiri sendiri! Belajarlah melipat kepahitan! Belajar mulai dari 6 tahun, dan jadilah contoh mulai dari hal kecil -- bersedia berkorban untuk orang lain.
  4. Apa yang saya bisa tinggalkan hanyalah rohku saja, yaitu roh kesetiaan hingga terakhir pada tanah air dan tidak mundur sekalipun menemui rintangan apa pun menuju cita-cita kebangsaan yang ketat.
  5. Memang betul, bahwa ditembak bagi saya berarti kemenangan batin dan hukuman apa pun tidak membelenggu jiwa.
  6. Perjuanganku terlalu kurang, tapi sekarang Tuhan memanggilku, rohku saja yang akan tetap menyertai pemuda-pemudi. Semua air mata dan darah yang telah dicurahkan akan menjadi salah satu fondasi yang kokoh untuk tanah air kita yang dicintai Indonesia.
  7. Saya telah relakan diriku sebagai korban dengan penuh keikhlasan memenuhi kewajiban buat masyarakat kini dan yang akan datang, saya percaya penuh bahwa berkorban untuk tanah air mendekati pengenalan kepada Tuhan yang Maha Esa.
  8. Jika jatuh sembilan kali, bangunlah sepuluh kali; jika tidak bisa bangun, berusahalah untuk duduk dan berserah kepada Tuhan. (Pesan-pesan ini adalah pesan asli Wolter Robert Monginsidi.)
Sedangkan pesan terakhir Robert sebelum ditembak mati adalah:
  • Setia hingga akhir di dalam keyakinan!
  • Saya minta dimakamkan di Polombangkeng karena di sana banyak kawan saya yang gugur.
  • Sampaikan salam saya kepada Papa, saudara-saudara saya di Malalayang serta teman-teman seperjuangan, saya jalani hukuman tembak mati ini dengan tenang, tidak ada rasa takut dan gentar demi kemerdekaan bangsa Indonesia tercinta.
Wolter gugur dalam usia 24 tahun, usia yang masih muda. Akan tetapi, baru pada tanggal 10 November 1950, kuburannya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Ujung Pandang. 

Atas jasa-jasanya kepada negara, Robert dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, Bintang Mahaputra (Adipradana) berdasarkan SK Presiden RI No.088/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973. 

Sumber : http://biokristi.sabda.org



No comments:

Post a Comment