Dr. Gerungan Saul
Samuel Jacob Ratulangi atau lebih dikenal dengan nama Sam Ratulangi
(lahir di Tondano, Sulawesi Utara, 5 November 1890 dan meninggal di
Jakarta, 30 Juni 1949) adalah salah seorang politikus dan pahlawan nasional
Indonesia. Sam Ratulangi juga sering disebut-sebut sebagai
tokoh multidimensional. Filsafatnya yang berbunyi, "Si tou
timou tumou tou" -- manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika
sudah dapat memanusiakan manusia -- sangat terkenal hingga
sekarang.
Sam Ratulangi adalah
anak lelaki satu-satunya dari tiga bersaudara, yang merupakan buah
cinta pasangan Jozias Ratulangi dan Agustina -- putri dari Mayoor
Gerungan. Ayah Sam adalah seorang guru yang sangat cerdas. Oleh
karenanya, ia dikirim ke Belanda untuk mendapatkan pendidikan lanjutan.
Setelah memperoleh Ijazah Hoofdakte, Jozias kembali ke tanah air
dan menjadi kepala sekolah di Hoofdenschool, sekolah untuk
anak-anak bangsawan atau raja-raja.
Sam mengenyam
pendidikan dasar di Sekolah Dasar Belanda (Europeesche Lagere School) di
Tondano dan melanjutkan ke Sekolah Menengah (Hoofdenschool) di
sana. Setelah menamatkan pendidikannya di Hoofden School, Sam kemudian
meninggalkan tanah kelahirannya untuk belajar di Indische Artsenschool
(Sekolah Dokter Hindia) di Jakarta. Namun, setibanya di Jakarta,
ia mengurungkan niatnya untuk masuk ke sekolah dokter dan lebih
memilih untuk belajar di Koningin Wilhelmina School (Sekolah Teknik) dan
tinggal di asrama "Beck Volten". Empat tahun kemudian ia berhasil
menamatkan pendidikannya dengan nilai gemilang. Latar belakang
pendidikannya itu membuka kesempatan baginya untuk bekerja sebagai ahli
teknik mesin di daerah Priangan Selatan, dan terlibat dalam proyek
pembuatan jalan kereta api dari Garut ke selatan, melalui Rawah
Lakbok ke Maos hingga ke Cilacap.
Saat itu, Sam
merasakan diskriminasi ras yang dilakukan oleh Belanda. Meskipun orang-orang
Indonesia bekerja lebih baik dan lebih pintar, gajinya lebih rendah
dibandingkan orang-orang yang memiliki nama kebelanda-belandaan.
Bahkan, mereka juga mendapatkan fasilitas penginapan yang lebih
baik daripada orang-orang Indonesia. Hal ini membuat Sam terpacu
untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi.
Setelah proyek
pembuatan jalan kereta api tersebut selesai, Sam melanjutkan studinya
ke Vrije Universiteit van Amsterdam, Belanda. Pada tahun 1914, ia
dipercaya menjadi Ketua Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Belanda.
Di Belanda, Sam berhasil meraih gelar diploma seperti: Hulpacte guru
(1914), Middelbare Acte Wiskunde dan Middelbare Acte Opvoedkunde
(1915), gelar Doktor der Natur-Philosophie (Dr.Phil.)
di Zuerich, Schweiz
(1919), dan Wis en Natuurkunde (Ilmu Pasti dan Alam).
Setelah cukup lama
tinggal di Belanda, Sam memperistri seorang wanita Belanda, Dr. Suze
Houtman. Ia seorang psikiater. Dalam pernikahan mereka, Tuhan
mengaruniakan 2 orang anak -- Oddi dan Zus. Namun sayang, pernikahan
mereka tidak bertahan lama dan berakhir dengan perceraian, sementara
hak pengasuhan anak jatuh ke tangan Sam. Untuk mencukupi kebutuhan
hidup, Sam bekerja sebagai wartawan. Dan, sebagai seorang ayah, Sam
menyadari pentingnya kasih seorang ibu untuk anak-anaknya. Oleh
karena itu, dia memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang wanita
putri pasangan Jan Nicolaas Tambayong dan
Fransina Everdina
Lefrandt, Maria Catharina Josephine `Tjen`Tambajong. Dari
pernikahannya yang kedua, Sam dianugerahi 3 orang putri.
Perjalanan Karier
Setelah kembali ke
tanah air, Sam diangkat menjadi guru Algemene Middlebare School
(AMS) di Yogyakarta oleh pemerintah Hindia Belanda.Akan tetapi,
pekerjaannya ini terpaksa ditinggalkannya karena berbagai pertimbangan; salah
satunya karena Zentgraaf, pemimpin surat kabar Belanda "Het
Niews van den Dag", tidak terima anak-anak Belanda diajar oleh orang Indonesia.
Setelah meletakkan jabatannya sebagai guru, Sam berangkat ke Bandung
dan mendirikan Maskapai Assuransi Indonesia. Pada tahun 1927, Sam
Ratulangi dipilih oleh rakyat Minahasa sebagai anggota Volksraad (DPR) di
Batavia. Kemudian, Sam kembali ke Minahasa dan bekerja sebagai
sekretaris Minahasa Raad atau Dewan Minahasa. Di sana, ia memperjuangkan
penghapusan "Herendiensten", kerja paksa tanpa upah, yang dikenakan kepada
setiap orang yang tinggal di Minahasa. Perjuangannya tidak
sia-sia, tidak lama setelah tuntutannya diserukan, pemerintah Belanda
akhirnya menghapuskan kerja paksa di Minahasa.
Selain itu, Sam juga
mengurus dan mengantar para transmigran dari daerah sekitar Danau
Tondano ke Minahasa Selatan dan ke daerah Modoinding dan Dumoga,
sehingga mereka mendapat kehidupan baru. Lalu, pada tahun 1932, Sam
sekeluarga kembali ke Jakarta dan mendirikan VIA (Vereniging van
Indonesiche Academici) -- perkumpulan yang beranggotakan kaum
cendekiawan bangsa Indonesia, para dokter,insinyur, ahli hukum,
dan anggota Volksraad. Dalam sebuah pertemuan VIA, para pengurus
juga pernah mengundang Presiden Quezon beserta istri dari Filipina.
Beberapa waktu setelah peristiwa itu, Sam dituduh melakukan penggelapan
uang karena ia tidak memeriksa dengan teliti dana anggaran dalam
sebuah deklarasi. Alhasil, ia dimasukkan ke dalam penjara selama 4 bulan
dan selama 3 tahun tidak diperbolehkan menjadi anggota Volksraad.
Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat juang Sam di bumi Indonesia.
Setelah bebas, Sam
Ratulangi kembali menjalani hidup untuk memperjuangkan
pembangunan Indonesia. Sam juga pernah menjabat sebagai Gubernur Sulawesi yang
pertama. Selain berkiprah di dunia politik, Sam
juga menghasilkan
karya tulis antara lain: "Kurven-Systeme in Volstaendigen
Figuren" (1917), "De Meetkunde voor Euclides" buat Natuurwetenschappelijk
Congres (1920), "Een Methode voor het grafisch teekenen van 2e
graadscurven" (1922), "Indonesia in de Pacific" (1937), dan "De
Pacific" (1938). Selain itu, ia juga membuat banyak tulisan lain dalam
mingguan seperti "Peninjauan", 1934 dan "Nationale Commentaren"
(1938 -- 1942).
Dan, sebagai seorang
yang aktif berpolitik, Sam pernah menjabat beberapa posisi
penting dalam organisasi, seperti:
- Ketua "Indische Vereeniging" di Amsterdam (1914 -- 1915). Ini adalah organisasi mahasiswa di Belanda, yang kemudian berubah menjadi "Perhimpunan Indonesia" dengan azas tujuan Kemerdekaan Bangsa Indonesia.
- Ketua "Association d’Etudiants Asiatique" di Zurich (1915 -- 1916). Dalam organisasi ini tergabung mahasiswa-mahasiswa dari Korea, Jepang, Muangthai, India, Indonesia, dan negara-negara lain di Asia.
- Ketua Partai Politik "Persatuan Minahasa", yang menjadi anggota dari federasi "GAPI" yang berhubungan erat dengan partai-partai politik nasional lainnya.
- Ketua "Vereeniging van Indonesische Academici" (V.I.A), yakni Persatuan para Akademisi Indonesia, yang bertujuan untuk mempersatukan para sarjana dan kaum cendekiawan dari negara-negara di Asia Tenggara.
- Sekretaris "Dewan Minahasa" (1924 -- 1928).
- Anggota "Dewan Rakyat" (Volksraad en College van Gedelegerden), dengan pidato-pidatonya yang mengecam politik kolonial Belanda (1927 -- 1937).
- Anggota "Nationale Fractie" dari Dewan Rakyat yang menuntut penghapusan segala perbedaan politik, ekonomi, dan intelektual.
- Anggota redaksi surat kabar mingguan "Peninjauan" (1934).
- Anggota pengurus "GAPI" (Gabungan Politik Indonesia), yang tujuan mempersatukan semua partai politik di Indonesia.
- Direktur redaksi majalah politik "Nationale Commentaren" (1938 -- 1942).
- Pendiri, sekaligus ketua, dari perkumpulan "Sumber Darah Rakyat" (SUDARA) (1944 -- 1945).
- Pemimpin misi Sulawesi yang berangkat ke Jakarta pada bulan Agustus 1945 untuk turut menghadiri rapat-rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang sedang berlangsung di Jakarta, serta untuk menghadiri pengesahan dan pengumuman UUD 1945, dan Pendirian Negara Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.
- Tanggal 22 Agustus 1945, Sam diangkat menjadi Gubernur Selebes oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno(1945 -- 1946).
- Pelopor pengadaan Petisi kepada PBB yang ditandatangani oleh ratusan pemuka rakyat Sulawesi Selatan, untuk mempertahankan daerah Sulawesi sebagai bagian mutlak dari negara RI.
- Pembentuk "Partai Kemerdekaan Irian" dari belakang layar yang diketuai oleh Silas Papare (1947).
- Penasihat Pemerintah RI dan anggota delegasi RI dalam perundingan dengan Pemerintah Belanda (1948 -- 1949).
Sam juga banyak
berkecimpung dalam organisasi sosial/ekonomi, misalnya guru STM di Yogyakarta
(1919 - 1922), direktur Maskapai Asuransi "Indonesia"
di Bandung (1922 -- 1924), ketua penasihat perkumpulan buruh
"Vereeniging van Onder - Officieren B bij de K. P. M. (VOOB) -- suatu organisasi calon
nakhoda Indonesia yang bekerja pada Koninklijke Paketvaart
Maatschappij (KPM), ketua Studiebeurs "Minahasa", pengurus "Persatuan
Perkumpulan Radio Ketimuran", ikut mendirikan "Serikat Penanaman Kelapa
Indonesia" (1939), dan organisasi "Ibunda Irian" di belakang layar. Selain
itu, dalam upaya mempersatukan seluruh Indonesia, Sam bersama
Mr. I Gusti Ketut Puja, Ir. Pangeran Muhammad Noor, Dr. T.S.T.
Diapari, W.S.T. Pondang, dan Sukardjo Wirjopranoto, mengeluarkan
pernyataan yang dikenal dengan "Manifes Ratulangi" yang berisi seruan kepada
para pemimpin Indonesia bagian Timur, untuk menentang setiap usaha
yang bertujuan memisahkan Indonesia bagian Timur dari NKRI.
Karena sikapnya yang sangat tegas dan vokal, Sam sering ditangkap oleh
pemerintah Belanda dan diasingkan dari keluarganya. Namun,
hal itu tidak menyurutkan semangat patriotik dalam dirinya. Sayangnya,
perjuangannya harus berakhir karena adanya penyakit yang
menyerang tubuhnya. Pada tanggal 30 Juni 1949, Sam meninggal dunia karena
penyakitnya saat ia masih menjadi tawanan musuh. Ia dimakamkan
di Tondano. Untuk menghargai jiwa nasionalismenya yang tinggi, namanya
diabadikan sebagai nama bandar udara di Manado, Bandara Sam Ratulangi,
dan Universitas Negeri di Sulawesi Utara, Universitas Sam
Ratulangi.
Selain itu, Sam juga
memperoleh beberapa penghargaan sebagai berikut.
- Bintang Maha Putera
Tingkat I
- Tanda Penghormatan
Satya Lencana Perintis Pergerakan Kemerdekaan
- Tanda Jasa Pahlawan
- Piagam Tanda
Kehormatan Dewan Pers
- Piagam Untuk Para
Keluarga Pahlawan
- Pahlawan Nasional
Sumber : http://www.sabda.org
No comments:
Post a Comment