Sri Susuhunan
Pakubuwono VI (1823-1830), bernama asli Raden Mas Sapardan, dikenal juga dengan
sebutan Sinuhun Bangun Tapa karena beliau sering melakukan meditasi atau tapa brata.
Pakubuwono VI lahir di Surakarta pada tanggal 26 April 1807, ibunya bernama KRAy.
Sasrakusuma. Pakubuwono VI naik tahta pada tanggal 15
September 1823.
Pakubuwana VI adalah pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yang memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah Hindia
Belanda sejak tahun 1825. Namun, sebagai seorang raja yang terikat perjanjian dengan
Belanda,
Pakubuwana VI berusaha menutupi persekutuannya itu.
Penulis naskah-naskah babad waktu
itu sering menutupi pertemuan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro menggunakan bahasa
simbolis. Misalnya, Pakubuwana VI dikisahkan pergi bertapa ke Gunung
Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi
menemui Pangeran Diponegoro secara diam-diam.
Pangeran Diponegoro juga pernah menyusup ke
dalam keraton Surakarta untuk berunding dengan
Pakubuwana VI seputar sikap Mangkunegaran
dan Madura.
Ketika Belanda
tiba, mereka pura-pura bertikai dan saling menyerang. Konon, kereta Pangeran Diponegoro tertinggal dan segera
ditanam di dalam keraton oleh Pakubuwana VI.
Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi
ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan, ia juga mengirim pasukan
untuk pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita
mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut.
Belanda akhirnya
berhasil menangkap Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830. Sasaran berikutnya
ialah Pakubuwana VI. Kecurigaan Belanda dilatarbelakangi oleh penolakan Pakubuwana VI atas
penyerahan beberapa wilayah Surakarta kepada Belanda.
Belanda berusaha
mencari bukti untuk menangkap Pakubuwana VI. Juru tulis keraton yang bernama
Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita) ditangkap untuk dimintai keterangan.
Sebagai anggota keluarga Yasadipura yang anti Belanda,
Pajangswara menolak membocorkan hubungan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Ia akhirnya meninggal
setelah disiksa secara kejam. Konon jenazahnya ditemukan penduduk di sekitar
Luar Batang.
Belanda tetap
saja menangkap Pakubuwana VI dan membuangnya ke Ambon pada tanggal 8
Juni 1830 dengan
alasan bahwa Mas Pajangswara sudah membocorkan semuanya, dan kini ia hidup
nyaman di Batavia.
Fitnah yang dilancarkan pihak Belanda ini
kelak berakibat buruk pada hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu Pakubuwana
IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita.
Pakubuwana
IX sendiri masih berada dalam kandungan ketika Pakubuwana VI berangkat ke Ambon. Takhta Surakarta
kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yang bergelar Pakubuwana
VII.
Pakubuwana
VI meninggal dunia di Ambon pada tanggal 2 Juni 1849. Menurut laporan
resmi Belanda,
ia meninggal karena kecelakaan saat berpesiar di laut.
Pada
tahun 1957 jasad
Pakubuwana VI dipindahkan dari Ambon ke Astana Imogiri, yaitu kompleks pemakaman keluarga raja keturunan Mataram. Pada
saat makamnya digali, ditemukan bukti bahwa tengkorak Pakubuwana VI berlubang
di bagian dahi. Menurut analisis Jenderal KGPH.
Jatikusumo (salah satu putra Pakubuwana
X), lubang tersebut seukuran peluru senapan baker.
Ditinjau
dari letak lubang, Pakubuwana VI jelas tidak wafat karena bunuh diri, apalagi
kecelakaan saat berpesiar. Raja Surakarta yang anti penjajahan ini diperkirakan
wafat dibunuh dengan cara ditembak pada bagian dahi.
Sumber : Wikipedia
No comments:
Post a Comment