Tuesday, 31 May 2016

Sultan Daeng Radja - Si Jaksa Yang Benci Belanda


Sultan Daeng Radja lahir  pada tanggal 20 Mei 1894, di Saoraja di Matekko Gantarang, wilayah Kabupaten Bulukumba. Putra pertama pasangan Passari Petta Tanra Karaeng Gantarang dan Andi Ninong ini lebih banyak menghabiskan masa mudanya di kampung halaman. Ia orang yang taat beribadah dan aktif dalam kegiatan Muhamamadiyah.   Ia juga disebut-sebut sebagai pendiri masjid di Ponre yang pada jamannya konon terbesar di Sulawesi Selatan.

Memasuki sekolah rakyat di Bulukumba, Volksschool selama tiga tahun. Lalu melanjutkan  ke Europeesche Lagere School (ELS) di Bantaeng. Selepas dari ELS, Sultan Daeng Radja melanjut ke OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) di Makassar.

Setelah lulus dari OSVIA, Sultan Daeng Radja bekerja sebagai juru tulis kantor pemerintahan Onder Afdeeling Makassar. Karir Sultan Daeng Radja cukup cemerlang. Tidak beberapa lama ia diangkat menjadi calon jaksa dan diperbantukan di Inl of Justitie Makassar. Beberapa posisi penting lain yang dijabatnya adalah menjadi Eurp Klerk pada Kantor Asisten Residen Bone di Pompanua, Klerk di Kantor Controleur Sinjai, wakil kepala pajak di Takalar, kepala pajak di Enrekang. Jabatan terakhir yang diembannya semasa pendudukan Belanda adalah  Jaksa pada Landraad Bulukumba.

Perjuangan Sultan Daeng Radja sendiri sudah mulai terlihat saat ia bersekolah di OSVIA. Ia sangat membenci Belanda, akibat kesewenang-wenangan dan penindasan terhadap rakyat Bulukumba.
Semangat perjuangannya makin bertumbuh tatkala ia mulai aktif mengikuti perkembangan dan pertumbuhan organisasi i Budi Utomo (Boedi Oetomo) dan Serikat Dagang Islam. Akhirnya, Sultan Daeng Radja mengikuti kongres pemuda Indonesia 28 Oktober 1928. Kongres ini menghasilkan rumusan yang kemudian disebut Sumpah Pemuda.

Pada bulan Agustus 1945, Sultan Daeng Raja beserta Andi Pangerang Daeng Rani dan Dr.Ratulangi menjadi utusan Sulawesi Selatan untuk mengikuti rapat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) di Jakarta.

Seusai rapat PPKI,  Sultan Daeng Raja langsung pulang ke Bulukumba. Beliau mengabarkan hasil rapat PPKI dan menyusun rencana untuk persiapan kemerdekaan Indonesia. Kabar kemerdekaan RI yang disampaikan Sultan Daeng Radja, disambut rasa haru dan gembira oleh seluruh rakyat Bulukumba.

Setelah proklamasi Kemerdekaan, Sultan Daeng Radja dituduh terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Sehingga pemerintah NICA memecatnya dan diasingkan ke Menado, Sulawesi Utara. Tanggal 8 Januari 1950, setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Pemeritah Belanda, Sultan Daeng Radja pun dibebaskan.

Sultan Daeng Radja wafat pada 17 Mei 1963 di Rumah Sakit Pelamonia Makassar dalam usia 70 tahun. Semasa hidupnya, Sultan Daeng Radja memiliki empat istri dan 13 anak.

Berkat jasa-jasanya dalam melawan penjajahan di Indonesia, Sultan Daeng Radja dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 085/TK/Tahun 2006 tertanggal 3 November 2006.

Dari Berbagai Sumber

No comments:

Post a Comment