Sultan Daeng Radja lahir pada tanggal 20 Mei
1894, di Saoraja di Matekko Gantarang, wilayah Kabupaten Bulukumba. Putra
pertama pasangan Passari Petta Tanra Karaeng Gantarang dan Andi Ninong ini
lebih banyak menghabiskan masa mudanya di kampung halaman. Ia orang yang taat
beribadah dan aktif dalam kegiatan Muhamamadiyah. Ia juga
disebut-sebut sebagai pendiri masjid di Ponre yang pada jamannya konon terbesar
di Sulawesi Selatan.
Memasuki
sekolah rakyat di Bulukumba, Volksschool selama tiga tahun. Lalu
melanjutkan ke Europeesche Lagere School (ELS) di Bantaeng.
Selepas dari ELS, Sultan Daeng Radja melanjut ke OSVIA (Opleiding School
Voor Inlandsche Ambtenaren) di Makassar.
Setelah
lulus dari OSVIA, Sultan Daeng Radja bekerja sebagai juru tulis kantor
pemerintahan Onder Afdeeling Makassar. Karir Sultan Daeng Radja cukup
cemerlang. Tidak beberapa lama ia diangkat menjadi calon jaksa dan
diperbantukan di Inl of Justitie Makassar. Beberapa posisi penting lain yang
dijabatnya adalah menjadi Eurp Klerk pada Kantor Asisten Residen Bone di
Pompanua, Klerk di Kantor Controleur Sinjai, wakil kepala pajak di Takalar,
kepala pajak di Enrekang. Jabatan terakhir yang diembannya semasa pendudukan Belanda
adalah Jaksa pada Landraad Bulukumba.
Perjuangan
Sultan Daeng Radja sendiri sudah mulai terlihat saat ia bersekolah di OSVIA. Ia
sangat membenci Belanda, akibat kesewenang-wenangan dan penindasan terhadap
rakyat Bulukumba.
Semangat
perjuangannya makin bertumbuh tatkala ia mulai aktif mengikuti perkembangan dan
pertumbuhan organisasi i Budi Utomo (Boedi Oetomo) dan Serikat Dagang Islam.
Akhirnya, Sultan Daeng Radja mengikuti kongres pemuda Indonesia 28 Oktober
1928. Kongres ini menghasilkan rumusan yang kemudian disebut Sumpah Pemuda.
Pada
bulan Agustus 1945, Sultan Daeng Raja beserta Andi Pangerang Daeng Rani dan Dr.Ratulangi menjadi utusan Sulawesi Selatan untuk mengikuti rapat PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) di Jakarta.
Seusai
rapat PPKI, Sultan Daeng Raja langsung pulang ke Bulukumba. Beliau
mengabarkan hasil rapat PPKI dan menyusun rencana untuk persiapan kemerdekaan
Indonesia. Kabar kemerdekaan RI yang disampaikan Sultan Daeng Radja, disambut
rasa haru dan gembira oleh seluruh rakyat Bulukumba.
Setelah
proklamasi Kemerdekaan, Sultan Daeng Radja dituduh terlibat dalam perjuangan
mempertahankan kemerdekaan RI. Sehingga pemerintah NICA memecatnya dan
diasingkan ke Menado, Sulawesi Utara. Tanggal 8 Januari 1950, setelah pengakuan
kedaulatan RI oleh Pemeritah Belanda, Sultan Daeng Radja pun dibebaskan.
Sultan
Daeng Radja wafat pada 17 Mei 1963 di Rumah Sakit Pelamonia Makassar dalam usia
70 tahun. Semasa hidupnya, Sultan Daeng Radja memiliki empat istri dan 13 anak.
Berkat
jasa-jasanya dalam melawan penjajahan di Indonesia, Sultan Daeng Radja
dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera
Adipradana berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 085/TK/Tahun 2006 tertanggal 3
November 2006.
Dari
Berbagai Sumber
No comments:
Post a Comment