Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur
adalah presiden RI ke empat. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil pada
tanggal 4 Agustus 1940 di Denanyar Jombang. Sulung dari enam bersaudara ini
adalah putera dari seorang pahlawan nasional. Ayahnya, KH. Abdul Wahid Hasyim,
adalah tokoh NU yang menjadi menteri agama RI pertama. Kakeknya adalah KH.
Hasyim Asy’ari, seorang kyai besar sekaligus dikenal sebagai pendiri Nahdlatul
‘Ulama (NU). Ibunya Gus Dur bernama Sholihah, adalah puteri KH. Bisyri
Syamsuri, yang juga merupakan tokoh besar NU dan pernah pula menjabat sebagai
Rais ‘Am ketiga setelah KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Abdul Wahab Hasbullah. Secara garis keturunan ini Gus Dur berasal
dari tradisi pesantren dan merupakan darah biru. Melihat dari latar belakang
ini, wajar bila kemudian perjalanan intelektualitasnya tidak lepas dari kultur
pesantren.
Pendidikan dasar Gus Dur didapatkan Jakarta yaitu di
SD KRIS dan akhirnya pindah ke SD Matraman Perwari. Pada tahun 1953, Gus Dur
kecil lulus dari pendidikan dasarnya dan melanjutkan pendidikan menengah di
Yogyakarta. Ia masuk ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (1953-1957). Ia juga
nyantri di Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak Jogjakarta dengan menetap di
rumah tokoh NU KH. Ali Ma’sum.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Yogyakarta, Gus
Dur pindah ke Magelang. Ia mendalami ilmu agama di Pesantern Tegalrejo Magelang
tahun 1957-1959 di bawah asuhan KH. Khudlori. Ia melanjutkan pendidikan
agamanya di Pesantren Tambakberas di Kota Jombang tahun 1959.
Karena tingkat intelektualitasnya yang mumpuni, pada
tahun 1963 Gus Dur mendapat beasiswa dari kementerian agama, untuk melanjutkan
pendidikan tinggi di universitas al-Azhar di Kairo. Ia pun berangkat ke
Mesir pada November 1963. Namun lebih banyak menghabiskan waktunya di
perpustakaan American University Library, salah satu perpustakan terlengkap di
Kairo.
Gus dur merasa kecewa dengan sistem pendidikan
al-Azhar, namun dia sangat menikamati kehidupannya di Mesir. Selain menonton
pertandingan bola, ia suka menonton film Eropa dan Amerika.
Akibat rasa kecewanya, Gus Dur melanjutkan petualangan
ke Baghdad. Dia kuliah di Departement of
Religion Universitas Baghdad, Irak. Dan
menyelesaikan pendidikannya di Irak pada tahun 1970.
Gus Dur ingin melanjutkan pendidikannya di Eropa. Pada
tahun 1971ia melakukan penjajakan pada Universitas Kohln,
Heidelberg, Paris dan Leiden. Tapi sayangnya kualisifaki mahasiswa Timur Tengah
tidak diterima di Universitas-universitas Eropa, sehingga ia pergi ke Mc
Gill University, Kanada, untuk mempelajari kajian-kajian keislaman secara
mendalam.
Pada akhir tahun 1971, Gus Dur memutuskan untuk
kembali ke Indonesia. Dari sinilah perjalanan karirnya dimulai.
Gus Dur menjadi pengajar di Universitas Hasyim Asy’ri
Jombang dari tahun 1972 - 1974. Atas permintaan pamannya KH Yusuf Hasyim, ia
menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng pada tahun 1974-1980. Selain itu Gus
Dur aktif menulis di berbagai media massa. Tulisan-tulisan Gus Dur cukup
berkualitas dan ia pun mencoba menjadi komentator sosial. Popularitas Gus Dur
makin menanjak dan ia sering mendapatkan undangan untuk memberikan kuliah dan
seminar di Jakarta.
Pada tahun 1979 Gus Dur memutuskan pindah ke Jakarta.
Abdurrahman Wahid menjadi wakil katib Syuriah PBNU. Disini, ia terlibat
dalam banyak aktifitas, diskusi dan perdebatan serius mengenai masalah sosial,
politik, keagamaan, pesantern, dan budaya, dengan berbagai kalangan lintas
agama, suku dan disiplin, di pelbagai tempat dalam dan luar negeri.
Diluar sebagai tokoh agama, Gus Dur juga terlibat
dalam seni budaya. Pada tahun 1980-1983 Gus Dur menjadi anggota pertimbangan Agha Khan Award untuk Arsitektur
Khan di Indonesia. Pada tahun 1983-1985 menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta
Jakarta (DKJ) Taman Ismail Marzuki periode 1983-1985. . Ia juga menjadi ketua
juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) 1986, 1987.
Keterlibatan Gus Dur dalam kegiatan tersebut, tidak
sedikitpun menyurutkan perhatiannya untuk perkembangan NU. Pada tahun 1984 saat
muktamar ke-27 NU di Pondok Pesantren Salafiyah Sukorejo Situbondo,, Gus Dur
pun terpilih secara aklamasi untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU. Tercatat
Gus Dur tiga kali menjadi ketua PBNU. Ia terpilih kembali pada muktamar ke-28
di pesantren Krapyak Jogjakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat
(1994).
Pada masa pemerintahan Habibie atau tepatnya 23 Juli
1998 , Abdurrahman Wahid bersama para
kiai para kiai-kiai Nahdlatul Ulama mempelopori terbentuknya Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB).
Pada Juni 1999, PKB sudah ikut dalam pemilu legislatif
dan memperoleh suara 12 % . Sedangkan pemenang pemilu pada saat itu PDI-P,
memperoleh suara 33 %. Megawati beranggapan bahwa akan memenangkan pemilihan
presiden pada sidang MPR. PDI-P sadar bahwa suara mereka tidak terlalu
mayoritas, sehingga berkoalisi dengan PKB.
Pada Juli 1999, Amien Rais menggalang koalisi poros
tengah yang terdiri dari partai-partai Islam. Koalisi ini mengajukan Abdurrahman
Wahid sebagai calon presiden. Akhirnya pada tanggal 20 Oktober 1999, lewat
sidang MPR, Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI ke 4. Gus Dur memperoleh 373
suara mengungguli Megawati yang memperoleh 313 suara. Pada kesempatan itu juga
Gus Dur mencalonkan Megawati sebagai wakilnya. Dan Megawati terpilih setelah
mengalahkan Hamzah Haz.
Akhir jabatan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid
terjadi ketika berlangsung Sidang istimewa MPR pada tanggal 23 Juli 2001. MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan
menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.
Gus Dur adalah tokoh yang pluralis. Ia sangat peduli
dengan keberagaman, perbedaan dan keanekaragaman. Termasuk dalam hal kehidupan
beragama. Ia sangat dekat dengan tokoh-tokoh agama lain selain Islam. Ia juga
sering keluar masuk tempat peribadatan agama-agama lain. Gus Dur juga yang
berani membela orang etnis Tionghoa untuk mendapatkan hak yang sama sebagai
warga negara.
Gus Dur meninggal
pada tanggal 30 Desember 2009. Ia meninggalkan istrinya Sinta Nuriah yang
dinikahinya 11 Juli 1968 dan 4 orang puteri Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah
Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Pada pernikahannya Gus
Dur diwakilkan oleh kakeknya Kiai Bisri Syansuri karena pada saat itu ia masih ada di Mesir. (dari berbagai sumber)
No comments:
Post a Comment