Tuesday, 7 June 2016

Bapak Bangsa Abdurrahman Wahid - Presiden RI ke 4

Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur adalah presiden RI ke empat. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denanyar Jombang. Sulung dari enam bersaudara ini adalah putera dari seorang pahlawan nasional. Ayahnya, KH. Abdul Wahid Hasyim, adalah tokoh NU yang menjadi menteri agama RI pertama. Kakeknya adalah KH. Hasyim Asy’ari, seorang kyai besar sekaligus dikenal sebagai pendiri Nahdlatul ‘Ulama (NU). Ibunya Gus Dur bernama Sholihah, adalah puteri KH. Bisyri Syamsuri, yang juga merupakan tokoh besar NU dan pernah pula menjabat sebagai Rais ‘Am ketiga setelah KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Abdul Wahab Hasbullah.  Secara garis keturunan ini Gus Dur berasal dari tradisi pesantren dan merupakan darah biru. Melihat dari latar belakang ini, wajar bila kemudian perjalanan intelektualitasnya tidak lepas dari kultur pesantren.
 
Pendidikan dasar Gus Dur didapatkan Jakarta yaitu di SD KRIS dan akhirnya pindah ke SD Matraman Perwari. Pada tahun 1953, Gus Dur kecil lulus dari pendidikan dasarnya dan melanjutkan pendidikan menengah di Yogyakarta. Ia masuk ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (1953-1957). Ia juga nyantri di Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak Jogjakarta dengan menetap di rumah tokoh NU KH. Ali Ma’sum.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Yogyakarta, Gus Dur pindah ke Magelang. Ia mendalami ilmu agama di Pesantern Tegalrejo Magelang tahun 1957-1959 di bawah asuhan KH. Khudlori. Ia melanjutkan pendidikan agamanya di Pesantren Tambakberas di Kota Jombang tahun 1959.

Karena tingkat intelektualitasnya yang mumpuni, pada tahun 1963 Gus Dur mendapat beasiswa dari kementerian agama, untuk melanjutkan pendidikan tinggi di universitas al-Azhar di Kairo. Ia pun berangkat ke Mesir pada November 1963. Namun lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan American University Library, salah satu perpustakan terlengkap di Kairo.

Gus dur merasa kecewa dengan sistem pendidikan al-Azhar, namun dia sangat menikamati kehidupannya di Mesir. Selain menonton pertandingan bola, ia suka menonton film Eropa dan Amerika.

Akibat rasa kecewanya, Gus Dur melanjutkan petualangan ke Baghdad.  Dia kuliah di Departement of Religion Universitas Baghdad, Irak.  Dan menyelesaikan pendidikannya di Irak pada tahun 1970.

Gus Dur ingin melanjutkan pendidikannya di Eropa. Pada tahun 1971ia melakukan penjajakan pada Universitas Kohln, Heidelberg, Paris dan Leiden. Tapi sayangnya kualisifaki mahasiswa Timur Tengah tidak diterima di Universitas-universitas Eropa, sehingga ia pergi ke Mc Gill University, Kanada, untuk mempelajari kajian-kajian keislaman secara mendalam.

Pada akhir tahun 1971, Gus Dur memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Dari sinilah perjalanan karirnya dimulai.

Gus Dur menjadi pengajar di Universitas Hasyim Asy’ri Jombang dari tahun 1972 - 1974. Atas permintaan pamannya KH Yusuf Hasyim, ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng pada tahun 1974-1980. Selain itu Gus Dur aktif menulis di berbagai media massa. Tulisan-tulisan Gus Dur cukup berkualitas dan ia pun mencoba menjadi komentator sosial. Popularitas Gus Dur makin menanjak dan ia sering mendapatkan undangan untuk memberikan kuliah dan seminar di Jakarta.
 
Pada tahun 1979 Gus Dur memutuskan pindah ke Jakarta. Abdurrahman Wahid menjadi wakil katib Syuriah PBNU. Disini, ia terlibat dalam banyak aktifitas, diskusi dan perdebatan serius mengenai masalah sosial, politik, keagamaan, pesantern, dan budaya, dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin, di pelbagai tempat dalam dan luar negeri.

Diluar sebagai tokoh agama, Gus Dur juga terlibat dalam seni budaya. Pada tahun 1980-1983 Gus Dur menjadi anggota  pertimbangan Agha Khan Award untuk Arsitektur Khan di Indonesia. Pada tahun 1983-1985 menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta Jakarta (DKJ) Taman Ismail Marzuki periode 1983-1985. . Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) 1986, 1987.

Keterlibatan Gus Dur dalam kegiatan tersebut, tidak sedikitpun menyurutkan perhatiannya untuk perkembangan NU. Pada tahun 1984 saat muktamar ke-27 NU di Pondok Pesantren Salafiyah Sukorejo Situbondo,, Gus Dur pun terpilih secara aklamasi untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU. Tercatat Gus Dur tiga kali menjadi ketua PBNU. Ia terpilih kembali pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Jogjakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994).

Pada masa pemerintahan Habibie atau tepatnya 23 Juli 1998 ,  Abdurrahman Wahid bersama para kiai para kiai-kiai Nahdlatul Ulama mempelopori terbentuknya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Pada Juni 1999, PKB sudah ikut dalam pemilu legislatif dan memperoleh suara 12 % . Sedangkan pemenang pemilu pada saat itu PDI-P, memperoleh suara 33 %. Megawati beranggapan bahwa akan memenangkan pemilihan presiden pada sidang MPR. PDI-P sadar bahwa suara mereka tidak terlalu mayoritas, sehingga berkoalisi dengan PKB.

Pada Juli 1999, Amien Rais menggalang koalisi poros tengah yang terdiri dari partai-partai Islam. Koalisi ini mengajukan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Akhirnya pada tanggal 20 Oktober 1999, lewat sidang MPR, Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI ke 4. Gus Dur memperoleh 373 suara mengungguli Megawati yang memperoleh 313 suara. Pada kesempatan itu juga Gus Dur mencalonkan Megawati sebagai wakilnya. Dan Megawati terpilih setelah mengalahkan Hamzah Haz.

Akhir jabatan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid terjadi ketika berlangsung Sidang istimewa MPR pada tanggal 23 Juli 2001.  MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.

Gus Dur adalah tokoh yang pluralis. Ia sangat peduli dengan keberagaman, perbedaan dan keanekaragaman. Termasuk dalam hal kehidupan beragama. Ia sangat dekat dengan tokoh-tokoh agama lain selain Islam. Ia juga sering keluar masuk tempat peribadatan agama-agama lain. Gus Dur juga yang berani membela orang etnis Tionghoa untuk mendapatkan hak yang sama sebagai warga negara. 

Gus Dur meninggal pada tanggal 30 Desember 2009. Ia meninggalkan istrinya Sinta Nuriah yang dinikahinya 11 Juli 1968 dan 4 orang puteri Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Pada pernikahannya Gus Dur diwakilkan oleh kakeknya Kiai Bisri Syansuri karena pada saat itu ia masih ada di Mesir. (dari berbagai sumber)


No comments:

Post a Comment