Thursday 12 May 2016

Halim Perdanakusuma - Pahlawan Udara Dari Sampang

Halim Perdanakusuma dilahirkan pada tanggal 18 November 1922 di Sampang Madura,  pulau yang terkenal karena garam dan karapan sapi itu.  Ayahnya, Haji Abdul Gani Wongsotaruno adalah Patih Sumenep.  Karena itu tidaklah mengherankan  bila si ayah mengharapkan agar putra ketiga  dari lima bersaudara itu kelak mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang pamongpraja.   Sifatnya yang ramah dan periang, menyebabkan Halim banyak memperoleh sahabat.  Selain itu ia juga memiliki  perasaan halus  yang tercermin dalam kesenangannya  kepada musik dan seni lukis.  Di bidang seni musik ia dikenal sebagai pemain biola yang cukup memukau.  Lukisan yang banyak dibuatnya  memberikan kesan bahwa ia memiliki bakat dibidang ini.

Pendidikannya diawali dengan  memasuki HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Sumenep pada tahun 1928 dan tamat tahun 1935. Setelah tamat  ia melanjutkan  sekolah ke MULO ( Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Surabaya.  Dalam tahun  1938 ia sudah menggondol  ijazah MULO.  Sejak sekolah  ia sudah diarah oleh ayahnya untuk menjadi seorang  pamongpraja.  Karena itu  setelah ia menamatkan  MULO ia langsung dikirim ke Magelang, menempuh pendidikan  pada MOSVIA (Mideelbaar Opleiding School Voo Inlandsche Ambtenaren  = Sekolah Pendidikan untuk Pegawai Pangrehpraja Hiandia).

Ternyata harapan siayah tidak terkabul.   Halim sebenarnya   tidak membantah keinginan itu dan ia pun cukup pandai untuk menerima  setiap pelajaran yang diberikan kepadanya.   Tetapi perubahan  situasi menyebabkan Haji Abdul Gani tidak sempat melihat anaknya  menjadi seorang pegawai pemerintah.    Menjelang akhir tahun 1939 di Eropa pecah Perang Dunia II.   Bulan Mei  1940 negeri Belanda  diduduki Jerman.  Pemerintah Hindia Belanda segera mengumumkan  milisi umum di Indonesia  untuk menghadapi kemungkinan menjalarnya perang ke wilayah ini.   

Ketika itu Halim masih duduk ditingkat dua MOSVIA.  Sebagai seorang pemuda ia tidak luput dari kewajiban milisi itu.  Angkatan Laut Hindia Belanda menentukan tempat baginya yaitu pendidikan  opsir torpedo di Surabaya.   Tetapi pendidikan ini tidak sampai diselesaikannya.   Akhir tahun 1941 Jepang menjamah wilayah Pasifik.   Tanggal 8 Desember 1941 Jepang menyerang Pangkalan Angkatan Laut Amerika di Pearl Harbor.  Sesudah itu mereka mengarahkan ancamannya ke Indonesia, wilayah yang memiliki bahan mentah yang sangat penting bagi keperluan perang itu.   Angkatan Perang Hindia  Belanda tidak mampu menandingi keunggulan Angkatan Perang Jepang.  Tanggal 8 Maret 1942 Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati, Jawa Barat.

Sebelum penyerahan tanpa syarat terjadi, Halim beserta seluruh staf dan siswa pendidikan Opsir Angkatan Laut Hindia Belanda telah dipindahkan ke Amerika Serikat.   Di tempat yang baru ini ia memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan militernya.  Ia pindah mengikuti pendidikan pada Royal Canadian Air Forces sebagai peninjau.

Tugas-tugas yang dilakukan  Halim selaku penerbang Angkatan Laut , banyak terpusat di Eropa.   Di benua inilah  ia memperoleh kematangan jiwa  dan pengalaman yang kelak disumbangkan  bagi bangsa dan negaranya.

Sesudah perang berakhir, ia kembali ke Indonesia.  Ia tidak lagi  menemui kekuasaan asing di wilayah ini.  Sebuah negara baru sudah berdiri.   Suatu pemerintahan yang dipimpin oleh bangsanya sendiri, giat membenahi diri.   Tetapi pemerintahan itu pun sedang menghadapi tantangan  dari kekuatan luar  yang ingin kembali menegakkan kekuasaannya yang lama.

Dalam suasana demikian, tidak sulit bagi  Halim untuk mencari tempat di tengah-tengah bangsanya.   Pengalamannya memberikan arah ketempat yang harus dipilihnya.  Pada saat itu pula S. Suryadarma dibantu oleh beberapa tenaga lain seperti Agustinus Adisutjipto dan Abdulrachman  Saleh, sedang sibuk membangun kekuatan udara.   Kedatangan Halim Perdanakusuma di tanah air diketahui oleh S. Suryadarma .  Seorang utusan, Kapten Udara Arifin Marzuki  yang kebetulan  adalah adik ipar Halim, dikirim untuk menemuinya.   Utusan itu membawa pesan Suryadarma mengajak Halim untuk turut menyumbangkan tenaganya  membangun kekuatan udara.  Ajakan itu diterima dengan senang hati.   Halim segera berangkat ke Yogyakarta dan sejak saat itu  mulailah kesibukannya membina TKR Jawatan Penerbangan.

Sesuai dengan keahliannya dan pengalaman yang dimilikinya, Halim diserahi tugas  sebagi Perwira Operasi.  Ia bertanggungjawab  atas pelaksanaan tugas  operasi udara.  Tugas itu meliputi banyak bidang, antara lain menembus blokade udara Belanda, mengatur siasat serangan udara atas daerah lawan, operasi penerjunan  pasukan di luar Jawa dan penyelenggaraan operasi penerbangan dalam rangka pembinaan wilayah.

Disamping itu ia diserahi pula tugas sebagai instruktur navigasi di Sekolah Penerbangan yang didirikan dan dipelopori oleh Agustinus Adisutjipto.  Halim tidak mungkin menyamakan keadaan sekolah itu dengan keadaan sekolah sejenis  yang pernah dimasukinya di Royal Canadian Air Forces.   Di situ ia belajar  dengan fasilitas yang serba lengkap.   Tetapi di tanah airnya  ketika itu, mengharapkan fasilitas yang demikian  tak ubahnya seperti ‘minta tanduk kepada kuda’.

Sekolah Penerbang itu masih bersifat serba darurat.   Tenaga Instruktur kurang, begitu pula fasilitas lainnya.  Pesawat yang digunakan untuk  latihan ialah pesawat latih lanjut Cureng, peninggalan Jepang.    Tanda-tanda instrument  tertulis dalam huruf kanji.  Dari segi fisik, pesawat itu sudah tergolong tua.  Tetapi untunglah, baik instruktur maupun pelajar tidak lekas putus asa.   Kekurangan fasilitas tidak menjadi hambatan yang menyebabkan pelajaran terganggu.  Semangat untuk mempertahankan negara  ternyata mampu mengalahkan  kesulitan yang dihadapi.   Bila dikehendaki  oleh situasi, dan hal  itu seringkali terjadi, para kadet belajar terbang sambil melakukan tugas operasi.    Demikian pula instrukturnya, sambil memberikan pelajaran sekaligus melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pembinaan organisasi.

Salah satu tugas yang dibebankan ke Angkatan Udara pada waktu itu ialah membawa para pejabat  yang akan melakukan perundingan  dengan pihak Serikat di Jakarta tentang pengangkutan  tawanan perang dan kaum interniran.    Kesempatan itu sekaligus ingin dimanfaatkan  untuk mengembangkan  sayap tanah air dalam rangka pembinaan wilayah udara di daerah-daerah.   Tanggal 23 April 1946 tiga buah pesawat Tachikawa 98 Cukiu tinggal landas dari Pangkalan Udara  Maguwo, Yogyakarta menuju Jakarta.  Ketiga pesawat tersebut berhasil mendarat di lapangan terbang Kemayoran-Jakarta, setelah menempuh penerbangan selama satu tiga perempat jam.  Pesawat yang ditumpangi Komodor Muda Udara Halim mengalami kerusakan  pada alat pendaratnya.   Tetapi penerbang dan penumpangnya selamat.   Dalam pesawat itu Halim bertindak sebagai navigator.

Esok harinya, dari Jakarta dilakukan terbang formasi 3 pesawat ke Lapangan Terbang Gorda di Banten kemudian lewat  Selat Sunda penerbangan dilanjutkan  ke Sumatera Selatan.   Karena keadaan cuaca sangat buruk, pesawat tidak dapat melanjutkan  perjalanan  dan kembali ke Banten.   Sesudah beristirahat di Banten, ketiga pesawat itu kembali ke Yogyakarta.

Penerbangan  formasi tidak hanya terbatas dilakukan ke jurusan barat saja, melainkan ke segala jurusan.   Yang menarik perhatian diantara penerbangan ini adalah penerbangan yang untuk pertama kali dilakukan ke pulau Madura tanggal 12 Mei 1946.   Penerbangan adalah  Opsir Udara I H. Sujono dan Navigator Halim.   Berhubung lapangan  terbang di pulau  Madura belum disiapkan, maka mereka terpaksa melakukan  pendaratan darurat di sebuah lapangan pembuatan garam.  Setelah ke  Madura, Halim kembali melakukan penerbangan ke arah barat yaitu ke Sumatera Selatan.  Pada tanggal 20 September 1946 bersama pilot Opsir  II Imam Suwongso Wirjosaputro berangkat dari Yogayakarta  menuju Pangkalan Udara Karang Endah, dekat Palembang untuk meresmikan pembukaan pangkalan tersebut.

Menghadapi Agresi Militer I Belanda, AURI tidak tinggal diam.  Agresi militer ini dilancarkan Belanda pada hari Minggu tanggal 21 Juli 1947.  Mereka memulai aksinya dengan melakukan pemboman dan penyerangan  dari udara secara serentak terhadap semua pangkalan udara Republik Indonesia sehingga banyak menimbulkan kerusakan.    Hanya lapangan terbang Maguwo Yogyakarta, pada hari itu terhindar dari serangan musuh karena tertutup kabut tebal.  Seluruh rangkaian pangkalan udara yang memanjang dari Jawa Barat hingga Jawa Timur mendapat gilirannya.

Mereka menjatuhkan bom-bom ringan dan roket, menyerang dengan senapan mesin dan meriam terhadap lapangan terbang Gorda dekat Serang, Kalijati dekat Subang, Cibeureum dekat Tasikmalaya, Panasan dekat Solo, Maospati dekat Madiun dan Jatiwangi dekat Lumajang.  Lapangan terbang Bugis dekat Malang mengalami kerusakan paling berat.  Sejumlah besar pesawat  terbang dihancurkan di landasan oleh pesawat-pesawat  tempur musuh.    Dengan demikian seolah-olah Angkatan Udara  RI telah lumpuh.   Untuk menunjukan kepada  dunia luar bahwa AURI masih hidup, selaku perwira operasi, Komodor Muda Udara Halim Perdanaksuma mendapat perintah untuk menyusun serangan balasan  terhadap lawan.  Setelah rencana tersusun dengan baik  ditetapkan hari H dan Jam J nya.   Demikianlah, pada tanggal 29 Juli 1947  pukul 05.00 pagi tiga buah pesawat   telah disiapkan  di lapangan terbang Maguwo untuk melakukan serangan udara.  Kepala Staf Angkatan Udara Komodor Udara S. Suryadarma  ikut melepas keberangkatannya.   Mula-mula lepas landas pesawat Mitsubishi 98 Guntei jenis pembom penyelundup dengan penerbang  Muljono dan penembak Abdulrachman menuju sasaran Semarang.  Pesawat dilengkapi dengan senapan mesin dan beberapa buah bom dengan seberat 40 kg.   Kemudian menyusul 2 buah pesawat Cureng masing-masing dengan penerbng Suharnoko Harbani  dan penembak udara Kaput menuju sasaran Ambarawa  dan sebuah lagi dengan penerbang  Sutardjo Sigit dan penembak udara  Sutardjo dengan sasaran Salatiga.   Tiap-tiap pesawat dilengkapi dengan dua buah bom seberat 50 kg yang diletakan di kiri dan kanan sayap pesawat bagian bawah, ditambah dengan satu peti peluru mortar  seberat 15 kg.   Misi serang udara atas daerah pendudukan  musuh ini berhasil mencapai target seperti apa yang direncanakan dan semuanya kembali ke pangkalan dengan selamat.

Selain itu, pada waktu dilakukan operasi penerjunan pasukan payung ke Kalimantan, Halim selaku Perwira Operasi banyak memberikan andil  dalam pelaksanaannya.   Operasi ini dilakukan pada tanggal 17 Oktober 1947 dengan menggunakan pesawat Dakota RI-002 dan berhasil dengan baik.

Agresi Militer I Belanda sangat dirasakan akibatnya  oleh Republik Indonesia.  Untuk menembus blokade  Belanda terhadap daerah Republik Indonesia, telah ditempuh berbagai cara.   Salah satu adalah lewat udara.  Republik Indonesia berhasil  menarik simpati dunia luar  antara lain dengan datangnya pesawat-pesawat  asing ke Indonesia.  Selain itu dirasakan pula betapa pentingnya  perhubungan antara Jawa dan Sumatera.   Kedunya merupakan daerah terpisah  yang harus dapat dihubungi satu sama lain.    Baru pada tahun 1947 dilakukan usaha nyata  ke arah itu.  Pesawat-pesawat bermotor  satu buatan Jepang tidak sesuai untuk Sumatera.   Daerahnya masih berhutan rimba luas, jarak satu kota dengan kota lainnya jauh, penduduk jarang dan jalan-jalan buruk.  Berhubungan dengan itu  pada permulaan tahun 1947 disewa sebuah pesawat pengangkut  Dakota dari luar negeri.  Ibukota Sumatera waktu itu Bukittinggi harus mempunyai hubungan langsung dengan Yogyakarta.  Sesudah lapangan terbang disiapkan secara gotong royong oleh rakyat, tepat pada hari yang telah ditentukan  mendarat sebuah pesawat Dakota yang pertama  di Bukittinggi.  Akan tetapi berhubung dengan suasana politik, perhubungan udara itu tidak dapat diselenggarakan  secara tetap.  Karena kesulitan perhubungan itu konsolidasi di lingkungan AURI sulit pula dilaksanakan.  Namun oleh Pemimpin Tertinggi Tentara telah digariskan, bagaimana pun juga AURI harus dibangun di Sumatera.  Keputusan  ini diambil  mengingat situasi politik semakin genting, dimana Belanda  sewktu-waktu dapat merebut dan menduduki pangkalan-pangkalan udara yang berada di Jawa.   Apabila hal tersebut terjadi, maka Sumatera dijadikan basis perjungan dan persiapan ke arah itu harus dilakukan jauh-jauh sebelumnya.

Tugas untuk membangun AURI di Sumatera  dipercaya kepada Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma.   Beliau sangat erat berhubungan dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman.  Pendapat dan sarannya  tentang Angkatan Udara sering diminta oleh Jenderal Soedirman.   Pemerintah menugaskan Halim ke Sumatera dan  diangkat sebagai  pejabat AURI di Komandemen  Tentara Sumatera .  Selama melaksankan tugas , Halim berhasil menjalin kerjasama  dengan Panglima Tentara di Suamtera dan masyarakat di daerah itu.   Bahkan lebih daripada itu ia berhasil menghimpun dana mengumpulkan emas dari rakyat untuk kemudian digunakan membeli pesawat.   Salah satu bukti hasil pengumpulan dana adalah dengan berhasil dibelinya sebuah pesawt Avro Anson dengan registrasi VH-BBY.  Pesawat itu dibeli dengan harga 12 kg emas murni yang kemudian diberi nomor registrasi RI-003.

Usaha pembinaan keluar dan ke dalam terus ditingkatkan. Setelah  Bukittinggi menyusul perbaikan beberapa buah pangkalan lain.  Satu konsep yang akan dipakai sebagai dasar bagi pembangunan AURI khususnya di Suamtera  telah disusunnya pula. Juga usaha membuka hubungan dengan luar negeri untuk mendapatkan bantuan senjata dan logistik lainnya untuk keperluan perjuangan, terus dilakukan.  Dalam kaitan usaha mencari bantuan ke luar negeri inilah Halim bersama Opsir Udara I Iswahjudi pergi ke Bangkok pada bulan Desember 1947.

Ia bertolak ke Bangkok dengan menggunakan pesawat Avro Anson VH-BBY (RI-003) dengan penerbang Iswahjudi dan seorang penumpang bernama Keegan berkebangsaan Australia yang telah menjual pesawat tersebut.   Selain mengantarkan Keegan pulang, misinya adalah untuk  melakukan penjajakan lebih jauh tentang kemungkinan  pembelian senjata dan pesawat serta melakukan inspeksi terhadap perwakilan RI mengatur penukaran dan penjualan  barang-barang yang berhasil dikirim dari dalam negeri dan kemudian memasukan barang Singapura ke daerah RI  menembus blokade Belanda.

Sesudah menyelesaikan tugas di Bangkok, RI-003 kembali berangkat  menuju Singapura.   Dalam perjalanan kembali inilah tiba-tiba  di daerah Perak-Malaysia pesawat tersebut terjebak dalam cuaca buruk.   Pesawat jatuh di Pantai Tanjung Hantu Perak-Malaysia.  Laporan pertama tentang kecelakaan diterima oleh polisi  Lumut dari 2 orang warga Cina penebang kayu bernama Wong Fatt  dan Wong Kwang pada sekitar pukul 16.30 tanggal 14 Desember 1947.  Seorang petugas kepolisian  berbangsa Inggris bernama Burras segera pergi ketempat musibah.  Baru pada pukul 18.00 ia tiba dilokasi kejadian.  Ia tidak menemukan sesuatu, air sedang pasang naik.    Baru pada keesokan harinya  Kepala Polisi Lumut  bernama Che Wan dan seorang anggota Polisi Inggris bernama Samson berangkat ke tempat kecelakaan  dan tiba  ditempat pukul 09.00.   Kepadanya kemudian dilaporkan  tentang ditemukan  sesosok jenazah  yang mengapung  beberapa ratus yards dari lokasi reruntuhan pesawat, yang oleh para nelayan  setempat dibawa ke darat.   Juga ditemukan barang-barang lain diantaranya sebuah dompet , buku harian pesawat, kartu-kartu nama, sarung pistol yang tidak ada pistolnya, sarung pisau dengan nama Keegan di atasnya, dan beberapa potong pakaian.

Jenazah kemudian dibawa kerumah sakit Lumut untuk dilakukan pemeriksaan.   Berdasarkan bukti yang ada  dapat dipastikan bahwa  jenazah ini adalah jenazah Halim Perdanakusuma.  Sedangkan nasib Iswahjudi hingga sekarang tidak ditemukan jenazahnya.   Berita tentang kecelakaan pesawat RI-003 ini segera tersiar luas, diantaranya dimuat dalam surat-surat kabar  berbahasa Inggris  seperti The Times dan Malay Tribune terbitan tanggal 16 Desember 1947.

Banyak tokoh politik dan tokoh masyarakat Malaya menaruh perhatian  terhadap peristiwa tersebut.   Lebih-lebih mereka yang menaruh simpati terhadap perjuangan bangsa Indonesia.   Diantara adalah  adalah Ketua Partai Kebangsaan Melayu Malaya (PKMM) bernama Ishak Haji Muhammad (Pak Sako) yang kebetulan sedang berada di Ipoh.  Setelah mendengar berita tersebut ia segera mengirim  telegram kepada kepada Ketua Cabang PKMM Didings bernama Nuruddin  Tak untuk memberikan bantuannya.  Dengan diketuai Nuruddin  Tak dibentuk sebuah panita pemakaman.  Panitia segera menghubungi polisi Lumut untuk meminta izin mengadakan  upacara pemakaman.  Karena sebaain besar  terdiri atas anggota PKMM, polisi Lumut yang sebagian besar terdiri atas orang Inggris mencurigai usaha itu.   (PKKM adalah satu organisasi politik yang menuntut kemerdekaan lepas dari tangan Inggris).  Lewat suatu perdebatan, akhirnya izin diberikan dengan syarat tidak boleh diadakan secara besar-besaran.   Karena di Lumut belum ada makam orang-orang Islam, maka panitia mencari daerah lain.   Daerah tersebut adalah Teluk Murok terletak sekitar 5 km dari Lumut.    Pada tanggal 19 Desember 1947 dilakukan upacara pemakaman menurut agama Islam.  Dr. Utojo wakil RI di Singapura tiba di Lumut.   Beliau terlambat datang karena di beberapa tempat Malaya bagian barat sedang dilanda banjir.   Disekitar tempat kecelakaan , Dr. Utojo menemukan sebuah kipas dan pecahan piring, mangkok yang tersebar di tempat kecelakaan.   Kemungkinan semua itu adalah oleh-oleh untuk keluarga di rumah.

Dengan gugurnya Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma berarti bangsa dan negara harus merelakan seorang putra terbaiknya.  Khususnya bagi Angkatan Udara berarti kehilangan seorang prajurit navigatornya yang cakap dan berpengalaman, yang justru sangat diperlukan  pada saat itu.   Lebih-lebih almarhum adalah salah satu dari 2 orang navigator yang dimiliki  Angkatan Udara pada saat itu.   Hilangnya almarhum berarti pula hilangnya  seorang Perwira Operasi Angkatan Udara yang cepat dalam melakukan perencanaan, tegas dalam tindakan dan cepat dalam mengambil keputusan.   Juga dengan gugurnya Halim berarti kehilangan salah satu pimpinan Angkatan  Udara yang berani, penuh disiplin, bertanggung jawab dan disenangi baik oleh rekan maupun oleh bawahannya.

Halim meninggalkan seorang isteri bernama Koessadalina  dan seorang anak laik-laki bernama Ian Santoso.   Nama itu diberikan sebagai kenang-kenangan  terhadap sahabat karibnya, seorang Wing Commander berkebangsaan Scotlandia yang gugur dalam Perang   Dunia II sewaktu melakukan tugas penerbangan  bersama Halim.  Sebagai putra ketiga dari lima bersaudara, Halim mempunyai dua orang kakak dan dua orang adik.  Salah seorang adiknya adalah Makki Perdanakusuma, Marsekal Muda TNI.

Sebagai penghargaan atas jasa dan pengabdiannya terhadap Angkatan Udara maka pimpinan TNI Angkatan Udara menaikan pangkatnya menjadi Laksamana Muda Udara (sekarang Marsekal Muda Udara) Anumerta.   Untuk mengabadikan namanya, pada tanggal 17 Agustus 1952 nama Pangkalan Udara Cililitan diubah menjadi Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.  Tanggal 15 Februari 1961, bersama-sama dengan penganugrahan bintang jasa kepada almarhum Prof. dr. Abdulrachman Saleh, Halim Perdanakusuma memperoleh Bintang Mahaputra tingkat IV.   Penghargaan tertinggi diberikan pemerintah berupa gelar Pahlawan Nasional.

Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 10 November 1975, kerangka jenazah almarhum yang bersemayam di Malaysia, dipindahkan dan dimakamkan kembali dengan upacara kemiliteran di tempat yang lebih layak, yakni di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta.  Lebih dari semua penghargaan  itu, Abdul Halim Perdanakusuma telah mendapat tempat dihati bangsa.


Sumber : www.tni-au.mil.id

No comments:

Post a Comment