Pong Tiku dikenal dengan nama Ne' Baso, lahir di dekat Rantepao di dataran tinggi Sulawesi (sekarang Kabupaten Toraja Utara,
Sulawesi Selatan)
pada tahun 1846. Waktu itu, Sulawesi selatan merupakan
pusat perdagangan kopi dan dikuasai oleh beberapa panglima perang. Tiku adalah
anak terakhir dari enam bersaudara yang lahir dari salah satu keluarga panglima
perang tersebut; ia merupakan putra dari Siambo' Karaeng, penguasa Pangala',
dan istrinya, Leb'ok. Sebagai pemuda yang atletis, Tiku sangat ramah terhadap pedagang
kopi yang mengunjungi desanya.
Pada tahun 1880, pecah perang antara Pangala' dan Baruppu', negara tetangga
yang dikuasai Pasusu. Tiku pun memimpin serangan ke negara tetangganya. Setelah
Pasusu dikalahkan, Tiku menggantikannya sebagai penguasa Baruppu'. Kerajaan yang baru dicaplok ini
memiliki sawah yang luas dan aman sehingga Tiku memiliki
kekuasaan yang besar. Meski suku Toraja umumnya lebih menghargai tenaga manusia
dan membunuh orang secukupnya saja, sejarah lisan Baruppu' mendeskripsikan Tiku
sebagai sosok pembunuh yang tidak memandang pria, wanita, atau anak-anak.
Tak lama kemudian, ayah Tiku meninggal dunia. Tiku naik sebagai penguasa
Pangala'. Sebagai pemimpin, Tiku berusaha memperkuat ekonomi setempat dengan
meningkatkan perdagangan kopi dan persekutuan strategis dengan suku-suku Bugis
di dataran rendah. Kesuksesan ekonomi ini membuat para penguasa di sekitarnya
menghormati dan mengagumi Tiku.
Khawatir akan persaingan dari kerajaan Luwu
dan Bone di utara dan
Sidareng dan Sawitto di selatan, Tiku berupaya memperkuat pertahanan negaranya.
Kerajaan yang dipimpinnya menyepakati beberapa perjanjian dagang. Akan tetapi, masuknya suku Bugis memicu
ketegangan antarnegara yang memuncak pada Perang
Kopi tahun 1889. Tiku berpihak pada kerajaan-kerajaan selatan yang
dipengaruhi Bugis.
Pemimpin militer Bone, Petta Panggawae, dan pasukan Songko' Borrong pimpinannya menyerbu Pangala' dan
bersekutu dengan Pong Maramba', seorang penguasa kecil. Panggawae menduduki ibu
kota Tondon dan menjarahnya. Tiku dan warga sipil terpaksa meninggalkan wilayah
tersebut. Tiku, dibantu pemimpin Sidenreng, Andi Guru, merebut kembali
sisa-sisa Tondon malam itu juga. Perang berakhir tahun 1890 setelah utusan Belanda – mewakili pemerintah kolonial di Jawa –
tiba di Bone. Namun demikian, negara-negara yang masih berdiri saat itu mulai
berebut kekuasaan atas perdagangan senjata
dan budak; setiap
negara saling menukarkan senjata dengan budak. Tiku juga terlibat dalam
perdagangan ini.
Tiku akhirnya bersekutu dengan pemimpin Bugis di sekitarnya agar mengurangi
ketegangan dan meningkatkan perdagangan. Ia juga mempelajari sistem penulisan dan bahasa mereka sehingga Tiku dapat berkomunikasi
dengan para pemimpin Bugis. Pada waktu itu, Tiku sudah menguasai
sejumlah wilayah. Untuk menghindari terulangnya
penyerbuan Tondon, Tiku mulai membangun tujuh benteng serta beberapa pos
pemantau dan gudang di wilayahnya. Benteng-benteng Toraja ini dirancang
untuk mencegah serbuan ke lembah yang mengarah ke pusat penduduk. Benteng milik
Tiku tersebar antara wilayah timur dan barat kerajaannya. Ia menerapkan sistem pajak untuk
mendanai pertahanan kerajaan. Pemilik sawah wajib menyerahkan dua per tiga
hasil buminya, sedangkan petani lainnya menyerahkan sepuluh persennya saja.
Pada 1905, tanah-tanah Bugis dan Toraja sebelumnya telah disatukan dalam
empat wilayah utama, yang salah satunya dibawah kepemimpinan Tiku. Pada buan Juli tahun tersebut, raja Gowa,
sebuah negara tetangga, mulai mengumpulkan prajurit untuk bertarung melawan
para tukang invasi dan mempertahankan sisa-sisa tanah Toraja dari penaklukan.
Ma'dika Bombing, seorang pemimpin dari negara selatan, menunjuk Tiku sebagai
asistennya. Sebulan setelah para pengirim kabar disebar, para pemimpin
berkumpul di Gowa untuk membuka rencana aksi. Hasilnya, para penguasa lokal
berhenti berperang satu sama lain dan berfokus pada Belanda, yang memiliki kekuatan
unggul; namun, konflik-konflik internal tak
secara keseluruhan mereda. Pada saat sebuah pertemuan
dilangsungkan, Belanda mulai membuat penyerduan ke Luwu. Tiku, memerintahkan
pengusiran Belanda dari kota pertahanan Rantepo dengan mulai menghimpun
pasukannya dan menempatkan pada pertahanan-pertahanannya.
Pada Januari 1906, Tiku mengirim para pengintai ke Sidareng dan Sawitto,
sementara Belanda yang melakukan invasi, menyelidiki cara bertempur mereka.
Ketika para pengintai melaporkan bahwa pasukan Belanda memiliki kekuatan yang
besar dan nampaknya menggunakan kekuatan sihir saat melawan pasukan Bugis, ia
memerintahkan para pasukan di benteng-bentengnya untuk bersiap dan mulai
mengumpulkan cadangan makanan berupa beras; sebulan kemudian, Luwu jatuh ke tangan
pasukan Belanda, yang membuat pasukan Tiku berpindah ke tempat yang lebih
pelosok. Pada bulan Februari, para pasukan Tiku, yang dikirim ke
kerajaan-kerajaan selatan, mengabarkan bahwa tak lama lagi kepemimpinan koheren
dan dua kerajaan kalah melawan bangsa Eropa. Kabar tersebut membuat Tiku
menghimpun pasukan yang lebih banyak lagi dan membentuk dewan militer yang
beranggotakan sembilan orang, dengan dirinya sendiri sebagai pemimpinnya.
Pada Maret 1906, kerajaan-kerajaan lainnya semuanya runtuh, meninggalkan
Tiku sebagai penguasa Toraja terakhir. Belanda mengambil alih Rantepao tanpa
perlawanan, tanpa menyadari bahwa penyerahan kota tersebut diatur oleh Tiku.
Melalui sebuah surat, Kapten komandan Belanda Kilian meminta Tiku untuk
menyerah, sebuah permintaaan yang enggan ditepati Tiku. Menyadari bahwa Tiku memiliki pasukan
dan sejumlah benteng, Kilian tidak berniat untuk melakukan serangan secara
langsung. Sehingga, pada April 1906, ia mengirim sebuah kelompok ekspedisioner
ke Tondon. Namun pendekatan kelompok tersebut ditolak, setelah pada tengah
malam pasukan Tiku menyerang kamp Belanda di Tondon; peristiwa tersebut memaksa
pasukan Belanda untuk mundur ke Rantepao sementara pasukan Tiku mengejar serta
membuat banyak korban menderita di sepanjang jalan.
Aksi militer Tiku berdasarkan pada pengalamannya bertarung dengan penguasa
lain. Sementara itu, Belanda dan pasukan pribumi campuran mereka, tak berhasil mengalahkan pasukan Tiku
dan tak tahan dengan cuaca dingin yang terbilang tinggi.
Pasukan ekspedisioner gagal melakukan kesepakatan terbuka antara Tiku, yang
bersembunyi di bentengnya di Buntu Batu, dan pasukan Belanda. Tiku mengirim
mata-mata kepada pasukan Belanda di Rantepao. Pada 22 Juni, mata-mata
melaporkan bahwa pada malam sebelumnya sebuah batalion Belanda yang terdiri
dari sekitar 250 pria dan 500 pengangkut berangkat ke desa tersebut, berjalan
ke atas selatan menuju benteng Tiku di Lali' Londong. Tiku memerintahkan agar
jalanan disabotase, di mana perjalanan pada saat itu membutuhkan waktu dari
satu sampai lima hari. Pada malam 26 Juni, pasukan Tiku menyerang pasukan
Belanda di luar Lali' Londong, sebuah serangan di mana Belanda belum
mempersiapkan apapun; tidak ada yang dibunuh pada serangan tersebut. Pagi
berikutnya, Beanda mempersiapkan sebuah pengepungan di Lali' Londong, menggunakan granat tangan dan tangga. Meskipun tidak biasanya
pasukan Belanda tidak menggunakan granat terhadap pemimpin wilayah lainnya,
pada siang harinya, benteng tersebut ditaklukan.
Kekalahan tersebut mendorong Tiku memperkuat pasukannya. Para pasukan Toraja dipersenjatai
dengan senapan, tombak, pedang, dan ekstrak lada cabai, yang disemprotkan ke mata lawan dengan
menggunakan sebuah pipa yang disebut tirik lada, atau sumpit, untuk
membutakan mereka. Tiku sendiri dipersenjatai dengan sebuah senapan Portugis,
tombak, dan labo. Dia mengenakan baju besi pelindung, sebuah sepu
(penjaga selangkangan), dan songkok dengan tonjolan yang
berbentuk tanduk kerbau, dan membawa perisai yang dihiasi. Bersama dengan
tentaranya, Tiku menggali lubang yang diisi dengan bambu yang dibuat di
sepanjang rute pasokan Belanda; sehingga orang-orang yang berjalan di atas
lubang akan jatuh dan tertusuk. Namun, hal tersebut tidak menghentikan
penyerbuan Belanda. Pada 17 Oktober 1906, dua benteng lainnya, Bamba Puang dan
Kotu, runtuh, setelah beberapa serangan gagal
Belanda sejak bulan Juni. Sebagai kampanye melawan Tiku, yang
menjadi kampanye yang sangat panjang ketimbang kebanyakan kampanye lainnya pada
masa penjajahan, yang menggerogoti otoritas Belanda di Sulawesi, Gubernur-Jenderal
J. B. van Heutsz
memerintahkan Gubernur Sulawesi Swart untuk memimpin serangan secara pribadi.
Setelah pengepungan yang lama, Andi Guru dan mantan letnan Tiku, Tandi
Bunna' – keduanya bekerja untuk Belanda – menghadap Tiku pada 26
Oktober dan menawarkan gencatan senjata. Meskipun awalnya enggan, Tiku
dikabarkan memenuhi permintaan masyarakat yang mengingatkannya bahwa ibunya –
yang tewas dalam pengepungan tersebut – butuh dikuburkan. Setelah tiga hari masa damai, pada
malam 30 Oktober, pasukan Belanda mengambil alih benteng tersebut, mencegat
seluruh senjata, dan menangkap Tiku. Ia dan para prajuritnya dipaksa pergi ke
Tondon.
Di Tondon, Tiku memulai persiapan pemakaman ibunya dengan menggunakan adat
Toraja selama beberapa bulan. Sesambil mengadakan persiapan tersebut, ia
mendapatkan seorang penasihat yang mengumpulkan senjata secara rahasia
sementara yang lainnya menginginkan benteng-bentengnya di Alla' dan Ambeso. Tiku kemudian membuat persiapan untuk
melarikan diri dari penangkapan Belanda; ia juga mengembalikan seluruh harta
benda yang ia ambil ketika ia menjadi penguasa, karena ia tahu bahwa tidak akan
lama menggunakannya. Ketika berada di Tondon, pasukan Belanda memperdaya
seorang pemimpin Toraja. Malam sebelum pemakaman ibunya, pada
Januari 1907, Tiku dan 300 pengikutnya melarikan diri dari Tondon untuk menuju
ke arah selatan.
Setelah ia dikabari bahwa Belanda mengikutinya, Tiku memerintahkan sebagian
besar pengikutnya untuk kembali ke Tondon sementara ia dan lima belas orang
lainnya, termasuk dua istrinya, melanjutkan perjalanan ke selatan. mereka awalnya singgah di Ambeso,
namun bentengnya runtuh beberapa hari kemudian, sehingga kemudian mereka
melarikan diri ke Alla'. Benteng tersebut runtuh pada akhir Maret 1907 dan Tiku
mulai berjalan kembali ke Tondon melalui hutan. Ia dan para pemimpin lainnya,
yang beretnis Bugis dan Toraja, mulai terlacak oleh pasukan Belanda. Pemimpin lainnya ditangkap oleh
Belanda dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara di Makassar atau diasingkan ke Buton. Sementara itu, Tiku, tetap bersembunyi
di hutan.
Pada 30 Juni 1907, Tiku dan dua pasukannya ditangkap oleh pasukan Belanda;
ia menjadi pemimpin gerilya terakhir yang ditangkap. Setelah beberapa hari
ditahan, pada 10 Juli 1907 Tiku ditembak dan
dibunuh oleh pasukan Belanda di dekat Sungai Sa'dan; beberapa laporan
menyatakan bahwa ia sedang mandi pada waktu itu. Ia dikubur di peristirahatan
keluarganya di Tondol, meskipun sepupunya Tandibua' menjadi penguasa asli
Pangala', ia menjabat dibawah kepemimpinan Belanda.
Setelah kematian Tiku, pemerintah kolonial berharap ia dilupakan, namun
yang terjadi justru sebaliknya. Tandibua' memberontak pada tahun 1917,
dan kantong perlawanan kecil bertahan di sejumlah wilayah Sulawesi hingga
Belanda terusir akibat pendudukan
Jepang. Pada masa pendudukan, pasukan Jepang
menggunakan Tiku sebagai simbol perjuangan Toraja terhadap agresi kolonial dan
berusaha menyatukan rakyat untuk melawan bangsa Eropa. Akan tetapi, strategi
ini gagal di wilayah-wilayah taklukan seperti Baruppu' dan Sesean yang mengenang Tiku sebagai
sosok pembunuh dan penculik istri orang.
Pemerintah Kabupaten Tana Toraja
mengangkat Tiku sebagai pahlawan nasional pada tahun 1964. Tahun 1970, tugu penghormatan Tiku
didirikan di tepi sungai Sa'dan. Tiku dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia melalui Dekrit Kepresidenan 073/TK/2002 tanggal 6 November
2002. Pada hari peringatan kematian Tiku,
upacara khusus diselenggarakan di ibu kota Sulawesi Selatan, Makassar. Selain jalan raya, bandara di
Tana Toraja juga diberi nama Pong Tiku.
Sumber : Wikipedia
No comments:
Post a Comment